31 C
Jakarta

Diskusi Makar Spesial Nuzulul Qur’an

Artikel Trending

Milenial IslamDiskusi Makar Spesial Nuzulul Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah sebelumnya diulas, bagaimana kaum radikal, bagaimana para dedengkot khilafah, memanfaatkan pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) untuk menebarkan propagandanya, kali ini kita dibuat merah telinga lantaran ternyata, setiap pergerakan mereka, menggiring masyarakat ke arah makar — sesuatu yang sangat berbahaya bagi republik tercinta ini.

Pada Ahad (10/5) kemarin, mereka menggelar acara diskusi spesial Ramadhan 1441 Hijriah.  Acara yang berlangsung secara live streaming di kanal YouTubeKhilafah Channel’ itu digelar dalam rangka semarak Nuzulul Qur’an. Diskusi bertajuk “Ayat Suci di Atas Ayat Konstitusi” dimulai pada pukul 09.00 WIB, dan disiarkan juga melalui website, Facebook, Instagram, dan Twitter mereka.

Bicara tentang narasumber, kita mudah sekali menebak. Kaum radikal dedengkot khilafah itu memiliki tokoh-tokoh lokal, yang sama-sama pejuang khilafah. Adalah mustahil mereka mendatangkan Prof Quraish Shihab sebagai pemateri, atau Prof Mahfud MD misalnya sebagai pakar hukum. Bagi mereka, narasumber harus satu haluan, sama-sama ingin negeri ini hancur.

Slamet Ma’arif, Ketua Persaudaraan Alumni 212, adalah salah satu narasumber yang mereka undang. Narasumber lainnya yaitu Rokhmat S. Labib sebagai ulama mereka, dan Prof Suteki sebagai pakar hukumnya. Ketiga narasumber itu yang nantinya akan menguraikan, membandingkan: ayat suci vs ayat konstitusi. Tanpa ikut pun, kita sudah bisa membaca, ke mana arah diskusi mereka.

Hingga tulisan ini dibuat, di kanal YouTube ‘Khilafah Channel’ sudah ada dua konten yang mengulas acara tersebut. Konten pertama berdurasi 1 jam 32 menit, live streaming mereka, yang sudah ditonton lebih 8.500 kali. Satu jam kemudian mereka melayangkan konten kedua dengan judul berbeda, yaitu: “Ayat Konstitusi Lebih Tinggi dari Ayat Suci, Benarkah?”

Kita jelas sudah memahami, ayat suci dan ayat konstitusi NKRI tidak bisa dipisah, juga tidak bisa dipertentangkan. Memisahnya berarti mengabaikan aspek penetrasi keduanya, bahwa konstitusi kita disarikan dari nilai-nilai universal agama-agama—juga kitab sucinya. Ini bukanlah diskursus baru, kecuali karena kaum radikal ingin memprovokasi umat, mendorong mereka makar terhadap negara.

Makar Atau Tidak?

Untuk menjawab pertanyaan itu, di sini akan dikutip salah satu uraian Slamet Ma’arif, dalam live streaming menit 18:50 s/d 21:19. Perhatikan kalimat yang bergaris bawah (underline) berikut:

“Lucu sekali kalo kita membeli produk Jepang kemudian kita menggunakan produk Jepang dengan membuka buku dari China. Ini kan gak nyambung. Kita menggunakan mobil, umpamanya Toyota, tapi kemudian yang kita gunakan klipdek mobil Bemo ya kan lucu sekali. Nah, orang yang meyakini Allah menciptakan alam tapi kemudian ia mengambil hukum-hukum selain Allah, sebetulnya lucu sekali gitu. Oleh karenanya buat orang yang beriman, yakinlah sepenuh hati bahwa hukum Allah itu harus ditempatkan di atas segala-galanya. Tidak ada hukum yang lebih indah, tidak ada hukum yang lebih mulia, kecuali hukum dari Allah swt. Ayat suci itu sebuah ketetapan, sebuah wahyu dari Allah yang wajib kita ikuti, yang tidak boleh dirubah sampai kapan pun. Kalo hukum Allah mengatakan halal, dikerjakan. Kalo hukum Allah mengatakan haram, tinggalkan. Berbeda dengan ayat konstitusi. Kalo ayat konstitusi, itu produk manusia, produk makhluk-Nya, yang bisa dirubah, kapan pun, dengan situasi dan kondisi yang ada. Konstitusi tertinggi di Indonesia, UUD 1945, bisa dirubah, diamandemen. Itu bukti bahwa ayat konstitusi itu tidak tetap, tergantung situasi dan kondisi. Sementara, ayat suci itu ketetapan Allah, yang tetap, yang tidak bisa dirubah.”

Kalimat ‘tiada hukum kecuali hukum Allah’ mirip pernyataan makar pemberontak Islam paling awal, Khawarij, ketika Sayyidina Ali menerima arbitrase (tahkim) dengan Muawiyah. Para dedengkot Khawarij ketika itu mengatakan, la hukma illa lillah, tiada hukum kecuali hukum Allah, dan Ali dianggap kafir karena ber-tahkim dengan Muawiyah.

Pernyataan Slamet Ma’arif mengkontraskan ayat suci dengan ayat konstitusi sangat manipulatif, karena keduanya tidak bisa dipertentangkan. Dari kedua kalimat tersebut, agenda makar mereka sangat kentara—memberontak konsensus konstitusi NKRI. Sementara kalimat ‘ayat suci itu ketetapan Allah’ adalah pernyataan bodoh. Apakah mereka menganggap bahwa keseluruhan Al-Qur’an hanya berisi hukum belaka?

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Propaganda Makar di Dunia Maya

Propaganda dedengkot khilafah di dunia maya menjadi problem serius yang tidak bisa disepelekan. Masifnya dakwah mereka dalam berbagai platform media sosial semakin terasa, ketika COVID-19 memaksa kita beraktivitas secara daring. Mereka menyelinap di antara diskusi-diskusi daring lainnya yang positif, membawa agenda negatif bernama makar—mendelegitimasi pemerintah.

Karenanya, dalam rangka melakukan kontra-narasi, selain dengan diskusi tandingan, yang harus kita lakukan adalah menandai setiap pergerakan mereka. Tidak sulit untuk melakukan ini. Tokoh mereka itu-itu saja. Kalau tidak Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI, maka tokoh lainnya seputar aktivis 212. Tidak akan jauh dari nama-nama itu. Kita juga menginterupsi narasi yang mereka bangun, dengan memboikot jualan mereka di dunia maya, yaitu indoktrinasi khilafah.

Dalam diskusi yang digelar dalam rangka semarak Nuzulul Qur’an kemarin, penting digarisbawahi bahwa mereka berusaha mengecoh masyarakat, melalui upaya mempertentangkan konstitusi dengan Al-Qur’an. Mereka lupa, atau sengaja melupakan fakta bahwa konstitusi kita tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Atau secara implisit, mengandung nilai universalnya.

Keadilan, kesetaraan, pluralitas, dan musyawarah adalah poin-poin esensial dalam konstitusi kita. Dan semua itu sudah juga diajarkan dalam Al-Qur’an. Konstitusi kita mengikuti hukum positif, bukan berarti tidak mengikuti hukum Allah. Tidak ada hukum Allah yang negatif, atau mengajarkan keburukan. Semua yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an bersifat positif dan memiliki juga, sespirit, kebenaran-kebenaran universal.

Bahwa konstitusi itu dinamis, bisa berubah, itu benar. Bahwa Al-Qur’an itu statis, tidak berubah, itu tidak salah. Tetapi dedengkot khilafah tidak mengetahui satu hal: tafsir Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang stagnan. Ia juga dinamis, sehingga Al-Qur’an menjadi shalih li kulli zaman wa makan. Apakah para dedengkot khilafah bermaksud mengamalkan Al-Qur’an dengan mengabaikan tafsirnya?

Konklusi

Membandingkan ayat konstitusi dengan ayat Al-Qur’an adalah kebodohan yang berlipat-lipat. Analogi yang disuguhkan dengan demikian cacat, karena membandingkan sesuatu yang berbeda (al-qiyas ma’a al-fariq). Seharusnya, konstitusi tidak disandingkan dengan Al-Qur’an, melainkan dengan penafsirannya. Tafsir Al-Qur’an bersifat dinamis, begitupun konstitusi.

Dinamika konsitusi tidak merubah nilai-nilai esensial, seperti keadilan dan kesetaraan. Kompleksitas kehidupan memungkinkan amandemen dilakukan, karena memang itu yang dibutuhkan. Sama halnya dengan tafsir Al-Qur’an. Tetapi, sampai di sini kita memahami betul agenda terselubung diskusi itu: makar. Para dedengkot khilafah itu bercita-cita agar masyarakat tidak lagi taat undang-undang.

Mereka juga ahistoris karena mengabaikan sejarah Piagam Madinah, konstitusi kenegaraan yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad ketika membangun negara bernama Madinah—awalnya Yatsrib. Apakah para dedengkot khilafah juga akan bilang, konstitusi yang dibuat berdasarkan kesepakatan, yang ditandatangani Nabi itu tidak berlandaskan Al-Qur’an, karena dibuat oleh manusia biasa?

Apakah para dedengkot juga beranggapan, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani tidak memiliki ayat konstitusi, dan malah menerapkan hukum Allah secara murni? Sungguh, anggapan yang sangat tidak logis dan minim pengetahuan. Tetapi kita maklum, karena diskusi tersebut memang bertujuan makar.

Seberapa pun argumentasi disuguhkan, seberapa pun fakta sejarah diperlihatkan, mereka akan tutup telinga. Mereka tak benar-benar sedang membela Islam, justru mereka sedang berupaya menghancurkannya. Tujuan mereka adalah politik kekuasaan, menerapkan khilafah sehingga mereka menjadi penguasa negeri ini. Lantas mereka akan teriak-teriak: “Islam sudah jaya!”

Makar tetaplah makar. Dan agenda makar mereka mungkin tak kasat mata, karena dibungkus diskusi publik beraroma keagamaan. Adalah menjadi kewajiban setiap kita untuk berhati-hati, agar tidak terjerumus agenda makar mereka. Tidak ada ruang, di negeri ini, untuk para manusia radikal. Mereka yang mengajak makar harus diberangus, baik pergerakan, maupun ideologinya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru