32.7 C
Jakarta

Ekstremisme Telah Memorak-perandakan India

Artikel Trending

Milenial IslamEkstremisme Telah Memorak-perandakan India
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

India bergejolak. Kerusuhan atau ekstremisme antara Islam dan Hindu kembali terjadi. Sekitar tiga puluh orang tewas dan ratusan luka-luka akibat kerusuhan di New Delhi sejak 23 Februari lalu. Dilansir dari Tirto.id, serangkaian bentrokan terjadi sejak Ahad (23/2) di tiga area yang ditempati mayoritas Muslim, sekitar delapan belas kilometer dari New Delhi.

Tragedi nahas bagi umat Islam itu bermula dari Undang-Undang Citizenship Amendement Bill (CAB). Umat Islam di negara itu menolaknya. Penolakan tersebut direspon agresif oleh sekelompok nasionalis Hindu. Mereka yang mendukung UU tersebut, yang notabene kelompok Hindu, tidak hanya membantai Muslim, melainkan membakar masjid, mencabut simbol bulan-bintang (simbol Islam) di menaranya, lalu mengibarkan Bendera Saffron, lambang kelompok sayap kanan Hindu India.

Ekstremisme kelompok Hindu itu adalah peristiwa terburuk selama beberapa dekade di India. Kasusnya semakain runyam. Tidak lagi sekadar menjadi konflik antarwarganegara, melainkan dibumbui sentimen keagamaan. Sangat memprihatinkan.

“Mereka melihatku sendirian. Mereka lihat peciku, janggut, dan shalwar kameez (pakaian tradisional India). Mereka melihatku sebagai seorang Muslim dan kemudian mereka mulai menyerang, meneriakkan slogan-slogan. Padahal aku tidak menyakiti mereka. Tidak mengatakan apapun juga,” ungkap Muhammad Zubair, pria 37 tahun yang hampir mati dikeroyok massa, seperti dilansir Tirto.id.

Kalau kita telisik secara mendalam, kerusuhan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba di ruang yang hampa persoalan. UU kontroversial anti-Muslim itu disahkan oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi, seorang nasionalis Hindu, yang sejak terpilih pada 2014 silam, berusaha mengubah India yang demokrasi sekuler menjadi bangsa Hindu yang mendominasi minoritas. Beberapa surat kabar internasional, sperti CNN dan The New Yorker, mengistilahkan proyek Modi sebagai “India Baru”.

Ironis. Nasib lima belas persen Muslim, atau 200 juta orang Islam di negara itu, berada di ambang batas kekhawatiran. Ekstremisme Hindu telah memorak-perandakan India. Sentimen keagamaan melalui UU yang mendiskreditkan umat Islam adalah biang keladinya. Yang terjadi di India merupakan potret kepada kita, betapa bahayanya ekstremisme dan sentimen keagamaan itu.

Ekstremisme dan Sentimen Keagamaan

Apa yang terjadi di India adalah potret bahwa ekstremisme bukanlah bualan belaka, dan bahwa ia tidak identik dengan agama Islam. Yang namanya sikap ekstrem, umat dari agama pun pasti ada yang mempraktikkannya. Faktornya sangat beragam. Yang terang, karena ekstremisme merupakan akibat cara keberagamaan yang salah, maka sentimen keagamaan adalah pemantik utamanya.

Peristiwa memilukan yang menimpa saudara Muslim kita di India menjadi preseden buruk ekstremisme akibat sentimen keagamaan. Pada sisi yang lain, pembantaian umat dan pembakaran masjid tersebut merupakan bukti bahwa, barangkali, hari ini, India sudah tidak lagi ramah terhadap umat Islam. Padahal tanpa peran peradaban Islam di masa lalu, mungkin Taj Mahal hari ini masih berupa hutan belantara. Lalu, bukankah India dikenal karena Taj Mahal-nya?

Ekstremisme berakar pada pemahaman keagamaan eksklusif, merasa benar sendiri, merasa berkuasa sendiri. Tetapi tiga akar tadi terjadi berkesinambungan dengan persoalan mayoritas-minoritas umat pemeluk agama. Maksudnya, siapapun yang mayoritas, ia memiliki tendensi lebih besar untuk bersikap ekstrem. Sementara yang minoritas selalu ketar-ketir terhadap ancaman.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Agar tidak mengambang, mungkin baik bila saya kemukakan contoh. Di Indonesia, Islam agama mayoritas. Kenapa ekstremisme selalu dikaitkan dengan Islam? Jelas, karena mayoritas tadi. Dominansi jumlah umat Islam akan membuat umat Islam itu sendiri ingin, umpamanya, berada di atas umat-umat agama lainnya. Ini persis dengan yang terjadi di India.

Hindu di India adalah mayoritas, bukan? Itulah faktor pemicunya. Adalah menjadi kebiasaan bahwa siapapun yang berada di tampuk mayoritas, maka ia tidak akan membiarkan kalangan minoritas menjadi ancaman. Kendati hal-ihwal persoalan yang remeh-temeh, mereka akan rentan terusik oleh minoritas. Sebab mereka punya kekuatan, terjadilah ekstremisme yang amoral itu.

Sungguhpun demikian, seberapapun kesalnya umat Islam terhadap pembantaian saudara seagama di India, yang salah bukan India-nya. Bukan ide bagus kemudian, lantaran peristiwa tersebut, mengutuk India secara keseluruhan, bahkan sampai mendoakan India agar, misalnya, terkena virus corona seperti Cina yang telah melakukan pembantaian terhadap Muslim Uighur.

Musuh Bersama

Yang perlu dijadikan musuh bersama ialah ekstremisme itu sendiri. Tidak ada ruang ampun bagi ekstremisme. Ia telah membantai Muslim di Palestina dan memorak-perandakan Suriah. Ekstremisme pula yang membuat Amerika dan Eropa phobia terhadap Islam. Dan yang paling tragis, ekstremisme sudah menggenosida Muslim Uighur dan Muslim di India. Nahas sekali, bukan?

Umat Islam di negara-negara lain memang seringkali menjadi korban ekstremisme. Pada saat yang bersamaan, stigmatisasi berjalan: umat Islam pula yang dianggap identik dengan intoleransi, radikalisme, bahkan terorisme. Apa yang terjadi di India dapat memperjelas perkara, bahwa ekstremisme dengan Islam sama sekali tidak ada kaitannya.

Pembantaian umat Islam di India menjadi bukti, bahwa ekstremisme adalah musuh bersama, musuh semua agama. Sifat ekstrem yang melekat adalah oknum setiap pemeluk agama adalah sesuatu yang eksternal dari agama itu sendiri. Islam tidak mengajarkan ekstremisme, begitupun Hindu. Jika terjadi pembantaian demikian, yang harus dimusuhi adalah sikap bodoh pemeluk agamanya. Ekstremisme itu murni adalah keegoisan individual dalam beragama.

Sebagai provokator, media sosial menduduki peran penting dalam setiap kasus ekstremisme. Ujaran kebencian, juga pelintiran kebencian di media sosial, adalah aktornya. Semua orang sudah tahu, tidak ada agama yang mengajarkan kebencian. Ia menyalahi ajaran agama itu sendiri. Tetapi tidak semua orang menyadari, bahwa setiap hari, melalui media sosial, mindset mereka ditumpuki benih-benih ekstremisme. Melalui hoax, umpamanya.

Apakah keterlibatan pemerintah juga dimungkinkan? Jelas. Tetapi sekali lagi, ini tetaplah oknum. Seperti agama yang mengajarkan kasih-sayang, pemerintah pun akan mengayomi rakyatnya. Tetapi perlu dicatat, pemerintah, dalam konteks individu, juga adalah pemeluk agama. Oleh karena itu mereka juga tidak lepas dari sentimen keagamaan. Ini yang terjadi di India.

Ekstremisme telah memorak-perandakan India, mencontreng integritasnya sebagai negara majemuk yang mengusung intoleransi bahkan, kebarbaran beragama. Muslim menjadi korban sekat mayoritas-minoritas. Sebagai kaum intelektual, tidak selaiknya kita berdoa yang buruk terhadap India. Entaskan saja ekstremisme beragama. Ialah biang keladi dari semuanya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru