31.4 C
Jakarta

Din Syamsuddin, BNPT, dan Tolok Ukur Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamDin Syamsuddin, BNPT, dan Tolok Ukur Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya sering ditanya rekan-rekan. “Apa itu radikal? Apa garis seseorang itu dianggap radikal atau tidak?,” dan pertanyaan-pertanyaan negasi lainnya. Sejauh itu, saya tidak pernah menanggapi, karena sadar bahwa pertanyaan tersebut adalah rupa-rupa kesangsian kepada radikalisme. Maka, jawaban apa pun, tidak akan pernah memuaskan mereka. Mereka akan terus bertanya demikian.

Saya juga tidak jarang dikritik perihal ulasan. Entah mengatakan bahwa radikalisme itu proyek pemerintah, dituduh menjadi corong rezim menjelekkan Islam, dan perundungan verbal lainnya. Betapapun data sudah saya sodorkan, betapapun analisis saya tuangkan, kritik tidak juga reda. Lama-lama saya paham, itu semua, terjadi, karena absennya tolok ukur yang jelas atas radikalisme itu sendiri.

Sampai pada Kamis (2/7) kemarin, topik radikalisme diulas dalam podcast Deddy Corbuzier. Komjen. Pol. Dr. Drs. Boy Rafli Amar, M.H., Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilantik pada 6 Mei lalu mengantikan Suhardi Alius, diundang menjadi narasumber. Boy mengulas lengkap tentang radikalisme-terorisme. Meski, bagi saya, segala penuturan Boy, tentang topik tersebut, sama sekali tidak ada yang baru atau ‘wah’.

Setidaknya, dari Boy, kita menangkap sinyal bahwa radikalisme-terorisme itu benar-benar ada, nyata di tengah kita, bukan rekayasa pemerintah, dan tidak selalu berwajah kedap kritik pemerintah—meski dia mengatakan bahwa sasaran teroris selalu adalah “aparatur negara”. Apakah apatur negara yang dimaksud Boy mengidentikkan radikalisme sebagai kritik atas pemerintah? Menarik diulas.

Sehari sebelum podcast Deddy itu, Refly Harun mengulas ‘radikal’, di kanal YouTube miliknya, dengan perspektif yang lain. Melalui video berjudul “Tiga Peluru Mendongkel Din Syamsuddin,” ia menyoal apakah label radikal diperuntukkan bagi siapapun yang kritis? Bukankah kritik itu penting bagi pemerintah? Apakah Din dianggap radikal karena sering mengkritik pemerintah?

Saya pun menyadari, di situlah muasal kenapa radikalisme itu banyak menuai kritik. Yang disampaikan Refly, dan Boy sehari setelahnya, memberi kita sinyal tentang: tolok ukur radikalisme, dan kapan orang laik dianggap radikal. Tulisan ini, dengan demikian, hendak menghilangkan ketabuan radikalisme.

Din dan Kritik Pemerintah

Dilansir Kompas, Rabu (1/7) kemarin, Din mengkritik Revisi Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pagi harinya, Kamis (2/7), bersama Amien Rais, Din atas nama Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) datang ke Mahkamah Konstitusi (MK) menggugat UU Corona.

Beberapa waktu lalu, Din juga terlibat polemik diskusi daring tentang pemakzulan presiden, yang Refly Harun terlibat di dalamnya. Antara Din dan kritik pemerintah melekat sekali, terutama ketika Din berada di lingkaran MUI. Disebabkan hal itu, Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung yang mendesak Majelis Wali Amanat ITB mencopot Din dari keanggotaan majelis.

Ada tiga poin, kenapa alumni ITB meminta Din dicopot. Pertama, Din dianggap terlalu sering mengkritik pemerintah. Kedua, keterlibatan Din dalam webinar pemakzulan presiden. Ketiga, Din dianggap tak segan menyerang pemerintah. Tiga hal tersebut dinilai melanggar statuta ITB. Tetapi, pikiran yang waras akan menyanggah, kenapa label radikal kepada Din identik dengan kritik penguasa belaka?

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Yang demikian justru akan memunculkan spekulasi di mata masyarakat, bahwa radikalisme tidak lebih dari alat pembungkam dari pemerintah. Iya, dan anggapan tersebut ulah siapa? Pemerintah sendiri yang mengundang masyaraka untuk bersekulasi negatif. Akhirnya, paham radikal yang sebenarnya pun dianggap proyek pemerintah belaka. Kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan?

Di sini harus ditegaskan, tidak semua mengkritik pemerintah itu masuk kategori radikal, dan radikal pun tidak hanya bila mengkritik pemerintah. Kritik konstruktif adalah kunci good government, dan  cara membungkam radikalisme bukanlah dengan melindungi pemerintah dari kritik apa pun. Din, dalam konteks ini, tidaklah radikal, melainkan kritis, kecuali dia punya gagasan ingin menumbangkan pemerintah dan mengganti sistem negara.

Din berbeda pendapat dengan tokoh lainnya perihal sesuatu yang konstitusional, itu lumrah-lumrah saja. Selama ini, anggapan ‘agitasi’ dan ‘konfrontasi’ terhadapnya dirasa berlebihan. Din tidak berniat mendirikan khilafah. Masalahnya, sikap kritis Din khawatir akan dimanfaatkan para kaum radikal.

Radikalisme itu Nyata

Lalu apakah Din masuk kepada yang diuraikan Kepala BNPT, menjadi radikalis hanya lantaran menyerang aparatur negara? Maka itu juga tergantung data. Jika yang dikatakan, disebarkan, oleh Din, adalah sesuatu yang tidak benar, hoax, maka dia termasuk radikal. Jika pemakzulan presiden yang dirinya maksud murni karena kebencian personal, maka tidak ragu dia adalah radikalis.

Tetapi, bila faktanya tidak demikian, maka harus ditegaskan bahwa dia bukan radikalis, dan publik harus disadarkan bahwa tidak semua kritik adalah masuk radikalisme. Harus ada titik terang, pembeda, antara sikap radikal dengan sikap kritis. Ketabuan radikalisme di mata masyarakat disebabkan keduanya tidak memiliki pembatas yang jelas.

Menjadikan radikalisme sebagai pembungkam kritik masyarakat adalah kelakuan tidak terpuji, siapapun pelakunya. Tidak semua kritik menjadikan seseorang dicap radikalis, dan pemerintah seharusnya lebih hati-hati melafalkan ‘radikal’, agar tidak sampai salah sasaran. Paham radikal itu nyata, bukan mengada-ada. Mereka juga sering mengkritik pemerintah. Namun tetap, kritik itu beragam dan tidak bisa digeneralisasi.

Ciri-ciri kritik radikal ialah menuntut sesuatu yang irasional, seperti menegakkan khilafah. Dan sekarang, tidak sulit membaca oknum radikal, karena mereka memiliki afiliasi organisasi tertentu. Disayangkan sekali jika tidak ada tolok ukur yang jelas tentang radikalisme. Yang ada, paham radikal akan semakin subur, dan kepercayaan masyarakat semakin tandus.

Berdasarkan pemaparan tersebut, di sini harus diambil konklusi: klimaks radikalisme adalah mengganti sistem; demokrasi ke khilafah. Selama tujuan akhir itu tidak ada, lebih-lebih datanya jelas, maka itu masuk pada kritik. Itulah titik tolaknya. BNPT bisa menguraikan panjang lebar tentang topik terkait, tetapi penggunaannya harus tepat sasaran dan proporsional.

Yang perlu dikawal adalah agar masyarakat tidak sampai kehilangan kepercayaan tentang adanya paham radikal lantaran terlalu seringnya penggunaan term tersebut terhadap sesuatu yang keliru. Tolok ukur radikalisme adalah mendirikan khilafah. Din dan tokoh lain yang sering mengkritik pemerintah, bila bukan hoax, tidak provokatif, tidak partisan, tidak memelintir kebencian, maka termasuk konsekuensi logis dari sistem demokrasi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru