31.4 C
Jakarta

Gus Dur Melawan Kelompok Eksklusif

Artikel Trending

KhazanahInspiratifGus Dur Melawan Kelompok Eksklusif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semenjak terpecahnya pengikut Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib menjadi dua golongan, Syiah dan Khawarij, paham eksklusif semakin tercium di tengah-tengah publik. Lewat kelompok Khawarij, paham eksklusif diekspresikan secara blak-blakan kepada pengikut Ali dengan tuduhan “kafir”. Pengikut Ali dituduh kafir disebabkan mereka memutuskan hukum berdasarkan hukum manusia, bukan hukum Tuhan.

Kafir-mengkafirkan itu menutup pikiran kelompok Khawarij mengambil sebuah keputusan yang bijak. Mereka dengan gampangnya menghalalkan darah saudara mereka sendiri, baik sesama muslim maupun sesama manusia. Tak hanya berhenti di situ, ternyata paham ini terus berkembang ke depan. Buktinya, banyak kelompok-kelompok eksklusif yang dengan “belepotan” mengkafirkan orang lain yang memiliki pemikiran yang berbeda.

Kelompok-kelompok yang mudah mengkafirkan belakangan ini, antara lain, Islamic State of Irak and Syam (ISIS), Hizbut Tahrir (HT), bahkan terorisme sendiri. Kemunculan kelompok separatis ini jelas mengusik ketenangan hidup banyak orang, termasuk orang muslim. Kepanikan semakin menhujam hati banyak orang yang bermaksud menjalani hidup dengan perdamaian dan saling berangkulan. Entah, dengan kedatangan kelompok eksklusif persatuan terpecah.

Kelompok-kelompok garis keras tersebut telah merambah ke Negara Indonesia, termasuk pada kepemerintahan Gus Dur. Gus Dur memerangi kelompok ini dengan menumbuhkan dan membumikan ukhwah basyariyyah, persaudaraan antar sesama manusia di pelbagai penjuru, lebih-lebih di negara merah putih ini. Sebagai kyai dan tokoh publik Gus Dur benar-benar memperhatikan siapapun yang terpinggirkan, bahkan disesatkan. Karena, bagi Gus Dur, tidak dapat dibenarkan siapapun yang menuding orang lain kafir. Karena, sikap semacam ini bertentangan dengan prinsip ukhwah basyariyyah yang semestinya merangkul siapapun tanpa pandang status.

Gus Dur tidak peduli siapapun ia, muslimkah atau bukan, tetap dibela. Karena, yang paling penting dalam kehidupan manusia bukan soal status agamanya, tetapi lebih kepada sifat baik yang tertanam kuat dalam benak diri seseorang. Kebaikan itu tidak memandang status agama seseorang. Kebaikan dapat dimiliki oleh siapapun yang bermaksud dan bertekad kuat menjadi orang yang baik (muhsinin). Berbuat baik itu merupakan bagian dari khair, kebaikan yang bersifat global, dapat diterima oleh segala lapisan.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXVII): Eks Napiter Sri Pujimulyo Siswanto Menceritakan Alasan Terpapar Terorisme

Pengabdian Gus Dur di tengah semesta benar-benar terasa, lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia. Tidak heran, kepergian Gus Dur menggores luka yang begitu mendalam dan menyakitkan. Dengan kepergian Gus Dur, masyarakat Indonesia, lebih-lebih yang sering disudutkan karena menjadi bagian yang minoritas, belum siap menghadapi kelompok eksklusif yang sering mengkafirkan. Lebih dari itu, pemikiran Gus Dur diabadikan dengan hadirnya komunitas GusDurian yang setiap waktu tiada henti mengkaji pemikiran Gus Dur.

Bahkan, yang istimewa dengan Gus Dur adalah kalimat yang disampaikannya tiba-tiba menjadi nyata beberapa tahun setelah itu. Hal ini termasuk bagian dari keterbukaan indera atau yang disebut makasyafah seseorang yang sudah menggapai puncak kewalian. Kata-kata Gus Dur yang biasanya disampaikan dengan joke-joke yang segar baru-baru ini terlihat saat kasus penyiraman air keras kepada mata Novel mulai terungkap. Ternyata sikap sinis Gus Dur terhadap pihak kepolisian benar-benar terbukti, bahwa dalang penyiraman air keras ini, pelakunya, bahkan yang menghukum pelaku semuanya polisi.

Sikap pembelaan Gus Dur terhadap siapapun yang direndahkan dapat dijadikan ibrah atau pelajaran berharga bagi generasi berikutnya, termasuk generasi milenial sekarang. Tidak penting alias tidak berguna tajam beribadah secara vertikal, tapi tumpul membangun sikap sosial yang baik secara horizontal. Padahal, ibadah horizontal itu lebih penting dibandingkan ibadah vertikal. Sebab, kebaikan seseorang terhadap sesama termasuk bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru