29.8 C
Jakarta

Era Disrupsi dan Lapak Ustaz Prematur

Artikel Trending

KhazanahOpiniEra Disrupsi dan Lapak Ustaz Prematur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jamak diketahui, Sugi Nur Rahardja atau yang dikenal dengan sebutan Gus Nur memang tidak pernah belajar di dunia lembaga pendidikan alias ia belajar menjadi penceramah secara otodidak. Tetapi, di era disrupsi, ia laku di pasaran.

Tersangka kasus ujaran kebencian terhadap ormas Nahdlatul Ulama (NU) ini mengatakan dirinya memang tidak pernah menimba ilmu di pondok pesantren. Tak hanya itu, bahkan ia berani mengatakan, orang yang mengenyam pendidikan agama di pesantren dan hafal ratusan kitab belum tentu bisa memahami ilmu kehidupan. Sementara dia mengklaim dirinya meski tak pernah menjadi santri namun mampu membangun pesantren, dilansir dari detikNews, Jum’at (30/10).

Jika kita amati, pernyataan Sugi Nur di atas tersirat dua makna, pertama lembaga pendidikan pesantren belum tentu mampu mencetak penceramah, sementara ia bisa menjadi penceramah meski tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Kedua, ada sebagian santri yang tidak bisa mendirikan sebuah pesantren, sementara ia bisa mendirikan pesantren. Ringkasnya, belajar di pesantren bukan tolok ukur seseorang bisa menjadi penceramah dan sekaligus mendirikan sebuah lembaga pesantren.

Jika logika (yang tersirat) ini kita terima, maka akan lahir lebih banyak lagi sosok Sugi Nur lainnya. Padahal, jika ikuti halaqah-halaqahnya tentu ceramahnya sarat dengan ujaran kebencian dan sumpah serapah yang amat menjijikkan.

Kehadiran mereka bisa sebegitu aktif (hampir populer) di kalangan masyarakat karena ia menjadikan media sosial sebagai “lapak dagangannya”. Jika ini menjadi sebuah fenomena kewajaran maka tentu ini merupakan sebuah peringatan bagi dunia keagamaan, terutama di sepanjang era disrupsi.

Era disrupsi itu sendiri secara umum dipahami sebagai fenomena ketika masyarakat mengubah aktifitas-aktifitas yang lazim dilakukan di dunia nyata namun sekarang bisa dilakukan di dunia maya. Pendeknya, dengan meminjam bahasanya Noorhadi Hasan (2020), era ini ditandai oleh kembang-pesatnya teknologi digitalisasi yang pada akhirnya menjungkirbalikkan peran kiai pesantren.

Maka, era disrupsi inilah yang disinyalir turut mempercepat tersebarnya radikalisme dan ekstrimisme di jagat maya. Oleh karena itu, jangan heran apabila radikalisme dan ekstrimisme begitu kuat di sepanjang era disrupsi. Gejala radikalisasi ekstrem ini cepat atau lambannya menyasar (calon) korbannya tergantung seberapa besar filterisasi keagamaan yang dimiliki oleh mereka (calon korban). Apabila pondasi keagamaan yang mereka miliki lemah maka bukan tidak mungkin, mereka akan terpapar paham yang radikal yang pada gilirannya mengubah laku hidup mereka.

BACA JUGA  Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

Tak ayal, jika kekerasan atau konflik berlatar belakang agama kerap kita jumpai. Sebab, menurut Lukman Hakim Hakim Saifuddin selaku mantan Menteri Agama RI (2019), karena agama, apa pun dan di mana pun,  memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi dan subjetivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama dianggap sebagai “benda” suci yang sakral. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tentram dan menentramkan, fanatisme ekstrim terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.

Kaitannya dengan fenomena tersebut dan kemunculan seperti sosok Sugi Nur ini, meminjam bahasanya Prof. Amany Burhanuddin Umar Lubis (2020), maka lebih pantas disebut sebagai “ustad prematur”. Disadari atau tidak, mereka tidak pernah belajar langsung kepada ulama atau kiai di pesantren, jika memang tak mau disebut belajar kepada “ulama google”.

Tentu hal tersebut berbanding terbalik dengan dunia pesantren yang hanya untuk bisa memperoleh ilmu yang memiliki kesanadan yang kuat maka metode belajar yang diterapkan begitu ketat, yakni melalui metode Sorogan dan Bandongan. Sorogan dartikan sebagai sistem pembelajaran yang dilakukan seorang guru dan santri dengan tatap muka langsung, dimana seorang santri membaca kitab kuning dan gurunya menyimak serta memberikan koreksi. Berbeda dengan sistem Sorogan, sistem Bandongan ini seorang santri hanya menyimak penjelasan, biasanya kitab kuning, yang dibacakan gurunya.

Jika metode belajar pesantren ini dikaitkan dengan kemunculan para “ustad prematur” tadi maka mereka tidaklah memiliki kesanadan ilmu karena mereka, sekali lagi, tidak belajar langsung kepada ulama atau kiai yang ada di dalam institusi melainkan mereka belajar (hanya) melalui “ulama google”. Tentu saja, cara belajar mereka tentang ke-Islam-an itu sangat liar dan bisa berakibat fatal. Tak hanya itu, jika dibiarkan, peran “ustad prematur” ini dapat menggeser peran kiai pesantren.

Berangkat dari argumentasi di atas, fenomena ini merupakan tantangan yang nyata bagi dunia keagamaan terutama bagi kiai pesantren. Oleh sebab itu, kiai maupun santrinya sudah seharusnya mereka merasa terpanggil dan segera mungkin mengambil langkah preventif, yakni dengan aktif menyebarluaskan pemahaman keagamaan yang ramah di dunia virtual.

Akhirnya, dengan peran aktifnya kiai pesantren di dunia virtual maka sedikit banyak dapat mencegah tumbuh-suburnya radikalisme dan ekstrimisme di jagat maya.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru