31.8 C
Jakarta

Fairuz Menatap Kesunyian (Bagian XXVII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniFairuz Menatap Kesunyian (Bagian XXVII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Shalawat menjelang magrib mengalun keras dari corong masjid. Santri seketika bergegas mandi. Santri pun berdesak-desakan untuk mengantri masuk kamar mandi. Berjajar gayung yang berisi sabun. Jajaran gayung dibuat penanda, yang ada diurutan pertama berhak masuk kamar mandi lebih awal, kemudian disusul gayung yang ada diurutan berikutnya. Berebut kamar mandi yang serba terbatas, sementara penggunanya tak terbilang adalah pemandangan sehari-hari di pesantren. Ada juga yang mandi di sumur pesantren. Mandi di sumur lebih praktis dan cepet, karena antriannya tidak padat. Biasanya santri cukup melempar ember ke dalam sumur, lalu ditarik setelah air memenuhi ember.

Fairuz baru bertandang di pesantren. Dari pagi sampai siang dia mengisi Training of Writing di UIN Sunan Ampel Surabaya. Selepas acara, dia langusng kembali ke pesantren. Mungkin bisa mengikuti acara yang diadakan pesantren, sementara pembicaranya sosok yang diidamkan, Diva. Tapi, baru sampai di pesantren acaranya baru saja selesai. Belum ada kesempatan melihat sosok kekasihnya, walau sekejap saja.

Rindu yang berlabuh dalam jiwa seakan tak terbendung. Tak ada cara untuk mengekspresikan perasaan rindu itu selain menulis. Tapi, bertemu adalah obat yang dapat menyembuhkan perasaan rindu. Mungkin, bukan takdirnya mereka bertemu. Entahlah, kapan takdir mempertemukan kembali dalam sebuah momen.

Kesibukan Fairuz adalah hal yang maklum. Sekalipun ia terlahir dari keluarga sederhana, tapi karena kehebatannya dalam tulis-menulis, bahkan hafidz Al-Qur’an, undangan datang silih berganti, termasuk menjadi juri di Jakarta kemarin.

Sambil duduk di beranda, bilik angin sore menyisir bulu kuduk. Perasaan tetap saja ganjil. Pikiran serba mumet. Tiada cara selain menerima. Menerima yang telah terjadi. Shalawat dari tadi mengalun dari corong masjid. Menjelang malam senja semakin menipis. Semburat kemerah-merahan bertaburan di ufuk barat. Senja mengingatkan momen saat berdua di tepi danau. Beginilah rindu. Menyenangkan, tapi pahit.

Sebuah bolpoin diambil disertai kertas kosong, lalu kata demi kata mengalir dengan sendiri.

Div,

Belum saatnya Tuhan mempertemukan kita dalam suatu momen. Padahal, aku merindukan pertemuan yang sudah-sudah terulang kembali. Momen itu sungguh berkesan.

Kamu tahu aku duduk termenung seorang diri sembari memandangi menara masjid. Di tengah kerinduan ini aku selalu menitipkan salam kepada menara itu. Aku yakin menara yang tinggi bisa mengantarkan salam ini kepadamu, Div. Ingin rasanya mengintipmu dari puncak menara.

Tapi, semua ini hanya mimpi. Kendati begitu, aku percaya, mimpi akan mencipta kenyataan yang tak terduga. Karena, pemimpi itu selalu dijaga Tuhan, termasuk mimpi yang disaksikan para malaikat. Pemimpi itu termasuk sosok yang mulia.

Tidak masalah, kita dibelenggu rindu yang pahit. Rindu adalah anugerah bagi para pencinta. Karena, standar cinta adalah rindu. Tanyakan pada hati, apakah rindu masih bertandang? Tidak rindu berarti tidak cinta. Sederhana banget.

Di tengah kerinduan aku ingin menitip doa pada setiap sujudmu. Sebutlah namaku di sela kau sebut nama Tuhanmu. Jangan duakan aku kecuali dengan Tuhanmu. Diduakan itu menyakitkan, Div.

Cinta itu amanah. Aku percaya kau dapat menjaga amanah ini. Mungkin itu saja. Biarkan tulisan ini menjadi saksi apa yang aku rasa.

Azan berkumandang. Santri bergegas menuju masjid. Terlihat seperti surga, pakaian yang dikenakan santri serba putih tanpa sorban. Pengurus pesantren mendesak santri segera berkumpul di masjid agar tidak terlambat shalat jamaah bersama pengasuh, karena keutamaan shalat jamaah tak bisa tergantikan dengan shalat sendirian yang dilakukan berkali-kali.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Di Pesantren Annuqayah shalat jamaah menjadi tirakat para santri. Santri yang shalat jamaahnya full empat puluh satu hari tanpa jeda akan mendapat keistimewaan (miracle). Biasanya langsung dihadiri sosok Kyai dalam mimpi tidurnya atau dimudahkan hidupnya saat kembali ke masyarakat nanti. Banyak santri yang berlomba-lomba menjalani tirakat ini, namun saat hampir selesai empat puluh satu hari, sehari ketinggalan, baik karena tidur atau apa pun, akhirnya semuanya sia-sia, sehingga harus memulai dari awal kembali. Menjalani tirakat ini tidaklah mudah, tapi bukan tidak mungkin. No imposible in the world. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Tirakat di setiap pesantren berbeda. Ada pesantren yang mengijazahkan tirakat puasa kepada santrinya. Santri yang terbiasa berpuasa secara tidak langsung menabung untuk dijadikan bekal esok. Karena, ukuran kesuksesan santri adalah saat kembali ke masyarakat. Apakah mereka menjadi orang yang dirindukan banyak orang atau tidak, sehingga dengan kepercayaan mereka, ilmu yang dipelajari di pesantren dapat bermanfaat.

Bi sur’ah, cepetan!” Pengurus mendesak santri yang masih bermalas-malasan di kamar.

Tongkat kayu yang dipegang pengurus dipukulkan ke lantai. Tar, tar, tar. Tak ada alasan tidak ikut shalat jamaah kecuali punya uzur semisal sakit. Terdengar tongkat dipukul, santri bergerak cepat. Kadang kancing baju dipasang sambil berlari.

Tidak selamanya santri sadar dengan peraturan pesantren. Masih banyak yang lalai, sehingga butuh disanksi saat melakukan pelanggaran. Pemberian sanksi adalah bentuk dari peringatan dan pendidikan agar mereka sadar bahwa malas itu adalah penyakit yang membunuh masa depan. Steve Jobs, CEO Apple Inc, berpesan: Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru