33 C
Jakarta

Film Lafran: Visi Islam dan Kritik Internal

Artikel Trending

KhazanahResonansiFilm Lafran: Visi Islam dan Kritik Internal
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejak 20 Juni 2024 lalu, publik Muslim Indonesia disuguhkan film berjudul Lafran, yang mengisahkan tokoh pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia saat ini. Acara nobar (nonton bareng) pun banyak diselenggarakan oleh korps alumni dan aktivis HMI di berbagai tempat. Tentu saja, dengan dimulai di Jakarta yang bukan saja sebagai ibu kota negara tetapi juga pusat kebudayaan populer.   

Film ini adalah produk Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama rumah produksi Reborn Initiatives, yang pembuatannya memerlukan riset panjang agar didapatkan cerita yang mendekati realitas hidup Lafran Pane dan juga agar menarik. Skenario film ini ditulis Jujur Prananto dan Oka Aurora, dengan Faozan Rizal sebagai sutradara. Di antara tokoh yang terlibat dalam film adalah Dimas Anggara yang memerankan Lafran Pane, Lala Karmela, dan juga Mathias Muchus sebagai ayah Lafran.

Biografi Lafran

Sesuai judul, film ini mengisahkan tokoh Lafran Pane, dari kecil sekitar berusia 5 atau 7 tahun dari tahun kelahirannya 1922 hingga menjadi pemrakarsa berdirinya HMI, 5 Februari 1947. Dari periode pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, hingga periode awal kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1947 atau maksimal 1950-an. Latar tempatnya terutama Padang Sidempuan, Jakarta, dan Yogyakarta.   

Dikisahkan bahwa waktu kecil, Lafran hidup ketika ibunya sudah meninggal dunia. Ia dan kakak perempuannya pun dibesarkan oleh neneknya, dan tentu saja juga bersama ayahnya yang single parent. Saat kecil, Lafran dikenal sering bolos mengaji dan sekolah. Ia mulai berubah saat mengaji surah al-‘Ashr di surau, di mana orang yang menyia-nyiakan waktu, menurut syekh atau ustaz yang mengajarinya sebagai teman setan yang ingkar waktu sebagai nikmat Allah.

Setelah kehilangan nenek yang mengasuh dan membesarkannya karena meninggal dunia, dan khawatir kebiasaan bolos sekolah berlanjut, Lafran pindah ke Jakarta hingga selesai jenjang pendidikan SLTA. Tentu saja juga karena faktor kesibukan ayahnya bekerja mengurus percetakan buku dan aktivis sosial yang tak dimungkinkan mengurus Lafran kecil dengan baik. Meski awalnya berat hati, ia luluh, saat ayahnya bilang, bangsa Indonesia, termasuk warga kampungnya, tidak mungkin bisa terlepas dari kerangkeng penjajahan Belanda, jika masyarakatnya bodoh, tidak sekolah.  

Masa kecil yang kehilangan dua sosok perempuan yang membesarkannya, ibu dan neneknya, agaknya membuat Lafran terjerumus pada dunia kekerasan, karena ada kekesalan atau dendam yang dipendamnya. Ia terlibat pada dunia tinju jalanan sebagai pelampiasan atas kekecewaan hidupnya, meski tetap taat agama dengan terus melakukan salat. Bahkan sempat mengajari salat kepada temannya. Ia mulai meninggalkan dunia tinju jalanan saat dimarahi kakaknya yang juga sastrawan Armijn Pane. Ujar kakaknya itu, “Jika kau tidak puas dengan kenyataan hidup yang membuat kau kecewa, maka salurkanlah pada hal-hal positif,” sambil melemparkan novel Belenggu, karyanya yang menandai lahirnya sastra realis modern Indonesia.

Lafran sempat bergaul dengan para aktivis muda kemerdekaan, dari sejak di Padang Sidempuan dan terutama saat di Jakarta. Misalnya Adam Malik dkk yang berencana menculik Soekarno-Hatta untuk memerdekakan Indonesia, 17 Agustus 1945. Mereka adalah teman-teman dua kakaknya, yaitu Armijn Pane (sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang menyuarakan perubahan/modernisasi budaya) dan juga Sanusi Pane (tokoh utama penyair Angkatan Balai Pustaka yang memperkenalkan puisi bebas Indonesia modern, di mana ciri utama puisi ideal baginya adalah “dari sukma mengalir kata”). Lafran pun sempat ditanya oleh kawan-kawan pergerakan kemerdekaan dua kakaknya itu tentang apa itu nasionalisme, meski Lafran tidak menjawab. 

Setelah selesai SLTA, Lafran pulang kampung dan menjadi aktivis sosial kemerdekaan. Ia pun dipenjara oleh tentara Jepang yang militeristik dan akan dieksekusi atau dihukum mati, jika tidak ditebus ayahnya. Bus dan percetakan ayahnya pun menjadi harta tebusan bagi kebebasan Lafran, meski ia juga harus keluar dari kampungnya dan kembali ke Jawa. 

Visi Islam dan Kritik Internal

Latar cerita film kemudian berubah tempat ke Yogyakarta, saat Lafran kuliah di sana dan berjuang secara terang-terangan, mewarisi cara berjuang ayahnya, yang berbeda dengan dua kakaknya. Tepatnya, di Sekolah Tinggi Islam (STI), cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII), yang Prodi Studi Islam-nya—di mana Lafran belajar—menjadi cikal-bakal bagi UIN/IAIN se-Indonesia.

Di sana ia menemukan, di satu sisi Indonesia sebagai negara baru merdeka masih terbelakang dan terancam terjajah kembali oleh Belanda. Namun, di sisi lain umat Islam tidak bersatu. Mereka berkonflik untuk hal-hal agama yang tidak prinsipil, soal furu’iyah (cabang), meski istilah itu tak disebut harfiah dalam film. Muslim yang salat Subuh dengan qunut menyalahkan yang tidak, demikian sebaliknya. Juga saling menyalahkan antara para aktivis mahasiswa nasionalis sekuler, meski Muslim, yang tidak suka agama, dengan para aktivis gerakan Islam politis/ideologis (Masyumi), kalangan yang kurang menekankan Islam sebagai agama. Apa yang terjadi kemudian kalangan Islam abangan (nominal/KTP), kurang mendapatkan dakwah agama, ajaran Islam dalam wilayah kultural yang tak terkait politik. Termasuk di dalamnya para mahasiswa UGM kala itu yang melihat salat sebagai ciri aktivis Masyumi.

Lafran pun tampil dengan memprakarsai berdirinya HMI, dan lahirlah kemudian HMI pada 5 Februari 1947. Ia dimusuhi kaum Masyumi yang saat itu mengusung islamisme, Islam politis/ideologis. Mereka menganggap Lafran telah memecah-belah Islam. Juga dimusuhi kaum nasionalis sekuler yang dinilainya tidak nasionalistis, yang berbeda dengan dua kakaknya. Bagi kaum nasionalis sekuler, gerakan Lafran dengan HMI-nya yang berbasis Islam tidak menjadikan komitmen utama pada tanah air, di mana komitmen agama bukanlah hal utama.

BACA JUGA  Pesan Pertama Madinah untuk Umat Islam

Berbeda dengan mereka, bagi Lafran, Islam yang baik adalah Islam yang fokus pada masalah besar seperti keharusan memerangi kebodohan dan kemiskinan. Karenanya, umat Islam harus bersatu, bukannya malah berpecah-belah dalam masalah fikih bukan pokok. Dalam bahasa Cak Nur, penafsir Islam yang paling otoritatif bagi HMI belakangan, baik NU, Muhammadiyah, maupun Masyumi saat itu “tidak menyentuh persoalan besar yang lebih esensial menyangkut Weltanschauung tentang alam, manusia, dan Tuhan”, yang dalam bahasa di film disebut harfiah: “Islam rahmatan lil alamin”, atau HMI sebagai singkatan Harapan Masyarakat Indonesia juga, sebagaimana diungkap Jenderal Soedirman.

Di sisi lain, kaum nasionalis sekuler tidak membedakan Islam politis/ideologis dengan Islam kultural, di mana ajaran Islam kultural seperti salat menjadi kewajiban setiap Muslim, meski tidak tergabung di Masyumi. Salat pun dipahami mereka identik dengan Islam ideologis yang berpandangan Islamic state. Meski tidak disebut harfiah, bagi Lafran, ajaran Islam utama adalah rukun Islam, terutama salat, di mana umat Islam baru boleh melawan pemerintah, saat salat dilarang saja, sebagaimana disebut salah satu hadis Nabi yang dipegang teguh Sunni. Islam juga dipandang mereka dengan terlalu dihadap-hadapkan dengan nasionalisme.

Padahal, nasionalisme juga merupakan bagian dari ajaran Islam, di mana Nabi di Madinah mendirikan negara multi-etnis dan agama, meski yang terakhir ini tidak disebut harfiah dalam film. Apalagi dalam arti nasionalisme sebagai berjuang untuk kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Tentu sisi terakhir ini dalam film juga tidak disebut secara harfiah, tetapi dari sikap Lafran, dua kakaknya,  dan juga ayahnya yang cinta tanah air dan mau berjuang untuk masyarakat dan negara, terutama kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.   

Berdasarkan penjelasan di atas, meski film ini lebih sebagai film yang mengisahkan biografi Lafran Pane sebagai pendiri HMI, agaknya film ini juga merupakan kritik atas internal para aktivis Islam, bahkan juga sebagai kritik terhadap para aktivis kaum nasionalis saat ini. Disebut demikian, karena realitas dan problem pemahaman Islam seperti kritik yang disampaikan Lafran atas Islam pada tahun 1940-an hingga kini masih relevan.

Kini umat Islam masih terkungkung oleh perbedaan soal furu‘iyah yang bukan prinsipil, meski telah berkurang. Umat Islam juga masih lemah dalam soal ilmu pengetahuan dan teknologi (pendidikan) yang membuat Barat menjajah serta lemah secara ekonomi. Ini juga kritik atas negara di mana Indonesia secara umum masih dalam kubangan dua problem itu, meski kementerian agama, pendidikan, dan juga banyak kementerian pemberdayaan ekonomi sudah lama berdiri.

Film ini juga bisa disebut sebagai kritik atas para aktivis HMI saat ini yang mayoritas, paling tidak banyak yang politis, di mana tujuan jangka pendeklah yang menjadi tujuan utama beraktivitas, bukan tujuan jangka panjang yang berbasis kelapangan hati. Karenanya, konflik atas sesama HMI atau KAHMI sering terjadi. Di kampus-kampus ternama sekali pun. Tentu dengan mengecualikan banyak tokoh KAHMI/HMI yang ikhlas membesarkan KAHMI dan HMI. Ini berbeda dengan Lafran, yang ikhlas menyerahkan kepemimpinan HMI kemudian kepada Syafaat Muntadja dari UGM. Lafran bahkan bersedia menjadi Sekretaris PB HMI, jabatan di bawah Syafaat Muntadja.

Dengan begitu, maka dakwah Islam dalam wilayah kultural bisa terlaksana dengan baik di kalangan mahasiswa UGM dengan indikasi, mahasiswanya yang menjadi aktivis HMI belakangan mau melakukan salat dengan baik. HMI pun menjadi organisasi kemahasiswaan Islam, terutama untuk mahasiswa bukan dari kalangan santri yang bukan berasal dari pesantren atau prodi keislaman saja. HMI berbeda dengan GMNI di satu sisi, dan PMII atau IMM di sisi lain.

Plus-Minus Film

Meskipun punya banyak sisi kelebihan, tentu saja sebagai karya kemanusiaan film ini mengandung banyak kekurangannya. Hemat penulis, film Lafran ini lebih baik ketimbang film HAMKA sekalipun, dilihat dari sisi film yang tidak monoton. Dalam film ini terdapat sisi guncangan-guncangan jiwa (nuansa kehidupan yang berbeda), tidak hanya terkait perjuangan Lafran yang bergagasan saja. Ada sisi kontinuitas dan perubahan—pertobatan.

Misalnya sering bolos sekolah dan terlibat dunia tinju jalanan, tidak menampilkan tokoh Lafran sebagai manusia pergerakan melulu yang sempurna. Juga menampilkan Lafran yang fasih bicara di depan ribuan orang, tetapi tidak di hadapan satu wanita yang dicintainya, sebagai ciri umumnya para aktivis HMI hingga kini. Film ini bahkan pada masa akan datang bagus, jika dijadikan media populer yang renyah terutama untuk kepentingan latihan kader (LK) I, bahkan LK III di HMI.

Namun, dalam film, Lafran ditampilkan kurang intelektual, yang tak bisa menjawab secara fasih serangan kaum islamis ideologis dan nasionalis sekuler, meski mungkin saja aslinya demikian. Ini agak anakronisme untuk para aktivis HMI. Sebagai film yang mengupas tokoh pergerakan dan intelektual, tentu saja film juga masih tetap kurang bernuansa dan berbasis kebudayaan populer yang agaknya susah bertahan lama di berbagai bioskop.

Sebagai film bergagasan, film kurang mudah dipahami oleh umumnya orang dan kurang marketable. Yang menonton berdasarkan pasar tontonan di berbagai bioskop pun tidak banyak. Sosok Jenderal Soedirman dalam film juga ditampilkan dengan tokoh pemeran yang tampak terlalu muda, sebanding dengan tampilan para pemuda pendiri HMI kala itu. Wallah a’lam.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru