31.7 C
Jakarta

Film Nussa, Khilafahisme Felix Siauw, dan Kekalahan BuzzeRp

Artikel Trending

Milenial IslamFilm Nussa, Khilafahisme Felix Siauw, dan Kekalahan BuzzeRp
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Film Nussa, animasi islami Indonesia, berhenti produksi. Menurut keterangan Felix Siauw, konsultan film tersebut, pemberhentiannya diakibatkan pandemi COVID-19. Film yang telah eksis di YouTube sejak 2018, dan pada bulan Ramadhan 2020 lalu tayang di Trans TV, kata Felix, harus berhenti pada Jum’at, 1 Januari 2021 sebagai episode terakhir. Felix juga menjabarkan alasan lain, yaitu difitnah sebagai film radikal dan intoleran. Apakah kasus ini berkaitan dengan agenda khilafahisme Felix?

Untuk diketahui, Nussa hadir sebagai program tayangan edukasi dengan berkonsep fun-edutainment. IP pertama Studio Animasi The Little Giantz yang bekerja sama dengan Visinema itu bercerita tentang kehidupan sehari-hari keluarga sederhana dengan karakter utama anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Nussa, adik kecil perempuannya bernama Rarra berusia 5 tahun, dan ibunda bernama Umma yang selalu hadir dengan kehangatannya.

Menurut Sagita Ajeng Daniari, Corporate Secretary The Little Giantz, seperti dilansir dari Kompas, ide dasar dari pembuatan film Nussa terinspirasi dari beberapa rekannya yang mengungkapkan belum banyaknya tayangan edukasi di era digital. The Little Giantz dan 4 Stripe Production kemudian bersama-sama mengembangkan Nussa. Respons penonton relatif memuaskan karena mendidik. Maka ketika tersiar berhenti produksi, respons terhadapnya juga datang dari berbagai pihak.

Mulanya dari cuitan Denny Siregar, influencer yang kerapkali dicap buzzeRp. Menanggapi akan tayangnya Nussa di bioskop, Senin (11/1) kemarin ia menulis di Twitter miliknya:

Mas @anggasasongko apa gak paham ya, kalau pilem Nusa ini yang bidani Felix Siaw? Liat aja bajunya si Nusa, emang anak muslim Indonesia bajunya model gurun pasir gitu? Setau saya, dr dulu kita sarungan deh. Hati2 mas, jangan jd jembatan propaganda mrk..,”

Satu kemudian, Denny kembali menulis, “Mas @anggasasongko kenapa ga tiru Upin Ipin? Mrk tdk bicara agama, mrk tdk berpakaian agama kecuali pas hari besar saja. Tokoh2nya beragam dr ras melayu, china smp india. Ada usaha keras utk menyatukan ras2 di Malaysia.. Bukannya malah besarkan film eksklusif binaan HTI…

Angga Sasongko, sang sutradara, membalas cuitan Denny. Dalam perseteruan sutradara vs buzzeRp ini, ada yang menarik, yaitu hujatan pada Denny dan pembelaan kepada film Nussa. Karenanya, ini menarik ditelisik lebih jauh. Narasi khilafah memang harus dilawan, sekeras kita mengkonter indoktrinasi aktivisnya seperti Felix. Tetapi, ketika film Nussa mendapat apresiasi-simpati masyarakat, maka harus kita simpulkan satu fakta, bahwa dalam hal kontra-narasi, buzzeRp sudah salah dan kalah langkah.

Kita Takut Khilafahisme Felix

Kita memahami kekhawatiran Denny Siregar. Ia benar ketika mengatakan, para aktivis khilafah akan melakukan berbagai cara untuk melakukan indoktrinasi. Meminjam bahasa Denny, mereka licik. Kasus pencatutan nama sejarawan Peter Carey beberapa waktu lalu menjadi catatan yang jelas akan itu. Khilafahisme tidak boleh punya tempat di negeri ini. Masalahnya adalah, alasan yang ia suguhkan gampang tertolak: menentang film Nussa hanya karena pemainnya Islam semua tidak memakai sarung.

Di sini perlu digarisbawahi, bahwa kebenaran yang disampaikan tanpa melihat konteks dan menyerang secara membabi-buta akan kalah dengan kebatilan yang disampaikan dengan bijak. Pertama, produksi Nussa bukan oleh HTI. Felix Siauw sekadar konsultan. Narasi “sabar” yang dimainkan Felix cukup menciptakan simpati di masyarakat, bahwa ia ada di jalan yang benar, sekalipun kita tahu itu palsu. Bersamaan dengan itu, wajah kontra-narasi menjadi menyeramkan—masyarakat melihat perilaku Denny.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Alih-alih akan membenci Felix, justru yang dibenci adalah Denny itu sendiri. Dan imbasnya cukup jauh, karena semua jalan mengkonter gerakan khilafahisme Felix akan dituduh menjadi buzzeRp. Yang demikian jelas merupakan catatan buruk bagi kontra-narasi radikalisme dan  khilafahisme. Yang salah bukan masyarakat, melainkan ‘oknum’ yang keliru langkah tadi. Sementara itu Felix memenangkan hati masyarakat. Sampai di sini, kita lihat, siapa yang memenangkan pertarungan narasi?

Ketakutan kita dengan khilafahisme Felix, dengan demikian, harus dibarengi taktik yang kokoh untuk mengkonter mereka. Memang ada kemungkinan, karena dirinya konsultan, film Nussa akan berdasarkan arahannya. Kita harus jeli melihat pertarungan narasi. Instruksi Felix untuk sabar, sabar, dan sabar di satu sisi, dan di sisi lain membabi-butanya buzzeRp melawan gerakan mereka tidak akan berbuah apa-apa. Kontra-narasi itu jelas wajib, tetapi wajib juga kita menyampaikannya dengan cara yang tepat.

Dakwah Lembut Film Nussa

Tulisan ini hendak menyimpulkan bahwa kontra-narasi oleh buzzeRp, seperti yang dicontohkan Denny Siregar, merupakan angin buruk bagi kontra-narasi khilafah di tanah air. Jika kita melakukan taktik yang sama persis, maka kita semua sudah kalah melawan aktivis khilafah seperti Felix. Buktinya, setelah perseteruan di Twitter, Denny sudah tidak disukai oleh sang sutradara film, dan secara otomatis sutradara tersebut (juga masyarakat?) akan lebih suka Felix ketimbang Denny dan tokoh sekawannya.

Film Nussa cukup mendidik. Dan dengan mengatakan demikian bukan berarti kita sudah menjadi pengikut Felix. Terlalu dangkal untuk mengambil kesimpulan begitu. Misalnya konten film tersebut hanya tentang satu agama, yaitu Islam, atau kata Denny tidak netral dan multikultural seperti Upin-Ipin, maka itu sah-sah saja dan tidak lantas mengajarkan eksklusivisme. Salah satu judul serial film Nussa, misalnya, berjudul “Toleransi”, dan isinya tentang kerukunan dengan pemeluk agama berbeda.

Dakwah lembut film Nussa telah menghipnotis banyak penonton. Kita tidak bisa melarang itu sekalipun Felix adalah konsultannya. Kontra-narasi hanya akan menjadi polemic jika targetnya tidak seburuk yang dituduhkan. BuzzeRp yang bertindak gegabah hanya mencederai kontra-narasi itu sendiri. Jika suatu hari kelicikan Felix terbukti, misalnya salah satu serial film Nussa mengarah ke indoktrinasi khilafah, maka di situlah andil kontra-narasi menjadi urgen. Untuk sementara ini, jika alasan penolakan terhadapnya hanya lantaran tidak bersarung, dikata Islam kaku, tidak me-Nusantara, misalnya, memang apa masalahnya?

Tidak semua gamis-jubah adalah potret khilafahisme. Kontra-narasi yang dilakukan dengan cara menghujat tidak akan menghasilkan apa pun kecuali bertambahnya antipati masyarakat dengan nasionalisme itu sendiri. Sebab, ketika bicara nasionalisme, ingatan masyarakat akan tertuju pada sosok-sosok buzzeRp. BuzzeRp sudah kalah melawan kaum khilafah. Felix punya cara yang sangat ampuh. Sementara itu, kontra-narasi adalah tugas mulia kita untuk Negara.

Maka satu-satunya cara adalah: kita harus sudahi tradisi melawan gerakan mereka dengan hujatan, Ad hominem, yang akan membuat kita justru dibenci masyarakat. Khilafahisme tidak boleh diberikan tempat. Dan yang terpenting, jangan sampai justru kita yang memberikan tempat itu dengan kekeliruan taktik kontra-narasi kita sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru