26.5 C
Jakarta

Din Syamsuddin, Radikalisme dan Blunder Kontra-Narasi Buzzer

Artikel Trending

Milenial IslamDin Syamsuddin, Radikalisme dan Blunder Kontra-Narasi Buzzer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dituduh radikal. Ia dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) oleh Gerakan Antiradikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB). Banyak tokoh merespons pelaporan tersebut sebagai perkara yang tidak jelas—memancing kemarahan masyarakat. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta mengatakan, itu absurd. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap, itu kerjaan buzzer.

Situs resmi Muhammadiyah bahkan menanggapi pelaporan tersebut. Artinya, secara keseluruhan, Muhammadiyah tidak terima. Sebagai orang yang pernah menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, yang sering mempresentasikan tentang moderasi Islam (wasathiyah), Din Syamsuddin tidak laik dituduh sehina itu. Menko Polhukam Mahfud MD, melalui Twitter, menegaskan kemoderatan Din. Bahwa ia kritis, iya. Bahwa ia radikal, tidak. Katanya.

Kalua kita flashback, sorotan narasi radikal untuk Din menguat setelah ia menjadi salah satu petinggi KAMI, bersama para oposan pemerintah lainnya. Sejak itu, kiprahnya untuk moderasi beragama seolah dihapus, dan dirinya disetarakan dengan orang-orang HTI, FPI, atau dalam bahasa yang lumrah dituduh ‘kadrun’. Pencetus istilah stigmatis tersebut adalah buzzer. Karenanya, polemik tentang Din justru menjadi blunder untuk mereka sendiri. Mereka meresahkan. Begitu komentar publik.

Din Syamsuddin adalah satu kasus. Buzzer, atau disebut juga relawan rezim, atau sebagian orang lebih sadis lagi menyebutnya anjing rezim, yang notabene influencer, memiliki pengaruh yang cukup besar. Kendati pun niat mereka membela NKRI, kontra-narasi ala mereka telah kotor. GAR ITB itu belum tentu buzzer, dan bukan tidak mungkin niat utama mereka adalah membungkam sikap kritis Din. Namun, langkah represifnya salah sasaran. Dan mereka terpengaruh siapa? Jelas, buzzer.

Din Syamsuddin Radikal?

Tidak. Di negeri ini, menurut satire sementara pengamat, setelah olokan cebong-kampret tidak laku lagi, ada dua olokan lain yang tidak kalah noraknya, yakni kadrun dan radikal. Tetapi pengamatan tersebut tidak terlalu benar, karena mengabaikan fakta, bahwa kelompok radikalis-ekstremis itu memang ada. Memang, sasaran labelisasi radikal kerap kali berlebihan. Selain Din Syamsuddin, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti pernah mendapat tuduhan sebagai kadrun lantaran kritis kepada pemerintah.

Menuduh Susi sebagai kadrun adalah labelisasi absurd. Menuduh Din sebagai radikal juga begitu, berlebihan. Ketika pemerintah, misalnya melalui Menko Polhukam Mahfud MD, menegaskan bahwa Din tidak bisa terproses hukum karena memang dirinya tidak radikal, maka mudah untuk menebak bahwa tindakan buzzer sudah menancap dalam di hati masyarakat, termasuk GAR ITB, melampaui keperluan pemerintah sendiri. Artinya tidak ada instruksi tetapi mereka jalan sendiri.

Dengan kata lain, Din Syamsuddin terkena efek blunder kontra-narasi buzzer yang terlampau jauh menjelma menjadi stigma, menjadi kebencian, yang berjalan otomatis sekalipun tidak ada instruksi dari ‘yang berkepentingan’. Mereka menjadi relawan yang sekali ada narasi yang tak sejalan mereka, langsung mereka serang habis-habisan. Bukti dari tesis tersebut adalah serangan yang menimpa Alissa Wahid, putri Gus Dur, ketika menanggapi Abu Janda beberapa waktu yang lalu.

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Apakah seorang Alissa Wahid kurang cinta NKRI? Apakah ia anti-Pancasila? Atau, apakah seorang Abu Janda lebih nasionalis daripada Alissa? Sama sekali tidak. Ia, seperti Din Syamsuddin, hanya terkena efek blunder kontra-narasi buzzer yang agitatif tadi. Bahwa radikalisme ada, itu fakta. Tetapi kontra-narasi yang mereka lakukan seringkali kadung menjadi stigma personal yang rigid—seolah pisau yang menebas siapa saja. Label radikal pada diri Din bukan tidak adalah blunder tersebut.

Buzzer Harus Ditertibkan!

Ada kecenderungan untuk menggenaralisir narasi, bahwa siapa pun yang berbeda pendapat dengan pemerintah berarti ia radikal dan kadrun. Narasi tersebut, kita akui atau tidak, adalah produk buzzer yang bukan hanya blunder untuk mereka, melainkan juga kepada pemerintah dan program kontra-narasi itu sendiri. Karenanya, satu-satunya cara mengatasi hal itu adalah membersihkan mereka, buzzer, menertibkan mereka, membuang mereka dari muka publik—menutup panggung mereka.

Itu semua bukan tanpa alasan. Bagaimanapun kontra-narasi harus tetap jalan. Kita harus tetap mengonter gerakan radikalis-ekstremis. JAD, JAT, JI, HTI, FPI dkk memang perlu kita tanggapi dengan narasi yang mencerahkan. Meluruskan wawasan kebangsaan dan keberagamaan terhadap masyarakat yang berpotensi terprovokasi mereka merupakan keniscayaan. Masalahnya, program tersebut harus berjalan baik tanpa adanya stigma yang merupakan efek domino kontra-narasi buzzer.

Karenanya, perlu kita bedakan dua hal, dua mata pisau kontra-narasi. Pertama, kontra-narasi ideologi radikal-ekstrem. Ini wajib kita tempuh sebagai ikhtiar menjaga keutuhan bangsa. Jika tidak, terorisme akan terjadi di mana-mana dan perpecahan NKRI menjadi ancaman. Kedua, kontra-narasi buzzer. Jenis ini sebenarnya merupakan pemanfaatan influencer untuk kepentingan politik praktis: ‘membela rezim secara membabi-buta’. Yang terakhir ini butuh diskusi yang lebih rinci. Tetapi, tidak di sini.

Membela NKRI dengan membela penguasa, dalam hal ini pemerintah, itu seirisan, dan sah-sah saja. Ketika kita mengonter radikalisme-terorisme, itu artinya secara implisit kita juga tengah membela rezim, karena mendelegitimasi rezim adalah salah satu pintu masuk para radikalis-ekstremis itu sendiri. Namun perlu penegasan, kontra-narasi itu tidak fanatis sampai pada level menyerang membabi-buta, melebar pada pemberantasan ‘kekritisan’. Yang harus kita serang itu ‘radikal’, bukan ‘kritis’.

Kritis belum tentu radikal. Pemerintah sendiri, rezim Jokowi maksudnya, sudah menegaskan, masyarakat harus aktif mengkritisi pemerintah. Artinya kritis bukan perkara terlarang. Masalahnya, para buzzer bertindak di luar batas kontra-narasi, yang kemudian menjadi blunder pada semuanya. Melihat fakta tersebut, menertibkan buzzer menjadi kewajiban. Di sini tidak akan menyebutkan nama personalnya. Tetapi jika tidak tertib, masalahnya akan runyam.

Alih-alih radikalisme-ekstremisme musnah, justru pemerintah akan kehilangan kepercayaan dan kontra-narasi yang harus menjadi medan perjuangan menjaga keutuhan bangsa justru akan melompong—sama sekali tidak ada hasilnya. Kasus Din Syamsuddin, radikalisme dan blunder kontra-narasi harus menjadi cerminan, bahwa menjaga keutuhan bangsa tidak sesadis yang para buzzer lakukan. Kita tidak bisa membungkam sikap ‘kritis’, kendati radikalisme tetap adalah musuh bersama.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru