30.1 C
Jakarta

George Floyd: I Can’t Breath, Saya Tidak Bisa Bernafas!

Artikel Trending

KhazanahTelaahGeorge Floyd: I Can’t Breath, Saya Tidak Bisa Bernafas!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

George Floyd: I Can’t Breath, Saya Tidak Bisa Bernafas!

Mujahidin Nur, Penulis Mega Best Seller, Direktur The Islah Centre, Jakarta.

Sebuah video berdurasi 10 menit kini tengah viral di seantero Amerika. Video itu ditonton oleh berbagai lapisan masyarakat yang tinggal di Atlanta, Denver, Detroit, Houston, Los Angeles, New York, Washington dan lain-lain terutama di tempat dimana lokasi kejadian penangkapan itu dilakukan; Minneapolis, Minneasota salah satu negara bagian Amerika. Tak disangka video pendek yang direkam melalui ponsel dan diunggah di Facebook itu telah memantik emosi dan murka ribuan masyarakat Amerika disamping foto-foto yang tersebar dari video itu kini viral ke seluruh penjuru dunia dan membuat emosi jutaan masyarakat termasuk di Indonesia.

Dalam video itu terlihat empat orang polisi melakukan penangkapan secara brutal terhadap Georga Floyd (46 tahun) warga Afro-Amerika dari Texas yang baru pindah ke Minneasota dengan niatan membangun hidup baru di sana.

Namun, hari itu (23 Mei 2020) empat orang polisi bak di filem laga Holywood menodongkan senjata, memborgol, kemudian menjatuhkan tubuh George Floyd ke tanah karena George dituduh makai uang palsu senilai 20 USD ketika berbelanja disebuah mini market. Tubuh tinggi besar itu kemudian ditindih di dibagian lutut, punggung dan leher meskipun Floyd sudah diborgol dan tidak  melakukan perlawanan sama sekali.

Terang saja, tindihan di leher itu membuat George merasa tercekik dan susah bernafas. George memohon-mohon agar ia dibiarkan untuk berdiri sambil mengangkat-angkat tangannya dengan nafas terputus-putus, namun empat polisi  yang diketahui bernama ; Derek Chauvi, Thomas Lane, Thou Tao dan J Alexander Kueng  itu tetap saja tidak perduli !dan menindih Foyd tanpa ampun selama 9 menit 48 detik lamanya.

George dengan suara tercekat dan nafas terputus-putus berkali-kali mengatakan, “I can’t breath, aku tidak bisa bernafas, aku tidak bisa bernafas, aku tidak bisa bernafas,” begitu pintanya memelas sampai suaranya melemah untuk kemudian laki-laki berperawakan gempal dengan tinggi menjulang dua meter itu akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Kepalanya yang tiarap itu kemudian tersungkur ke tanah dengan mata terpejam. Sesudah puas menindih Georga Floyd sampai tak sadarkan diri tanpa merasa bersalah empat polisi itu mengecek nadi Georga Floyd untuk kemudian memanggil ambulans.

Dalam perjalanan naas laki-laki malang yang bekerja sebagai security disebuah Club Malam ini menghembuskan nafas terakhir. Dia mati dalam daftar panjang rasisme terhadap warga Afro-Amerika yang kejam dan menyakitkan di Amerika!

Kematian George Floyd membuat darah rakyat Amerika makin mendidih. Karena sebelum kematian Floyd dua warga kulit hitam AS lainnya tewas akibat tindakan rasisme kulit putih di Amerika. Mereka adalah Ahamud Arbery (25) yang tewas pada 23 Februari lalu setelah ditembak oleh dua pria kulit putih ketika dirinya tengah lari pagi di lingkungan rumahnya di Brunswick, Georgia.  Beberapa pekan setelah kematian Arbery, seorang perempuan kulit hitam bernama Breonna Taylor tewas akibat tembakan aparat saat merazia tempat tinggalnya pada Maret lalu.

Selang sehari sesudah kematian George Floyd (25 Mei), gelombang demonstrasi besar-besaranpun di gelar di jalan-jalan Minneapolis kota terbesar negara bagian Minneasota, Amerika Serikat, demonstrasi tiada henti sampai memasuki hari ke lima hari ini. Selain demonstrasi mereka juga melakukan  pembakaran mobil-mobil patroli polisi, fasilitas-fasilitas publik, restoran dan bahkan penjarahan mall. Sekitar 30 titik kebakaran terjadi di seantero kota. Percikan-percikan api yang belum bisa dipadamkan terlihat menyala di berbagai gedung dan fasilitas yang dibakar massa. Kini demo itu pun kian meluas ke Houston, Detroit, Atlanta, Henver, Los Anggeles, Texas, Washington dan lain-lain seperti sapuan angin mengguncang Amerika tanpa bisa dikendalikan.

Para demonstran juga mengepung White House, istana di mana Presiden kontroversial, Donald Trump berkantor. Para demonstran mengepung istana Presiden dan Capitol Hill sambil membawa spanduk: Am I next?, Stop Killing Us! Dan lain-lain. Para demonstran menilai Donald Trump bertanggung-jawab terhadap merebaknya rasisme di Amerika disamping mereka juga murka dengan cuitan Donald Trump di Tweeter yang mengatakan bahwa para pendemo di Minneasota adalah berandalan-berandalan. Trump meminta aparat untuk melakukan tembak di tempat pada siapaun yang melakukan penjarahan. Cuitan Donald Trump itu kemudian digembok oleh Tweeter dan diberi tanda mengangungkan (glorifikasi) kekerasan.

Walau sudah digembok oleh Tweeter cuitan Doland Trump itu makin membuat panas suasana dan menyulut demonstrasi lebih besar dan meluas dimana-mana. Seorang penyanyi kenamaan Taylor Swift termasuk yang marah besar dengan respon Trump pada masyarakat yang menuntut keadilan. Dia mengecam Trump dengan mengatakan “Setelah menyulut api supremasi kulit putih dan rasisme selama pemerintahan Anda, Anda punya keberanian untuk berpura-pura punya superioritas moral sebelum mengancam dengan kekerasan. Dia berpendapat Trump tak boleh melaju ke periode kedua pemerintahan sebagai presiden. Pelantun ‘Blank Space’ ini berharap Trump tidak terpilih lagi pada Pemilu di bulan November 2020 nanti.

BACA JUGA  Cyber Terrorism: Ketika Media Sosial Menjadi Alat Penyebaran Terorisme

Selain Taylor Swift, kalangan selebriti lain meyayangkan tindakan rasisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian Amerika terhadap warga kulit Afro-Amerika disana. Justin Bieber mengaku merasa muak dengan perilaku rasisme di Amerika. “Aku marah karena pria ini tewas. Ini membuatku sedih. Rasisme itu jahat! Kita harus menyuarakan ini. Maafkan aku, George Floyd.” Selain Bieber, Demi Lovato juga merasa kondisi ini tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun. Menurutnya, semuanya harus bersuara untuk menghentikan rasisme ke warga kulit hitam.

Tuntuan para demosntran diberbagai wilayah di Amerika agar memecat empat polisi dan menghukum mereka yang membunuh George Floyd sampai saat ini belum dipenuhi, mereka tidak puas dengan keputusan pengadilan yang hanya memecat dan memenjarakan Derek Chauvin atas tuduhan pembunuhan sementara tiga polisi lainnya hanya dipecat saja tanpa diproses hukum.

Alih-alih tuntutan mereka direspon mereka malah dilawan dengan gas air mata dan peluru karet oleh polisi yang menyebabkan demonstrasi makin tak terkendali. Bahkan seorang demonstran tewas tertembak karena dituduh memanfaatkan kesempatan untuk menjarah di tengah kerusuhan.

Tagar #BlackLivesMatter diagungkan oleh warganet yang menolak adanya kekerasan rasial khususnya kepada warga kulit hitam kini menjadi tranding topik dunia. Kekerasan rasial yang sudah menjadi bagian masyarakat Amerika jauh sebelum Marthin Luther King (1968) memperjuangkannya sampai ia sendiri terbunuh. Perjuangan untuk menghancurkan tembok rasialisme yang sudah akut dan integral dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Amerika.

Donald Trump dan elit-elit politik Amerika mungkin selama ini tidak sadar bahwa kebijakan-kebijakan rasis Donald Trump yang terlembagakan dalam sistem politik Amerika makin menguatkan kembali perlawanan kelompok sosial yang selama ini kurang didengar suaranya (unheard society). Parahnya lagi, kelompok sosial (Afro-Amerika) yang tidak didengar suaranya itu kini mendapat dukungan dari ras kulit putih yang peduli dengan keharmonisan sosial dan keseimbangan tatanan kehidupan. Donald Trump mungkin tidak pernah membayangkan kalau terbunuhnya George Floyd akan mengguncang Amerika sedemikian rupa dan membawa Amerika pada demonstrasi berjilid-jilid dan kekacauan.

Hal itu karena Trump tidak bisa melihat sebuah permasalahan dalam sudut pandang manusia yang bijak (wise man). Sehingga dia tidak tahu akar permasalahan sebenarnya (the root of the matter) kenapa rakyatnya begitu murka pada pemerintahannya hanya karena terbunuhnya seorang mantan supir truk yang kini berprofesi sebagai security club malam? Saya perlu mengingatkan kembali kepada Donald Trump sebuah kalimat bahwa “Riots is the langguage of unherad,” kekerasan seringkali menjadi bahasa yang dilakukan oleh mereka yang tidak pernah didengar suaranya sebagaimana komunitas Afro-Amerika.

Saya teringat perkataan Malcolm X dalam  “Letter From Mecca”, dia menulis, “America need to understand Islam, because this is the one religion that erase from its society the race problem. Throughout my travel in the muslim world, i have met, talked to and even eaten with people who in America would have been considered  white— but the white attitude was removed from their minds by the religion of Islam. I have never before seen sincere and true brotherhood practised by all colors together, irrespective of their color.”

Apa yang disampaikan oleh Malcolm X itu merupakan wujud bagaimana umat Islam menerjemahkan firman suci Allah Swt, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supara kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Qs. al-Hujurat : 13). Disamping pesan baginda Rasulullah dalam hadisnya. Dari Abu Dzar, Nabi Saw bersabda kepadanya, “Lihatlah, engkau tidaklah akan lebih baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad, 5: 158).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru