30.1 C
Jakarta

Diva dan Fairuz (Bagian XIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniDiva dan Fairuz (Bagian XIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Assalamu’alaikum.” Pak pos mengucapkan salam dengan keras dari luar kantor pesantren.

“Iya pak.” Seorang pengurus pesantren keluar tergopoh-gopoh dan baru menjawab, “Wa’alaikum salam.”

“Benar ini Pesantren Annuqayah?” tanya pak pos sembari melihat alamat kiriman.

“Benar, Pak.”

Pak pos menyodorkan sebuah amplop putih bertuliskan kepada Fairuz Zakyal Ibad beralamatkan Pesantren Annuqayah di Jalan Makam Pahlawan.

Baru saja kiriman itu diterima, pak pos seketika meninggalkan lokasi pesantren. Motor kuning yang dikendarahinya semakin jauh melaju dan akhirnya menghilang di pertigaan jalan.

Fairuz dipanggil lewat corong pesantren. Begitu jelas di telinga, Fairuz seketika bergegas menuju kantor pesantren. Baru saja kemarin dipanggil ke pesantren, kali ini dipanggil lagi. Ia berharap tidak ada masalah dengan pesantren, karena sanksinya yang memalukan dan tidak menyenangkan.

Fairuz berdiri di depan pintu dan mengucapkan salam.

Tidak lama, pintu kantor dibuka dan seorang pengurus menyapa, “Fairuz?”

“Benar, Ustadz.”

“Ada kiriman dari Pos Indonesia.” Amplop putih itu disodorkan.

Kelihatannya amplop itu rapi sekali. Hati Fairuz membatin, surat ini pasti bukan dari santri putri.

“Terima kasih, Ustadz.”

Fairuz kembali ke bilik dengan sejuta kebahagian dan dibukalah ampop itu yang isinya surat undangan.

* * *

“Kak Nadiaaa!” Diva memanggil dengan suara keras sambil berlari kegirangan.

“Ada apa, Div?” Nadia penasaran. Aneh. Tidak seperti biasanya Diva sebahagia ini.

“Tulisan Diva terpilih pada lomba Sayembara Menulis.”

“Beneran?” Nadia seakan tidak percaya. “Selamat ya! Presentasinya kapan, Div?”

“Sepekan lagi. Kak Nadia bimbing Diva buat Power Point dan presentasi ya.”

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Nadia guru pertama menulis Diva. Apa pun terkait tulisan, Nadia biasanya yang diberi tahu terlebih dahulu daripada dua temannya, Adel dan Hanum. Apalagi baru pertama ini Diva masuk sepuluh nominasi tulisan terbaik setelah berkali-kali gagal mengikuti sayembara menulis.

Diva pernah mengikuti lomba kepenulisan se-Madura, tapi gagal, malah yang terpilih si Adel. Tapi, Diva ikut bangga teman sendiri terpilih. Pernah Diva mengirimkan tulisan untuk lomba menulis nasional di Malang, dan setelah berbulan-bulan pengiriman tidak ada panggilan ternyata lomba itu selesai sebulan silam dan baru tahu nama Diva Rizka Maulia tidak lolos.

Diva tidak patah semangat. Menulis bukan untuk meraih trofi penghargaan, melainkan lebih daripada itu. Menulis itu menyebarkan ilmu pengetahuan. Bahkan Diva masih ingat pesan Nadia, “Bayangkan setiap ngirim tulisan ke media seperti membuang sampah. Tidak pernah orang mengingat sampah yang telah dibuang. Begitulah tulisan. Tulisan yang sudah dikirim ke media tidak penting diingat kembali, dimuat atau tidak. Biarkan. Dimuat ya syukur. Tidak dimuat tidak usah berkecil hati.”

“Nanti malam kita berkumpul.”

“Di mana? Adel dan Hanum juga ikut?”

“Di kafe pesantren saja. Diva ajak Adel dan Hanum.”

“Baik, Kak.”

“Diva bawa print out tulisannya. Aku mau baca.”

“Baik, Kak.”

Mereka balik ke bilik masing-masing. Adel dan Hanum belum terlihat batang hidungnya. Mungkin lagi di sekolah.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru