26.1 C
Jakarta

Felix Siauw, Contoh Ustadz Good Looking yang Radikal

Artikel Trending

KhazanahPerspektifFelix Siauw, Contoh Ustadz Good Looking yang Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya tertarik untuk menanggapi kontroversi yang dialamatkan ke pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi pada Rabu (2/9) lalu, tentang radikalisme yang masuk melalui orang good looking bahkan juga hafizh al-Qur’an. Apakah Menag salah? Saya pikir, ada yang perlu ditafsirkan dalam kontroversi tersebut. Apalagi polemik ini semakin dipanas-panasi oleh Felix Siauw di kanal YouTube miliknya, juga di Twitter-nya. Dipelintir sedemikian rupa, digeneralisir, bahwa deradikalisasi pemerintah tidak lain ialah bentuk deislamisasi—tuduhan yang jahat sekali.

Tetapi, sebelum masuk ke penafsiran dan analisis, saya ingin mengutip hadis berikut:

قال عليه السلام إنكم أصبحتم في زمان كثير فقهاؤه قليل خطباؤه قليل سائلوه كثير معطوه العمل فيه خير من العلم وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه والعلم فيه خير من العمل

Nabi SAW bersabda: Kalian semua (para sahabat) berada di zaman yang banyak para ahli fikihnya (ulama), sedikit orang yang pandai bicara. Sedikit para peminta-minta, banyak para pemberi. Amal pada masa ini lebih baik daripada ilmu. Dan kelak akan datang, masa di mana sedikit ahli fikihnya, banyak orang yang pandai bicara, sedikit yang memberi, dan banyak yang meminta. Ilmu akan lebih utama daripada amal.

Kenapa Nabi membedakan antara ulama fikih (fuqaha’) dengan penceramah (khuthaba’)? Kenapa juga hadis tersebut memberi kesan bahwa penceramah itu belum tentu ahli fikih? Dan kenapa Nabi seolah mengatakan, bahwa di akhir zaman, umat akan krisis ilmu? Semua pertanyaan ini related dengan polemik ustadz radikal good looking yang disitir Menag. Siapa itu usadz ‘alim berilmu, siapa itu yang hanya ustadz good looking, dan siapa yang radikal di antara keduanya?

Tulisan ini berusaha memberikan argumen, bahwa tidak sepenuhnya yang Menag sampaikan adalah salah, atau bahkan menyakiti hati umat Islam sebagai mana dituduhkan MUI. Juga bahwa tuduhan Felix tentang proyek deislamisasi pemerintah adalah fitnah belaka dari seorang maniak khilafah HTI. Sepatutnya, melalui wacana ustadz good looking dan hafizh yang disinyalir radikal ini, kita jadi berpikir, ustadz seperti Felix Siauw dkk itu, yang jelas-jelas aktivis khilafah, pantas ditokohkan atau tidak?

Felix Good Looking?

Felix Siauw salah fatal ketika menafsir good looking sebagai ‘cerdas’, ‘menarik’, ‘kekinian’, dll. Makna-makna tersebut sangat subjektif. Alim dan pintar pidato itu tidak memiliki ketergantungan satu sama lain, sebagaimana label kiai tidak memiliki ketergantungan dengan label muballigh. Banyak yang alim, menguasai berbagai ilmu, tetapi tidak bakat ceramah. Ada yang ilmunya hanya secuil, tetapi ketika ceramah bisa menghipnotis pendengar hingga berjam-jam.

Lalu di mana tolok ukur integritasnya?

Penting untuk dicatat, keilmuan dan metode merupakan dua hal yang berbeda, yang berhubungan secara kausal. Dengan metode, penyampaian ilmu menjadi maksimal, tetapi tanpa ilmu, metode hanya akan berpotensi mereduksi kebenaran. Ustadz good looking itu berada di tataran metode tadi, bukan dijamin kualitas keilmuannya. Siapa yang bisa membantah, bahwa di Indonesia, untuk menjadi ustadz itu tidak perlu alim yang penting kekinian, milenial, dan bisa bikin jemaah tertawa?

Good looking tidak melulu mencerminkan intelektualitas sebagaimana yang diasumsikan Felix. Felix itu berpenampilan menarik, maka ia good looking. Tetapi ia belum tentu alim; ustadz alim yang sejati tidak mungkin suka nyinyir di Twitter, suka menghasut umat dengan pemerintah, bahkan menipu umat dengan terlibat propaganda film Jejak Khilafah. Maka ketika good looking tersebut ternyata bisa diakomodir kepada sesuatu yang salah, seperti dakwah par aktivis khilafah, maka bagian mana dari ucapan Menag yang keliru bahwa radikalisme bisa berasal dari ustadz yang hanya menang good looking?

Faktanya, masyarakat Indonesia lebih suka penceramah yang lucu, sekalipun kealimannya diragukan. Yang penting, bisa membuat tertawa. Kalangan milenial juga lebih suka ustadz yang berpenampilan gaul, dikata good looking, karena lebih sesuai dengan kejiwaan mereka. Evie Efendi lebih disukai milenial daripada Gus Muwafiq, bukan? Felix Siauw lebih dipercaya daripada Gus Nadirsyah Hosen, bukan?

BACA JUGA  Pancasila: Fondasi Bangsa untuk Melawan Ideologi Radikal Pemecah Persatuan

Jika iya, maka jelas, good looking memang berpotensi menjadi sumber radikalisme bukan karena kita, atau pemerintah, anti-Islam. Good looking adalah bagian dari metode penyampaian, alim atau tidaknya tidak ada yang menjamin. Dikiranya selama ini wacana radikalisme itu tak ada, kecuali hanya akal-akalan pemerintah sebagaimana dituduhkan Felix—ustadz yang hanya menang good looking itu?

Radikal Itu Nyata!

Menyangkal keberadaan radikalisme di Indonesia adalah tindakan yang nihil, senihil anggapan bahwa komunisme akan bangkit sekarang. Orang alim yang ditokohkan, dakwahnya menyejukkan. Gus Mus, Quraish Shihab, Gus Baha, adalah sedikit contoh. Sementara orang good looking yang ditokohkan, segala yang disampaikan justru menjadi polemik. Sugi Nur, Evie Efendi, Felix Siauw, adalah para aktornya. Apakah dengan demikian Gus Baha yang alim dikategorikan sebagai orang yang tidak good looking?

Tidak begitu. Good looking bukan gelar yang buruk.  Ia menjadi tidak baik justru ketika disematkan kepada orang yang salah, yang diukur berdasarkan penampilan fisik menariknya sajam, bukan kepasitas keilmuannya. Yang seperti ini bukan lagi sesuatu yang baru di Indonesia, sehingga menyangkal pernyataan Menag sebagai tuduhan yang tak berdasar adalah sesuatu yang keliru. Hanya saja, bahasa yang digunakan Menag kurang tepat sehingga disalahpahami.

Seharusnya, dengan kontroversi itu, kita menjadi sadar, kita selama ini cenderung menilai seseorang dari luar: akan disukai kalau penampilannya menarik. Padahal, yang menarik belum tentu baik dan belum tentu alim, berilmu. Bisa jadi mereka hanya pintar mengolah kata, punya paras yang tampan, gaya penampilan kekinian, padahal secara keilmuan sangatlah minim. Misal, beberapa waktu yang lalu, seorang ustadz yang good looking tidak bisa mengaji al-Qur’an dengan tepat.

Di tangan orang yang hanya menarik segi penampilannya, yang tak imbang dengan keilmuannya, radikalisme tumbuh subur. Itulah yang dimaksud oleh Menag. Di tangan mereka, agama menjadi sempit, syariat menjadi mencekam, politik disyariat-syariatkan demi kepentingan sendiri. Di tangan mereka; para ustadz yang hanya good looking, umat terprovokasi dan jadi membenci pemerintah (uli al-amr). Jika demikian, melalui cuitan dan konten-kontennya yang provokatif, dan banyaknya retweet atau viewers terhadapnya, bukankah jelas bahwa Felix Siauw merupakan contoh ustadz good looking yang radikal?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru