27.4 C
Jakarta

Frekuensi Trilogi Makna Islam, Salam, dan Silm dalam Bingkai Dinamika Multikurtural

Artikel Trending

KhazanahOpiniFrekuensi Trilogi Makna Islam, Salam, dan Silm dalam Bingkai Dinamika Multikurtural
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menjadi Islam maka kita akan dikontrak sebagai sosok insan yang harus Muslim atau Muslimah. Lantas bagaimana arah atau jalan untuk menggapai prestis sosok Muslim Muslimah yang demikian? Menafsirkan mengenai bagaimana cara atau jalan tersebut, yakni makna Islam, sudah barangkali merupakan penafsiran yang beragam.

Niscaya kerberagaman tersebut tidak akan terlepas dari paradigma, sumber pendidikan, ataupun latar belakang yang dimiliki oleh setiap insan. Hemat penulis tidak akan menutup kemungkinan seseorang yang tidak memeluk agama Islam ia akan direpresentasikan sebagai sosok Muslim atau Muslimah jika dari segi sikap, sifat, atupun aktivitas yang ia tampakkan mencerminkan ajaran islami.

Dalam hemat penulis keberagaman tafsiran cara atau jalan tersebut biarlah menjadi sebuah bingkai warna-warni dalam khazanah peradaban dunia Islam. Namun dalam keberagaman cara tersebut terdapat sebuah titik kesamaan relevansi satu sama lain yang bisa menjadi sebagai fondasi dasar memaknai konsep menjadi seorang Muslim ataupun Muslimah.

Konsep ini berasal dari kata “Islam” sendiri yang seringkali tidak banyak individu yang kurang mendalami makna substansial Islam itu sendiri. Dilihat secara makna kamus Islam berarti berserah diri, dari kata أسلم – يسلم, kata ini memiliki akar kata سلم – يسلم yang mempunyai makna selamat, atupun jika dikonotasikan dengan makna Bahasa Indonesia ialah selamat, sejahtera, aman dll, yang kiranya tidak sama sekali mengandung unsur kekerasan, kebencian, ataupun hal yang serupa.

Digali dari segi padanan gramatikal bahasa yang lain Islam memiliki sebuah isim mashdar السلم yang bermakna ketenangan. Kata al silm disini juga dapat dibaca dengan ejaan al salam, yang mana keduanya berarti sebuah keselamatan, kesejahteraan, ataupun rasa aman.

Sehingga dengan yang demikian pondasi dasar menjadi seorang Muslim yang berarti sebagai sosok orang yang berislam maka ia seharusnya tidak akan lepas dari karakter makna bahasa tersebut. Karakter yang tampak dari makna Islam tersebut secara universal ialah keselamatan, kesejahteraan, atupun ketenangan, dan seorang Muslim sebagai sosok pelaku dari karakter tersebut seharusnya tidak terlepas dari cerminan makna bahasa tersebut.

Aktualisasi dari karakter yang demikian maka secara tidak langsung akan mengarahkan kepada sebuah tatanan komunitas Muslim atau Muslimah yang aman, damai tenteram, serta sejahtera. Yusuf Qardlawi seorang cendekiawan Muslim kontemporer, ia berpendapat bahwa ada beberapa karakteristik yang dicerminkan oleh para kelompok radikalis.

BACA JUGA  Sekolah Mengonter Radikalisme, Bagaimana Caranya?

Yakni lemahnya pemahaman mereka terhadap hakikat agama, kecenderungan tekstualis dalam memahami nash-nash dogmatis agama, sibuk mempertimbangkan hal-hal sampingan seraya melupakan problem-problem pokok, berlebih-lebihan dalam mengharamkan, lemahnya pengetahuan tentang sejarah, realitas, serta hukum-hukum alam dan norma-norma kehidupan, dan pada puncaknya ialah memberangus seruan kepada islamisasi.

Sebagai contoh representatif terhadap argumen di atas ialah sebagaimana telah terjadi di Indonesia, ketika persahabatan dan kedekatan Natsir yang notabene seorang Muslim dapat bekerja sama dengan Kasimo, J. Leiminina, Herman Johannes, dan A.M. Tambunan yang keempatnya berbeda keyakinan dengan Natsir. Atau antara Burhanuddin Harahap dan Ida Anak Gde Agung yang Hindhu.

Akan tetapi tatkala mereka dapat memahami aspek hakikat pemaknaan agama serta ketulusan beragama yang kemudian mengartikulasikannya dalam dinamika kehidupan multikultur dan multireligi, dimana mereka telah dapat menjadi tokoh-tokoh besar pejuang bangsa. Tokoh-tokoh yang dapat menyatukan bangsa meskipun dengan keyakinan yang berbeda namun dapat berjuang bersama demi kesejateraan bangsa atas dasar jiwa sebangsa dan setanah air.

Sehingga dalam hemat penulis sudah sepatutnya seorang Muslim ataupun Muslimah memahami secara komprehensif mengenai makna kata islam itu sendiri yang diikuti dengan artikulasi nilai-nilai islami dalam bentuk aktivitas sehari-hari. Janganlah melompat kepada pemaknaan ataupun aktualisasi konsep yang lain, sebelum kita paham konsep akar makna Islam itu sendiri.

Makna tersebut tidak terbatas bagi internal komunitas Muslim, melainkan juga terhadap para rekan kita yang berbeda keyakinan dengan kita. Karena sejatinya islam itu ialah proses transmisi moral risalah Tuhan kepada segenap umatanya sebagai sebuah konsep yang akan menunjukkan kepada jalan yang tenang, damai, yang akan membawa keselamatan dan kesejahteraan kepada segenap insan ciptaan Tuhan, dengan bercermin kepada hakikat pesan karakter yang nampak dari makna Islam itu sendiri.

Sehingga dengan memahami terlebih dahulu makna islam secara komprehensif yang demikian, maka setiap Muslim atau Muslimah akan menghadirkan karakter sikap yang saling kasih sayang satu sama lain, dan tidak akan terjerumus kedalam sikap-sikap kebencian, ataupun karakater sikap lain yang tidak satu frekuensi dengan karakter makna substansial Islam itu sendiri.

Ahmad Fahrur Rozi
Ahmad Fahrur Rozi
Mahasiswa Program Studi Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee PBSB Kemenag RI 2017.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru