25.3 C
Jakarta

Doktrin Wahabisme dan Ancamannya bagi Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanDoktrin Wahabisme dan Ancamannya bagi Perempuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ustaz Adi Hidayat (UAH) dan Wahabi tengah menjadi perbincangan di berbagai platform media sosial setelah terjadi perseteruan mengenai hukum musik. UAH mengatakan tentang kehalalan musik, ada ‘surah musik’ dalam Al-Qur’an. Kemudian Wahabi menyerang, membantah, bahkan memvonis ‘kufur’ kepadanya. Polemik ini sebenarnya bukan hal baru bagi Islam di Indonesia, namun menimbulkan konflik dan perpecahan di kalangan umat Islam. Ada potensi menguatnya kembali gerakan Wahabi dan tentunya ancaman bagi NKRI.

Dalam satu dekade terakhir, wahabisme begitu masif dan populer di Indonesia. Contohnya yang pernah terjadi di Pamekasan, sebuah unjuk rasa serta tuntutan para pendemo kepada pimpinan Masjid Ridwan, yang saat itu mengundang seorang ulama yang menjelekkan tradisi keagamaan mereka.

Wahabisme mensyirikkan perayaan maulid Nabi Saw., ziarah kubur, membid’ahkan tahlilan, terutama tradisi yang selama ini dikerjakan warga NU. Pada intinya, para pengikut Wahabi mengharamkan praktik agama yang bersinggungan dengan sebuah tradisi. Sehingga menimbulkan konflik dan kemelut baik pada umat Islam maupun antarumat beragama.  

Tentu saja, Wahabi tidak hanya pandai mengkafirkan semua orang yang melakukan dosa besar dan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah, tempat-tempat suci, makam-makam kuno yang mereka anggap syirik. Wahabisme juga bercorak Islam ultrakonservatif dan puritan, kaku, dan eksklusif, serta menyebarkan ajaran Islam dengan menanam benih kebencian terhadap corak keberislaman yang berbeda dengan apa yang mereka yakini. Ironisnya, hal itulah yang akan merusak citra Islam.

Selain itu, wahabisme yang mengaku sebagai kelompok yang mendeklarasikan ideologinya sebagai ‘pemurnian’ Islam kepada Al-Qur’an dan hadis justru begitu intoleran dan diskriminatif terhadap corak keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Sehingga menimbulkan pertanyaan dalam benak saya, bagaimana pandangan wahabisme terhadap hak-hak perempuan, jika dalam pemahamannya saja tidak ada kompromi? Tulisan ini akan membahas secara khusus mengenai doktrin Wahabi yang menjadi ancaman bagi perempuan.

Doktrin Wahabisme

Dalam konteks sejarah, Arab Saudi adalah negara kerajaan yang selama ini dikenal sebagai sarang yang menggerakkan penyebaran wahabisme. Paham ini lahir dan tumbuh menjadi sebuah ideologi besar, yang konon menaungi segenap kebijakan di negara kerajaan tersebut. Muhammad bin Abdul al-Wahhab ialah sosok di balik istilah Wahabi, sang pencetus gerakan pemurnian. Ajarannya bisa kita deskripsikan sebagai ‘sayap kanan ortodoksi yang ekstrem’ dan dibayang-bayangi ajaran Ibnu Taimiyah.

Dalam perjalanannya, dia kemudian menjalin hubungan dengan kepala suku setempat, Muhammad Ibn Saud. Kombinasi keduanya melahirkan sebuah gerakan politik keagamaan yang kemudian menjadi basis konstitusi yang berlaku di Arab Saudi. Paham Wahabi dikenal dengan doktrin tauhid, di mana teologi ini menghadirkan sebuah narasi fundamental dan termanifestasi dalam sebuah gerakan yang eksklusif.

Paham Wahabi yang kaku, ketat, dan puritan menjadikan hak-hak perempuan juga dibatasi. Beberapa hal yang terjadi tentang hak-hak perempuan di Arab Saudi di antaranya perempuan wajib mengenakan abaya hitam (jubah longgar) dan niqab (kerudung wajah) di hadapan publik. Kesempatan dalam akses pendidikan dan pekerjaan juga dibatasi. Perempuan harus memenuhi keinginan suaminya dan mengesampingkan apa pun yang diinginkan oleh si perempuan. Dan sedikitnya partisipasi perempuan dalam kegiatan kemasyarakatan.

BACA JUGA  Arab Saudi dan Dinamika Kelas Perempuan: Idealisme atau Ironi?

Paham Wahabi juga mengenal ‘sistem perwalian laki-laki’ yang begitu ketat. Ayah, saudara kandung, dan anak laki-laki, bahkan suami menjadikan kaum perempuan tidak dapat mengambil keputusan penting atas dirinya sendiri. Pernah terjadi sejumlah perempuan Saudi dipenjara karena ayah mereka melaporkan ke aparat bahwa mereka ‘tidak patuh’. Pada intinya wahabisme memosisikan perempuan sebagai “makhluk domestik” yang harus taat penuh terhadap laki-laki.

Human Right Watch melaporkan pada tahun 2016 bahwa Arab Saudi memberlakukan sistem perwalian di semua wilayah. Sejumlah perempuan yang menentang aturan tersebut harus berakhir dengan penahanan atau bahkan tuntutan hukum. Inilah akibat dari adanya narasi agama dalam berbagai kebijakan politik Saudi sehingga memunculkan batasan-batasan yang tidak boleh disentuh oleh rakyat Saudi, termasuk perempuan.

Kasus-kasus pelecehan yang dialami oleh perempuan Arab Saudi juga hanya menjadi boomerang bagi diri seorang perempuan. Mereka bisa saja mendekam di penjara setelah sang ayah menuduh dan melaporkan atas dasar ‘tidak patuh’. Bahkan perempuan yang melarikan diri ke luar negeri sekalipun tidak dapat menghindari penahanan.

Ancamannya bagi Perempuan dan Upaya Preventif

Reformasi yang coba dilakukan Raja Muhammad bin Salman (MBS) dalam pemenuhan hak-hak perempuan Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara elite kerajaan dan tokoh-tokoh Wahabi. MBS seolah telah membuka genderang pembaruan khususnya bagi kaum perempuan, bahkan meluncurkan “jalan moderasi beragama” agar perempuan dapat lebih leluasa berperan di ranah publik.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena MBS melakukan reformasi dalam skala terbatas. Moderasi hanya dijadikan sebagai alat kepentingan karena tidak menyentuh akar. Buktinya, ia melakukan penangkapan besar-besaran terhadap para aktivis perempuan yang dengan berani bersuara dan mengkritik. Itu artinya, wahabisme sudah mengakar dan mendarah daging di Arab Saudi. Lebih berbahaya, jika wahabisme ini terus disebarkan seara global, termasuk di Indonesia.

Wahabisme yang kita kenal saat ini, yang kita pahami melalui teks-teks, yang kemunculannya menggerogoti keutuhan NKRI adalah ancaman dan bahaya yang begitu nyata di depan mata. Saya tidak dapat membayangkan apabila paham tersebut mampu menguasai NKRI. Perempuan-perempuan pada khususnya akankah diperlakukan secara diskriminatif. Hak-haknya tidak akan terpenuhi, secara mereka begitu kaku dan ketat.

Kita tidak mungkin dan berkeinginan menjadikan perempuan di Indonesia mengalami kemunduran, bukan? Maka dari itu, kita semua harus berada di garda terdepan, mengecam dan berupaya keras agar wahabisme bisa enyah dari negeri ini. Lawan wahabisme!

Fatmi Isrotun Nafisah
Fatmi Isrotun Nafisah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru