25.9 C
Jakarta

Fairuz dan Harapan yang Pupus (Bagian XXXI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniFairuz dan Harapan yang Pupus (Bagian XXXI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di samping bilik pesantren tersedia warnet. Biasanya santri pada antre, karena fasilitas serba terbatas, sementara penggunanya melimpah. Santri dilatih sabar menunggu. Yang datang lebih awal, dialah yang mengoperasikan lebih dahulu. Di sela-sela menunggu santri mengisi kekosongan dengan membaca buku. Kebiasaan ini yang mendidik mereka menjadi generasi para nabi. Berilmu.

Tak terhitung sudah berapa jam menunggu, Fairuz akhirnya baru berkesempatan online di internet. Dia buka email dan dikejutkan dengan sebuah kiriman dari email baru tak dikenal. Kirimannya sebuah file berbentuk Microsoft Word. Tanpa tajuk pengiriman, juga tanpa keterangan. Dikiranya ini email nyasar. Tapi, dicoba didownload dan terbuka secara otomatis.

Sebuah surat yang ditujukan kepada Fairuz Zakyal Ibad. Dibacalah pengirimnya tertulis Diva Rizka Maulia. Celengak-celengok. Takut ketahuan pengurus pesantren. Karena, hukumannya berat, boleh jadi dipelontos di depan banyak santri. Dibacalah isinya:

Akhi Fairuz

Sebelumnya aku minta maaf jika lancang mengirim surat yang kedua kalinya setelah sekian lama kita terbelenggu rindu. Setelah berjalan bersama di Ibu Kota Jakarta, kita tidak pernah berkirim surat. Bahkan, saat aku berkesempatan mengisi seminar yang dihadiri para santri, termasuk santri putra, tak terlihat wajah akhi. Padahal, aku mengharapkan akhi juga hadir.

Entahlah itu semua sudah berlalu. Hanya kenangan yang mengabadikan. Namun, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar kita sama-sama memendam perasaan yang sama, cinta. Mungkin akhi paham bagaimana perasaan seorang perempuan. Perempuan tidak meminta banyak, cukuplah kepastian. Ikatan cinta sebelum menikah adalah harapan semu yang bisa jadi berakhir manis atau bisa jadi berujung pahit.

Maaf akhi, jika aku terkesan egois. Begitulah perempuan. Dia tercipta berbeda dengan lelaki. Akhi pasti sudah mengerti sehingga aku tidak perlu berkata-kata banyak.

Di tengah kegelisahan aku cerita kepada Ummi tentang Akhi Fairuz. Tapi, orangtuaku merasa keberatan dengan hubungan ini. Di sinilah aku digoncang gelombang dahsyat: mencintai atau melepaskan.

Akhi Fairuz

Mencintai akhi adalah pilihanku, tapi bagimana rasanya saat pilihan ini tidak mendapat restu orangtua. Memaksa mencintai tetapi pada akhirnya akan berujung luka. Luka yang membuat kita saling menyakiti, saling dendam, saling membenci, dan saling melupakan.

Tapi, meninggalkan akhi adalah pilihan yang berat. Kita sama-sama memendam rindu dan cinta, bahkan sabar menunggu takdir menyatukan kita kembali, sehingga kesempatan yang sudah-sudah bersemi kembali: mengintip senja di tepi danau. Hati ini remuk jika kita harus saling meninggalkan kenangan indah itu. Begitu berkesan kenangan yang telah berlalu!

Surat ini hanya sebatas curhatanku. Aku berharap akhi membalas surat ini. Dan, sebelumnya, aku minta maaf jika aku berkhianat, tidak dipercaya memegang janji, dan menghancurkan cinta kita.

Salam,

Diva  

Semangat yang bergelora seketika hilang begitu saja. Jiwa seakan tercerabut. Fairuz terdiam. Air mata sedih menetes. Sambil diusap, dia membatin: Sabar!

Sudah lama Fairuz menceritakan hubungannya dengan Diva kepada Eppa’ dan Emma’. Mendengar cerita anak satu-satunya, mereka sangat bahagia, apalagi, kata Fairuz, Diva perempuan yang hafal Al-Qur’an. Betapa senangnya punya anak dan menantu yang sama-sama menjaga ayat-ayat Allah.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Harapan demi harapan terus-menerus diceritakan saat Eppa’ dan Emma’ saat berkunjung ke pesantren. Bahkan, saking bahagianya, Emma’ bertanya terlebih dahuli, “Bagaimana kabar si pujaan hatimu?” Fairuz kadang senyum-senyum berselimut rasa malu.

Fairuz duduk lemas dan tak bergairah di depan komputer yang menyala. Cerita-cerita Emma’ masih terbayang jelas. Emma’ pernah bilang, “Emma’ setiap Tahajud selalu mendoakan Na’ Fairuz dengan Diva! Kadang saat Emma’ selesai ngaji selalu memohon kepada Allah agar diberikan cucu yang shaleh, yang membahagiakan orangtua dan keluarga.”

Tidak tahu lagi apa yang Fairuz akan katakan kepada Emma’ dan Eppa’ setelah membaca isi surat Diva. Tentu, mereka juga ikut terpukul. Tapi, Fairuz tidak mau orangtuanya bersedih setelah bertahun-tahun tersenyum penuh kebahagiaan.

Kadang saking bahagianya, Emma’ bicara tidak terkontrol: Emma’ rindu gendong cucu. Fairuz mengerti melihat usia Emma’ dan Eppa’ sudah tua. Kerinduan punya cucu menyusup ke alam bawah sadarnya. Fairuz hanya menjawab: Kan Fairuz masih kuliah, Ma’?! Fairuz tersipu malu.

Eppa’ dan Emma’ hidup penuh kecukupan, apalagi setelah Fairuz punya penghasilan sendiri. Prestasi Fairuz dan undangan seminar di berbagai kota banyak membantu pemasukan Fairuz di pesantren. Saat Eppa’ dan Emma’ berkunjung, Fairuz yang memberikan uang untuk mereka. Bahkan, rumah kayu yang dahulu dibangunnya, sekarang direnovasi dengan rumah sederhana yang bagus dan bergaya modern. Kendatipun begitu, tiada kebahagian bagi Emma’ selain menggendong cucu.

Sudah satu jam duduk di warnet, rencana mengirim tulisan ke media akhirnya diurungkan. Hari itu menjadi cerita yang memilukan. Betapa sakitnya hati yang terhempas di tengah pengharapan panjang!

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru