27.5 C
Jakarta

Guru Agama Harus Mengikis Intoleransi di Sekolah

Artikel Trending

KhazanahGuru Agama Harus Mengikis Intoleransi di Sekolah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sekolah seharusnya merupakan tempat pemahaman dan pemaknaan kemajemukan bangsa sebagai identitas dan kekayaan. Ruang-ruang pertemuan untuk memfasilitasi keberagaman belum menjadi kebiasaan di sekolah. Sehingga masih terlihat kasus intoleransi di sekolah masif terjadi.

Bila dicermati, kasus intoleransi muncul di sekolah bisa karena beberapa faktor. Di antaranya, tingkat pemahaman akan nilai kebangsaan yang sempit di sekolah. Hal itu karena proses belajar yang lebih mementingkan hasil ujian cenderung menjadikan anak didik menjadi objek belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam. Lalu, cenderung menjadikan siswa sebagai alat penghafal rumus dan teori serta mengesampingkan proses atau latihan analisis dan penalaran yang lebih alamiah.

Terlebih kondisi sekolah yang kurang memberikan semangat keteladanan membuat siswa kurang mendalami makna nilai-nilai kebangsaan. Alih-alih nilai-nilai kebangsaan diinternalisasi lalu dimunculkan dalam perilaku sehari-hari, malah tak sampai mengendap di memori otak jangka panjang anak. Pagi diajarkan di dalam kelas. Siang, siswa sudah melupakannya bersamaan dengan pulang sekolah.

Intoleransi timbul di sekolah juga karena penanaman nilai agama yang eksklusif. Proses pengajaran cenderung doktriner dan belum sepenuhnya diarahkan pada penguatan sikap keberagamaan siswa. Pendidikan yang ekslusif menjadikan siswa merasa agamanya paling baik. Kemudian memberi jarak dengan anak-anak lain yang tidak seiman.

Intoleransi di Sekolah

Apalagi perlakuan sekolah yang hanya menerapkan nilai-nilai agama tertentu, khususnya yang mayoritas. Padahal, di sekolah itu ada siswa dari berbagai agama. Misalkan dalam berdoa sebelum pelajaran dan sesudahnya, perayaan agama, dan sebagainya hanya menonjolkan ritual agama tertentu.

Hal itu bisa menyempitkan ruang-ruang tumbuhnya semangat toleransi beragama di kalangan siswa. Dan bisa juga menimbulkan diskriminasi mayoritas terhadap minoritas. Contoh nyatanya pelajar tak mau dipimpin oleh ketua OSIS yang berbeda agama. Yang pada akhirnya dapat berdampak pada peningkatan bentuk-bentuk intoleransi yang lain di sekolah.

Yang lebih menyedihkan, intoleransi dan bahkan radikalisme justru diajarkan di sekolah lewat ‘’bungkus’’ pendidikan agama. Melengkapi kasus sebelumnya, di mana siswa tidak mau hormat kepada bendera, dan anak-anak TK berkarnaval dengan cadar dan bawa senjata. Ini peringatan bagi pemangku kepentingan pendidikan untuk mengevaluasi keberadaan pendidikan agama Islam (PAI), guru dan cara mengajarkannya di sekolah. Sehingga butuh keteladanan

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Lantas, langkah apa yang perlu didorong untuk mengikis intoleransi di sekolah? Dalam hal ini sangat penting membangun atmosfer toleransi di sekolah melalui sebuah proses pembelajaran. Posisi guru agama dalam ranah ini sangat strategis karena sebagai pendidik sangat memungkinkan baginya untuk mencetak karakter generasi bangsa yang toleran.

Karena itu, dalam konteks pendidikan di Indonesia, posisi guru agama sama pentingnya dengan guru bidang studi lain, yang strategis menanamkan nilai-nilai toleransi dan kedamaian. Apalagi ajaran Islam yang diajarkan pada siswa memang syarat dengan nilai-nilai universal yang berkarakter damai.

Keteladanan Guru Toleransi

Mengapa posisi guru agama dalam konteks ini tidak boleh dianggap sepele. Sekurang-kurangnya ada dua alasan. Pertama, Islam adalah agama mayoritas warga negara Indonesia. Bahkan mungkin terbesar di dunia. Jika umat Islam di Indonesia tidak berkarakter damai, maka ancaman disharmonisasi di negeri ini akan terjadi secara masif.

Kedua, di Indonesia terdapat berbagai macam agama/keyakinan, etnis, ras, bahasa dan lain sebagainya. Keadaan yang heterogen tersebut membutuhkan paradigma umat beragama, termasuk umat Islam, berkarakter inklusif, toleran dan dialogis sehingga mendukung terwujudnya atmosfer perdamaian. Dan Islam memang sejalan tujuan tersebut.

Sebagai subjek transformatif, guru agama mesti terlebih dulu menginternalisasikan karakter Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin pada diri sendiri. Guru sebagaimana ungkapan adalah yang digugu lan ditiru. Ia menjadi semacam model bagi siswa-siswanya.

Sebagai subjek transformasi, guru memiliki dua makna. Pertama, perpindahan atau penyaluran format atau sistem yang ada ke luar. Kedua, gerakan melampaui dari sistem yang ada menuju terbangunnya sistem yang baru.

Kedua makna tersebut mempertegas bahwa transformasi berarti mengisyaratkan terjadinya perubahan atau perpindahan suatu format gagasan menuju format gagasan yang baru. Tanpa keteladanan, akan menemui kegagalan dalam mentransformasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sebab, karakter atau nilai memang akan sulit ditransformasikan tanpa adanya model atau keteladanan.

Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Guru SDN Sidorejo Kec. Krian Kab. Sidoarjo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru