26.2 C
Jakarta

FPI Berafiliasi dengan ISIS? Kita Perlu Jeda

Artikel Trending

Milenial IslamFPI Berafiliasi dengan ISIS? Kita Perlu Jeda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bahwa yang pasti, kita memerlukan jeda untuk meratap. Pikiran yang terus-terusan digerus, bisa jadi lumpuh. Hati yang selalu menjujuh, jadi mudah gaduh. Dan agama yang terus-menerus diobral layaknya pasar, bisa jadi barang murahan. Seperti yang diobral oleh FPI dan yang kini dinyatakan berafiliasi dengan ISIS.

FPI Mengobral Agama dan Ketakutan

Jeda di antara itu semua, adalah momen hibernasi untuk memulihkan spiritualitas kehidupan. Bukan cuma spritualitas jasmani, tetapi juga ruhani. Sehingga, kita terhindar dari budak nafsu serakah kehidupan. Hingga akhirnya, kita tak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suatu kehidupan: lewat jalan teroristik dan menipu umat Islam.

Epos jeda itu, bisa memikrajkan ruh ke puncak langit tertinggi. Seperti kata Yudi Latif (2018), keberadaan ruh di langit, membuahkan kesadaran baru; dari kesadaran harian menuju kesadaran luhur. Bahkan, lepas dari itu, ia bisa bisa menggali dan membuahkan hal yang selama ini hilang dari pemeluk agama, yaitu rahmah.

Rahmah (ramah), mengalirkan harmonisasi kehidupan. Ia menuntun kehaluan lumbung kehidupan. Sehingga menumbuhkan kekuatan, keluhuran, dan spritualitas. Tetapi rahmah itu tak (mungkin) dimiliki bagi siapa yang menghianatinya: memakan daging sesama saudaranya, seperti perilaku ISIS dan FPI. Banyak anggota FPI mati sia-sia, karena  ideologi teroris dijajakannya. Atau, anggota yang lain mati “nista” akibat ulah FPI dan ulah teroris di Indonesia.

Puncak dari penjelajahan atau pencarian hidup adalah rahmah. Sebab,  rahmah memantulkan kebahagian kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana ungkapan Viktor Frank, kebagiaan tidak dapat direngkuh hanya untuk bersenang, dan berkuasa, tetapi dengan pencarian menemukan makna. Makna yang dimaksud adalah rahmah, kebahagiaan. Bukan kebencian, intoleran, apalagi tindakan teroristik.

Adalah arti paling mendalam dalam hidup jika bisa menerapkan rahmah atau welas asih atau ramah. Sebab, cermin baik dalam diri seseorang ketika memberi dan melayani dengan spontanitas tanpa sempat berpikir agama, ormas, suku, kepentingan atau keuntungan apa yang bakal dia dapat. Tetapi, dengan ketulusan yang rahmah.

Bahkan, bisa dikatakan, rahmah sumber dari spritualitas dan moralitas. Ia utama yang merupakan raison d’etre agama. Tanpa spritualitas yang rahmah, agama justru jadi sumber kesengkarutan, peperangan, seperti di Suriah, Irak, Israel, dan di berbagai negara. Mungkin (sebentar lagi) juga di Indonesia.

BACA JUGA  Idul Fitri: Meraih Satu Bulan Kemenangan, Tetapi Mengotori Sebelas Bulan Lainnya?

Tanpa moralitas yang rahmah, agama bisa jadi sumber sikap marah: radikal dan agresif. Sikap-sikap ini, kini makin kelam dan tebal, akibat ulah-ulah politisi yang menjual agama, ormas radikal, dan agamawan yang kehilangan nurani kebajikan.

Sebaiknya sebagai Pemeluk Agama

Kiranya, dengan sikap rahmah atau ramah inilah pelaku agama (seperti FPI) dapat pancaran spritualitas yang memancarkan berkah melimpah bagi sesama, dan juga penangkal dari kesesatan dan kelaliman. Sebagaimana disebutkan: “Kasih sayang-Ku meliputi apa saja” dan kasih sayang-Ku menundukkan murka-Ku.”

Dan bahkan, Tuhan menyebut dirinya dari sejumlah 114 ayat (kecuali al-Taubah, dengan akar “rahmah” (kasih sayang). Yakni, rahman-rahim: yang menyayangi seluruh makhluknya, tanpa terkecuali sebagai petunjuk kepada manusia yang menapaki jalannya.

Tapi jalan itu tak dimiliki oleh ISIS dan FPI, bila masih menatap agama dengan berlebihan dan menatap negara Pancasila sebagai musuh dan bukan bagian dari Islam.

Mengutip Haidar Baqir, Nabi-Islam pun adalah nabi yang disebut Tuhan sebagai berakhlak karena cinta dan kasih-sayangnya kepada manusia, “yang sangat berat menanggung kesusahan orang, sagat ingi orang mendapatkan segala kebaikan, dan kepada orang-orang yang beriman penuh belas kasihan dan sayang.”

Dan Tuhan sendiri yang menfirmankan bahwa seseungguhnya Dia mencipta manusia—karena cinta dan sayang—hanya agar manusia itu belajar kembali mencintainya, melalui pengenalan atas dirinya, “sebagai yang Pengasih, Penyayang, dan Penutup Aib.”

Maka, sebagai bukti bahwa mencintainya, adalah hanya dengan mencintai sesamanya, yang oleh Tuhan disebut sebagai kerabat (‘iyal)-nya sendiri.

Atas semua itu, setiap pemeluk agama (muslim) punya kewajiban berdakwa, mengajak kepada Tuhan, kepada kebaikan, dengan cara-cara rahmah, bukan dengan cara marah. Sebab, dakwah atau peribadatan yang hampa kasih-sayang, rahmah, ramah, dapat mengerdilkan kehidupan, dan bisa jadi menghalalkan kekerasan. Dan Islam tidak demikian. Begitu.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru