30 C
Jakarta

Gus Sholah dan Gus Dur Menolak Separatisme

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanGus Sholah dan Gus Dur Menolak Separatisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” Kurang lebih begitu bunyi sabda Nabi Saw. yang amat populer setiap kali ulama meninggalkan umatnya selama-lamanya.

Tadi malam habis shalat maghrib saya terperanjat karena melihat postingan di media sosial yang begitu ramai dengan wafatnya sosok ulama yang kharismatik dan jasanya sangat besar terhadap bangsa Indonesia. Dialah Gus Solah, sebutan akrab Dr. (H.C.) Ir. H. Salahuddin Wahid. Gus Solah meninggal pada tanggal 2 Februari 2020 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Gus Solah meninggal terhitung usia 77 tahun.

Sepanjang usia ini merupakan rentang waktu yang sangat produktif yang dilalui Gus Solah untuk mengabdikan dirinya terhadap bangsa, meski dia sendiri disibukkan dengan mengurus ratusan santri yang didirikan kakeknya, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Namun, segala kesibukan tidak membuatnya menyerah untuk mengabdikan dirinya kepada bangsa Indonesia yang lebih luas.

Pengabdian Gus Solah terhadap bangsa memang sedikit berbeda dibandingkan kakaknya Gus Dur alias KH. Abdurrahman Wahid. Gus Solah lebih banyak menghabiskan waktunya mendidik para santri di pesantrennya sendiri, sehingga dengan harapan para santrinya menjadi penerus ulama yang memberikan banyak manfaat terhadap bangsa. Sedang, Gus Dur lebih banyak aktif di luar lingkungan pesantren, dibuktikan dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999.

Perbedaan yang kentara di antara Gus Solah dan Gus Dur hanyalah perbedaan jalan yang ditempuh. Sementara, semangat kebangsaan dan nasionalisme dapat dikatakan sama alias tidak ada beda. Kakak-adik ini memiliki semangat untuk menjaga keutuhan NKRI dari serangan kelompok-kelompok separatis, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Kelompok separatis dianggap sebagai benalu yang dapat merobohkan ke-Bhineka-an Indonesia.

Indonesia sebagaimana diketahui adalah negara yang menganut paham plural. Karena, di dalamnya terdapat beragam oknum yang berbeda-beda, tetapi memiliki satu impian yang sama, yaitu minimal tegaknya NKRI. Spirit pluralisme ini akan sangat terganggu ketika laskar HTI berbondong-bondong ingin mengubah Indonesia dari sistem Republik menjadi sistem Khilafah. Laskar ini mengimpikan bahwa pemimpin dunia hanya satu yaitu Abu Bakar al-Baghdadi.

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Gus Solah menguji kebenaran pemikiran HTI melewati seminar-seminar di berbagai forum atau bahkan tulisan-tulisan di media. Gus Solah menguji dengan pertanyaan yang amat tegas dan cerdas: Sebetulnya HTI itu menolak Pancasila atau nggak? Apanya yang harus ditolak dari Pancasila? Penolakan terhadap Pancasila karena dipandang tidak Islami adalah kesalahan yang besar. Pancasila dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Dasar semuanya diekspresikan dari pesan-pesan Al-Qur’an.

Karena itu, tidak perlu mengubah Pancasila dengan sistem Khilafah. Karena itu pula, tidak perlu laskar FPI memekikkan NKRI Bersyariah, sebab Pancasila dan pesan Undang-Undang Dasar merupakan implementasi dari pesan-pesan Al-Qur’an sebagai kitab yang dijadikan pedoman hidup umat Islam. Hal paling mendasar dari pesan Al-Qur’an yang diakui oleh semua agama adalah pesan perdamaian dan persaudaraan. Semua agama, baik Islam maupun non-Islam, tetap menyetujui perdamaian dan persaudaraan adalah ajaran yang diyakini baik untuk diaplikasikan.

Bila perdamaian adalah sesuatu yang diharapkan oleh semua agama, lalu bagaimana dengan kelompok separatis yang selalu memporak-porandakan bangsa demi kepentingan individual? Selain itu, jika persaudaraan adalah prinsip yang dipegang teguh oleh semua umat beragama, lantas kenapa beberapa kelompok merasa senang melihat perpecahan terjadi di mana-mana? Sudah Islamkah mereka yang sering meneriakkan takbir, sementara sikapnya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam? Lalu, siapakah yang paling muslim itu?

Nabi Muhammad Saw. menyebutkan: Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Pesan Nabi Saw. memang telah disampaikan berabad-abad silam, tapi pesannya masih tetap terasa di zaman sekarang. Merenungkan pesan Nabi Saw. ini, umat semakin dibuat rindu terhadap Gus Solah dan Gus Dur. Karena, merekalah ulama yang menyatukan dan mendamaikan, sehingga terpancarlah cahaya Islam dari mereka berdua.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru