26.2 C
Jakarta

Fikih Traveling (3): Kriteria Traveling Yang Mendapatkan Keringanan Beribadah Seperti Sholat Jamak dan Qosor

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamFikih Traveling (3): Kriteria Traveling Yang Mendapatkan Keringanan Beribadah Seperti Sholat Jamak...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Traveling zaman sekarang ini memang telah menjadi hobi baru dikalangan masyarakat kita. Namun demikian sebagai orang yang beriman, walaupun dalam keadaan traveling tetap harus memperhatikan urusan ibadahnya. Pengetahuan urusan ibadah saat traveling ini bisa dikatakan fikih traveling.

Traveling memang kadang menyusahkan pelakukanya dalam urusan beribadah seperti sholat. Dalam keadaan traveling, terkadang sangat susah menjaga sholat lima waktu, oleh karena Islam sebagai agama yang komprehensif memberikan keringan bagi para pecinta traveling dalam urusan ibadahnya. Namun demikian tidak semua traveling berhak mendapatkan keringanan dalam beribadah seperti sholat jama’ dan qosor. Lantas bagaiamankah kriteria traveling yang mendapatkan keringanan beribadah seperti sholat jamak dan qosor..?

Kriteria Fikih Traveling Agar Mendapatkan Keringanan Beribadah

1, Traveling yang dilakukan tidak bertujuan untuk bermaksiat atau melakukan hal yang dilarang agama.

Dalam fikih traveling atau fikih safar dibahas bahwa persyaratan atau kriteria agar traveling yang dilakukan mendapatkan keringanan beribadah maka traveling yang dilakukan bukan traveling yang mengandung maksiat. Hal ini seperti keterangan dalam kaidah fikih

الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي

Artinya: “Keringanan syara’ tidak didapatkan dengan maksiat”.

Para ulama fikih mengklasifikasi berbagai motif kemaksiatan para traveler menjadi tiga hal. Ketiga pembagian ini secara ringkas dijelaskan daam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:

(والحاصل) أن العاصي ثلاثة أقسام الاول: العاصي بالسفر، وهو الذي أنشأ معصية. والثاني: العاصي بالسفر في السفر، وهو الذي قلبه معصية بعد أن أنشأه طاعة، كأن جعله لقطع الطريق ونأى عن الطاعة التي قصدها. والثالث: العاصي في السفر، وهو الذي يسافر بقصد الطاعة وعصى في أثنائه مع استمرار الطاعة التي قصدها.

artinya: “Kesimpulannya bahwa musafir yang melakukan maksiat terbagi menjadi tiga. Pertama, al-‘ashi bis-safar, yakni orang yang sejak awal bepergian bertujuan melakukan maksiat. Kedua, al-‘ashi bis-safar fis-safar, yakni orang yang mengganti tujuan bepergian ke arah maksiat setelah awalnya bertujuan untuk melakukan ketaatan, seperti musafir yang bertujuan merampas harta di jalan dan berpaling dari tujuan awal yakni melaksanakan ketaatan. Ketiga, al-‘ashi fis-safar, yakni orang yang bepergian dengan tujuan ketaatan, tapi di tengah perjalanan ia melakukan kemaksiatan, besertaan terus-menerusnya tujuannya yang berupa melakukan ketaatan” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116).

BACA JUGA  Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi

ketiga jenis maksiat saat traveling ini mengakibatkan seseorang yang melakukan traveling tidak mendapatkan keringanan beribadah seperti sholat jamak dan qosor. namun demikian apabila ditengah perjalanan mereka bertobat dari niat maksiat tadi dan jarak perjalanan masih lebih dari 89 km maka seseorang tersebut tetap mendapatkan keringanan dalam beribadah.

Dan apabila melakukan traveling dengan niat ganda seperti untuk melakukan ketaatan sekaligus melakukan maksiat, maka seseorang yang melakukan traveling dengan niat ganda ini tetap tidak mendapatkan keringanan dalam beribadah.

2, Jarak traveling lebih dari dua Marhalah

Dalam fikih Traveling, jarak minimal traveling yang berhak mendapatkan keringanan beribadah adalah telah mencapai dua Marhalah atau 16 Farsakh. Para ulama sendiri memiliki perbedaan pendapat dalam menentukan satuan ukuran ini, apalagi setelah di konversikan ukuran marhalah atau farsakh ini dalam ukuran Kilo Meter (KM).

Adapun mayoritas ulama mengatakan bahwa jarak minimal traveling dalam aturan fikih traveling atau fikih safar agar mendapatkan keringanan beribadah adalah 119,99 KM. Adapun pendapat yang paling ringan ialah versi kitab Tanwirul Qulub yang mengatakan bahwa jarak minimal traveling yang mendapatkan keringanan beribadah seperti sholat jamak dan qosor adalah jarak 80,64 KM.

3, Mempunyai tujuan tempat yang jelas saat traveling

Dalam fikih traveling juga disyaratkan memiliki tujuan yang jelas saat melakukan traveling agar bisa mendapatkan keringan beribadah seperti sholat jamak dan sholat qosor. Itu artinya sejak awal sudah harus ditentukan mau melakukan traveling ketempat mana. Hal ini juga terkait dengan pengukuran jarak minimal traveling yang menyebabkan mendapatkan keringan beribadah. Misalnya kita berada di Wonosobo dan hendak melakukan traveling ke Jakarta, maka ukuranya sudah jelas 468,6 KM.

Dan apabila kita melakukan traveling dengan tidak jelas arah dan tujuaanya, maka traveling yang seperti ini tidak mendapatak keringanan beribadah.

Wallah A’lam Bisshowab

 

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru