26.7 C
Jakarta

Gus Mus Menolak Islam Ekstremis

Artikel Trending

KhazanahInspiratifGus Mus Menolak Islam Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada acara talkshow Mata Najwa seorang host Najwa Shihab menyuguhkan sebuah pertanyaan:  Soal Islam Moderat, Islam yang mementingkan moderasi, jalan yang di tengah. Problemnya, semua orang merasa di tengah. Yang di kanan merasa moderat, yang di kiri juga merasa moderat. Terus, yang moderat, yang di tengah itu siapa?

Pertanyaan ini memang tidak hanya menjadi kegelisahan Najwa Shihab seorang, tetapi semua orang yang menggunakan akalnya untuk berpikir. Karena, tidak jarang Quraish Shihab dituduh liberal oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena pemikirannya yang berbeda dengan argumentasi mereka. Tuduhan liberal ini mengindikasikan Quraish Shihab itu tidak moderat.

Tuduhan semacam itu tidak hanya menghujam seorang tokoh tafsir itu saja. Masih banyak pakar atau tokoh di Nusantara yang dihujani tuduhan yang tidak berdasar ini. Sebut saja, Nasaruddin Umar, Gus Mus, dan masih banyak tokoh yang lainnya. Tuduhan ini muncul, sejauh analisa saya, tentu dilatarbelakangi oleh sikap fanatik atau merasa dirinya paling  moderat. Karena, sejauh saya belajar kepada Quraish Shihab, belum pernah terlontor dari lisan beliau tudingan sesat, kafir, atau kata sarkasme yang lain yang dialamatkan kepada orang lain.

Mendengar pertanyaan yang sederhana dan mendalam tersebut, Gus Mus sebagai narasumber pada talkshow kala itu memberikan jawaban yang sangat menyentuh dan disampaikan dengan bahasa yang sangat sederhana, sehingga para audiens, termasuk saya yang ikut pada waktu itu mudah memahami. Gus Mus memberikan analogi sebagai pengantar, bahwa mengukur seberapa dalam air kali jangan pakai tubuh kita sendiri. Kalau pakai tubuh kita kalau kita jangkung kita akan mengatakan kita dangkal sekali. Kalau kita cebol, kita akan mengatakan ini dalam sekali. Jadi, pakai ukuran. Sehingga, akan dikatahui dan diterima ukurannya, missal, delapan puluh sentimeter. Sehingga, tidak ada pertentangan lagi.

Sekarang, lanjut Gus Mus, kita mengukur sesuatu dengan diri sendiri. Tidak pakai ukuran. Katanya, orang fanatik sering menjadikan Al-Qur’an sebagai ukuran. Sayang, mereka tidak menerima perbedaan. Kalau melihat Al-Qur’an dan mengikuti pemimpin Islam Kanjeng Rasul Saw., moderat itulah Islam. Bukan Islam moderat. Islam itu sudah moderat. Jangan Islam moderat, lalu Islam apalagi. Umat Islam itu ummatan wasathan, umat yang moderat.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXII): Dodi Suridi Eks Napiter Pernah Rakit Bom untuk Diledakkan di Thamrin

Moderat ini sering dipahami dengan sesuatu yang di tengah atau adil. Moderat tidak berlebihan dalam melakukan sesuatu. Gus Mus meminta kita melihat orang yang ekstrem, yang berlebihan. Berlebihan itu dilarang di dalam Al-Qur’an. Wala tusrifu. Makan berlebihan dilarang. Wala ta’tadu. Ghuluw atau berlebihan tidak boleh dalam segalam segala macam. Kanjeng Nabi mengatakan: “Khair al-umur awsathuha”. Segala sesuatu yang paling baik adalah yang di tengah-tengah. Kalau kita itu di tengah-tengah, hidup itu jadi indah.

Kita ini, kata Gus Mus, mempunyai yang namanya athifah atau perasaan. Athifah itu sendiri mempunyai karakter yang bergerak. Kalau kita berlebihan, maka kita condong ke kanan kalau kita lagi senang, kalau terlalu benci, maka condong ke kiri. Sedangkan, adil itu di tengah, tegak. Allah berfirman: Wala yajrimannakum sana’anu qaumin ala alla ta’dilu. Jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu tidak adil.

Untuk memahami ayat tersebut, Gus Mus mengutip argumentasi mufasir, termasuk Quraish Shihab yang pada waktu itu menjadi narasumber juga. Bahwasanya, kaum di situ dipahami dengan orang kafir. Kalau kepada orang kafir saja kita dilarang tidak adil, maka apalagi kepada sesama mukmin dan sesama muslim. Ingat, kebencian kita tidak boleh menjadikan kita tidak adil. Gus Mus menegaskan lagi, orang yang berlebih-lebihan, tidak bisa di tengah-tengah, tidak akan bisa adil, tidak akan bisa istikamah yang dianjurkan oleh Islam itu.

Melalui argumentasi yang disampaikan Gus Mus tersebut, saya dapat memahami bahwa Islam adalah agama yang moderat, agama yang menegakkan keadilan, dan agama yang tidak ekstrem. Sikap moderat ini mengantarkan orang Islam dapat “logowo” terhadap perbedaan. Karena, perbedaan sejatinya bukan petaka, tetapi rahmat. Sikap moderat itu juga dapat membentuk orang Islam bersatu tanpa memandang perbedaan, baik perbedaan pemikiran maupun perbedaan keyakinan. Karena, semua manusia, muslim atau non-muslim, sama-sama bersaudara.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari perbincangan Najwa Shihab dan Gus Mus pada talkshow Mata Najwa dengan tajuk “Cerita Dua Sahabat”

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru