31.7 C
Jakarta
Array

Ghuluw dalam Beragama

Artikel Trending

Ghuluw dalam Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam beberapa hari yang lalu, Grand Syekh (Imam Besar) Al Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, mengunjungi Indonesia. Ada banyak hal yang menjadikan Grand Syekh Al Azhar berkunjung ke Indonesia, salah satunya adalah memenuhi undangan atau menghadiri KTT Ulama dan Tokoh Intelektual Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam, yang digelar pada awal Mei belum lama ini. Di antaranya ialah sosialisasi mengkonter ekstremisme, atau ghuluw.

Sebagaimana yang telah dipahami oleh publik, bahwa sejauh ini, Al-Azhar menjadi pusat rujukan Islam dan sekaligus menjadi benteng Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dalam komposisi itulah, Grand Syekh Al-Azhar menegaskan bahwa umat Islam sebaiknya menghindari ekstremisme dalam mengimplementasikan nilai-nilai agama.

“Jangan terlalu ekstrem dalam melakukan sesuatu. Kita harus berada di posisi tengah karena ekstrem itu tidak baik,” ujar Ahmad dalam pidatonya di acara pembukaan Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendikiawan Muslim se-Dunia Wasathiyah Islam di Ruang Garuda, Istana Presiden Bogor, Jawa Barat, Selasa (1/5/2018).

Setelah memberikan pemaparan terkait tantangan umat kekinian, Grand Syekh Al-Azhar lantas berharap forum itu menjadi wadah ulama dan cendikiawan Muslim dunia dalam mengembangkan poros baru, yakni wasathiyah Islam atau Islam jalan tengah (moderat).

Ekstrem Sebagai Ghuluw

Apa yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ath-Thayeb tersebut sesungguhnya sudah melanda sebagian pemeluk agama Islam dewasa ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) Cabang Indonesia, Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, bahwa saat ini umat Islam sedang dihadapkan oleh kelompok yang memiliki kecenderungan untuk bersikap ekstrem dan sangat ketat dalam memahami hukum-hukum agama serta memaksakan cara tersebut di tengah-tengah masyarakat Muslim, bahkan beberapa kasus telah menggunakan kekerasan.

Jika ditarik dalam ranah agama, cara beragama yang cenderung ekstrem, tidak menghargai pendapat kelompok lain, sering mengkafirkan sesama muslim dan seterusnya itu termasuk dalam kategori ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Jika mau menelisik lebih detail lagi, maka akan ditemui bahwa ghuluw dalam beragama itu dilarang. Bersamaan dengan itu, yang harus dipraktikan adalah mengambil jalan tengah (wasathiyah) dalam beragama. Jalan tengah (moderat) memiliki arti baik dan terpuji berlawanan dengan kata pinggir (al-tharf) yang berkonotasi negatif, sehingga lawan dari wasath adalah tatharruf (ekstremisme) atau ghuluw—berlebihan (Abas Mansur, 2017).

Diantara larangan ghuluw dalam beragama adalah; pertama, fanatik terhadap salah satu pandangan. Poin pertama ini sangat relevan dengan kondisi praktik keagamaan orang Indonesia, terutama dalam hal pandangan politik. Bahwa pandangan yang berbeda dengannya, dicap sebagai pandangan yang sesat. Artinya, yang paling benar adalah kelompok dia sendiri.

Fanatisme Sebagai Sumber Ekstremisme

Ada banyak faktor penyebab fanatisme buta seperti tergambar di atas, salah satunya adalah pengkultusan seorang tokoh, sehingga pandangan tokoh yang dikultuskan tadi dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dengan demikian, mereka menutup diri dari pandangan pandangan lain.

Padahal, para ulama salaf tidak pernah mengajarkan yang demikian. Justru para ulama dahulu sangat menghargai perbedaan. Ambil saja praktik keagamaan yang ditampilkan oleh empat Imam Madzhab. Betapa pun mereka sering berbeda dalam hal furu’iyyah, namun rasa hormat antar sesama sangat tinggi. Dan contoh lain adalah perkataan Imam Ali. Beliau berkata: “ Kebenaran tidak ditentukan oleh ketokohan seseorang. Ketahuilah kebenaran, kamu akan tahu orang yang benar.”

Kedua, mengkafirkan orang lain. Sikap ghuluw menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan jika sudah merangsak pada tingkat mengkafirkan orang lain atau menghalalkan darahnya. Terkait sikap ini, kita harus jujur mengakui bahwa ini pernah terjadi dalam sejarah Islam, tepatnya sebagai mana yang dilakukan oleh Khawarij di masa awal Islam. Dan akibat “tingkah laku” Khawarij ini, umat Islam terpecah belah.

Tentu kita sama sekali tidak menghendaki sejarah kelam itu terulang (kembali). Oleh sebab itu, mari kita menjahui sikap berlebihan dalam beragama dan lebih menekankan ajaran Islam yang moderat.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru