29.3 C
Jakarta

Gus Miftah, Sikap Moderat dan Cibiran Moderat Kebablasan

Artikel Trending

KhazanahTelaahGus Miftah, Sikap Moderat dan Cibiran Moderat Kebablasan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Gus Miftah menjadi perbincangan hangat dalam waktu beberapa terakhir ini. Postingan atas video saat memberikan pidato di Gereja Bethel Indonesia (GBI) menuai banyak komentar. Apalagi sebutan moderat kebablasan turut hadir diberbagai ruang maya dengan bertambahnya komentar para ustad yang dijadikan panutan umat Islam.

Sebut saja Ustad Abdul Somad, ditengah cibiran yang mengarah pada Gus Miftah, komentar ustad Abdul Somat turut memperkeruh suasana. Bagi UAS, haram hukumnya masuk ke rumah ibadah orang lain adalah haram, karena Nabi tidak mau masuk ke dalam tempat ibadah, jika di dalam itu ada patung berhala. Demikian pula, turut ramai komentar yang diberikan oleh ustad Adi Hidayat bahwa haram hukumnya masuk ke gereja.

Komentar Teladan dari Para Ustaz

Mengikuti pandangan para ustad/kiai/ulama atau orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih daripada kita, tidak lain sebagai upaya dalam mencari dan menemukan berbagai pandangan yang dekat pada kebenaran. Sebab ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para ulama, berbeda dengan kita sebagai awam. Tentu pada titik ini, kita membutuhkan ulama sebagai panutan dalam melangkah dan menjalani kehidupan beragama.

Perihal kasus Gus Miftah, beberapa komentar para ustad perlu dijadikan rujukan dan teladan. Seperti pada komentar Buya Yahya yang menanggapi dari relasi sosial atas kemajemukan Indonesia, tentu ini menjadi pijakan penting yang bisa diambil oleh para umat Islam. Beberapa ulama lain justru memberikan komentar bijaknya dengan mengaitkan kondisi kemajemukan Indonesia. ini penting untuk disikapi, sebab hal ini akan dilihat sikap keberagamaan oleh para pemeluk agama lain, bahwa agama Islam sebagai agama yang memiliki sikap ramah, damai terhadap siapapun.

Kita bisa menganalisa pada pelbagai komentar yang hadir di ruang maya sebagai upaya untuk meneduhkan kondisi keberagamaan kita ditengah bulan Ramadan. Bagi penulis, seharusnya sikap yang baik justru diperlihatkan oleh para pemuka dalam menyikapi persoalan ini secara bijak. Kacamata hitam-putih rasanya belum cocok untuk dijadikan sebagai perspektif dalam kasus ini ditengah kondisi kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia.

Apalagi pada konteks kasus yang dialami oleh Gus Miftah, perilaku yang yang ditampilkan tidak pada mencampur adukkan agama seperti apa yang dituduhkan. Kiranya kita perlu memahami bahwa dimensi sosial dalam menjalankan relasi kemanusiaan, menjadi penting dan urgent untuk menunjukkan Islam sebagai agama yang memiliki kesadaran kemanusiaan yang utuh.

BACA JUGA  Melihat Fenomena Takut Menikah, Benarkah Akibat dari Sistem Liberal?

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, tentu ini dilihat pada representasi pemeluk agama Islam itu sendiri agar tidak terkesan eksklusif, dengan pengkafiran lainnya. Meski demikian, komentar yang diberikan oleh berbagai ulama tidak hadir pada ruang hampa. Mereka memiliki keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga hal ini tergantung pada sikap bijak dari kita sebagai umat Islam.

Bagaimana Jika Indonesia Hanya Agama Islam Saja?

Apa jadinya jika Indonesia yang ratusan juta penduduk ini semuanya beragama Islam? Barangkali mungkin kehidupan akan adem ayem sebab semua penduduknya memahami Islam. Namun apakah adan jaminan jika Indonesia hanya terdiri dari pendudukan musliam saja, dan apakah akan mengurangi konflik sosial? Justru keadaannya mungkin akan berbanding terbalik. Sebab setiap muslim yang memahami ajaran Islam tidak hanya satu perspektif semata, akan tetapi banyak perspektif yang berbeda.

Perbedaan ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya perpecahan antar umat. Perpecahan akan merusak kesatuan dan persatuan NKRI. Keadaan tersebut tentu tidak ingin diharapkan oleh kita sebagai generasi bangsa Indonesia yang akan menjadi pemegang penting negara Indonesia di masa yang akan datang.

Maka dari itu, munculnya konflik atas perbedaan pemahaman harus dipahami secara bijak. Benih-benih yang berakibat pada rusaknya persatuan dan kesatuan dan menimbulkan perpecahan harus dihindari. Lagi-lagi ini persoalan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara majemuk, media sosial sebagai ruang maya menduduki tempat terpopuler yang sangat apik dan cepat menerima informasi. Jadi komentar yang berpotensi pada perpecahan kelompok harus segera dihindari.

Maka dari itu, kita butuh bercermin pada orang-orang yang memberi teladan, meneduhkan, perkataan dan perbuatannya tidak mengadu domba dan berpotensi membuat kegaduhan. Kita perlu banyak belajar dari para ulama, ustad, kiai dan pemuka agama yang adem, dan memiliki kesadaran utuh atas kemajemukan Indonesia agar tidak kaget dalam memaknai ekspresi keagamaan seseorang. Ini tidak lain ditujukan sebagai upaya untuk memperlihatkan bahwa memang benar, Islam datang tidak hanya untuk pada umat Islam semata, melainkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru