27.6 C
Jakarta

Dilema Pemulangan Eks ISIS ke Indonesia

Artikel Trending

KhazanahDilema Pemulangan Eks ISIS ke Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wacana pemberitaan tentang pemulangan WNI eks ISIS menuai polemik. Terkait dengan hal itu eks ISIS ke Indonesia, ketua BNPT masih melakukan pengkajian dengan pemerintah tentang dampak positif-negatifnya. Menurut Zaki Mubarak (2015), fenomena ISIS di Indonesia merupakan salah satu faktor menguatnya faktor global dalam memberikan pengaruh kepada gerakan Islam di Indonesia. ISIS didirikan pada tahun 2014 oleh Abu Bakar al-Baghdadi.

Pada bulan Februari 2014, ratusan orang dari kelompok Islam yang menyebut dirinya sebagai Forum Aktivis Syariat Islam (FAKSI) berikrar kepada pemimpin ISIS. Isi bai’at yang dibacakan oleh salah satu ustad yang bernama Abu Sholih at-Tomorowi berbunyi, “Demi Allah sungguh kami dan seluruh kaum muslimin berbahagia dengan Daulah Islam Iran dan Syam (ISIS) yang insya Allah akan menjadi cikal bakal Khilafah Islamiyah ala Minhajin Nubuwwah”.

Setelah ISIS mendeklarasikan wilayah khilafah Islamiyahnya pada 29 Juni 2014, FAKSI kemudian berikrar untuk masuk dalam khilafah ala ISIS. Sejak saat itu, muncul respon dari kelompok lain untuk bergabung bersama ISIS, misalnya kelompok Jamaah Ansharut Dawlah yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir dan kelompok Aman Abdurrahman.

Terorisme ISIS Indonesia

Jauh sebelum munculnya ISIS, Fransisco Galamas (Terorisme in Indonesia: on Overview, 2015), mengatakan bahwa bahwa sejak tahun 1980-1990 an tercatat sekitar 200 orang berlatih bersama kelompok al-Qaeda di Afghanistan. Selesai mereka latihan di sana, dari 200 orang kemudian terlibat dalam aksi bom bunuh diri di Indonesia, seperti Bom Bali I dan II, hotel J.W Marriot.

Sejak adanya ISIS di Indonesia, semakin banyak tragedi-tragedi terorisme di Indonesia. Serangan kepada kepolisian yang terjadi pada 24 Mei 2017; bom Kampung Melayu; Bom Thamrin 2016; Di Surakarta; dan di Surabaya, melibatkan anggota ISIS. Menurut Polri, ada anggota kelompok JAD yang menjadi pelakunya.
Tentunya, rentetan aksi ini menjadi salah memori yang sulit untuk dilupakan oleh masyarakat Indonesia.

Serangkain bom yang terjadi di Indonesia bisa membuat masyarakat ketakutan, karena keamanan yang mulai rentan akibat munculnya aksi dan jaringan ISIS di Indonesia. Bom ISIS sebagai legitimasi jihad agama yang sebenarnya dalam semua agama dilarang. Karena itu, menaku-nakuti masyarakat seolah-olah ini adalah sebuah ancaman serius.

Hak Kewarganegaraan

Oleh karenanya, kemungkinan untuk mereka bisa diterima oleh masyarakat Indonesia akan sulit. Wacana pemulangan sekitar 600 orang eks ISIS akan menuai kesulitan karena tidak hanya menyangkut persoalan ideologi melainkan juga kewarganegaraannya.

Satu persoalan yang muncul adalah tentang hak kewarganegaraan eks ISIS. Seperti yang diketahui bersama bahwa apabila mereka ingin jihad bersama dengan ISIS, maka ia harus berbaiat mengucapkan ikrar janji kepada khilafah Islam-nya ISIS. Dengan kata lain, ketika mereka bertempat tinggal di sana dan menjadi warga negara ISIS, maka hak kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia sudah hilang (UU No. 12, 2005).

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Menurut Mahfud MD (06/01/2020 detik.com) mengatakan bahwa apabila mereka dipulangkan maka butuh waktu panjang untuk memprosesnya. Prof. Mahfud lebin lanjut mengatakan bahwa mereka harus menjalani hukuman yang pernah dia langgar terlebih dahulu sembari dilakukan deradikalisasi dan pembinaan sebelum disrahkan kepada masyarakat.

Eks ISIS Harus Dipesantrenkan

Tentunya tidak mudah untuk mengindoktirnasi ulang ideologi eks ISIS. Upaya pemerintah dalam melakukan deradikalisasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Mengubah ideologi yang semula takfiri dan jihadi ke paham keindonesiaan dan Islam moderat tidak seperti membalikkan tangan. Terkait dengan penanganan eks ISIS, perlu kiranya belajar dari penangkalan radikalisme di UIN Jogja.

Upaya deradikalisasi di UIN Jogja, menurut hemat penulis, cukup dibilang berhasil. Bagi mereka yang sudah terpapar paham radikal, seperti yang ditampilkan dalam simbol cadar, berangsur-angsur berkurang dan memiliki pandangan yang sama dengan mayoritas Islam di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada yang signifikan dalam penanganan orang-orang bercadar. Di kelas mereka hanya sering mendengar perbedaan penafsiran nash al-Qur’an dari beragam sudut pandang. Sesekali dosen menanyakan secara langsung kenapa mereka berpikir demikian, kemudian dijelaskan dengan menggunakan pendekatan yang multidisipliner. Proses ini berjalan secara terus menerus, dan ketika mereka akan lulus, mereka sudah tidak lagi terpapar ideologi radikal, dan pemahaman keislamannya juga semakin beragam.

Proses yang bisa diambil dari upaya deradikalisasi UIN Jogja adalah adanya proses panjang dan secara berkelanjutan dalam menangani mahasiswa yang terpapar ideologi radikal. Upaya ini bisa dilakukan pemerintah dan BNPT dengan membuat sebuah pesantren sendiri bagi eks ISIS. Di dalam pesantren tersebut, mereka akan diajarkan tentang keberagaman pemikiran jihad dan takfiri yang menjadi ideologi eks ISIS.

Orang-orang yang dilibatkan dalam penanganan deradikalisasi ini adalah mereka yang paham tentang segala penafsiran jihad, baik secara tekstual maupun kontekstual atau, dalam istilah Amin Abdullah, secara normativitas dan historisitas. Tujuannya adalah untuk mengajak eks ISIS berfikir tentang dampak buruk-baiknya apabila mengikuti salah satu pemikir jihad. Apabila proses ini dilakukan secara terus-menerus dan dalam waktu yang panjang, maka ideologi dan paham keagamaannya akan berubah.

Maka dari itu, apabila mereka ingin kembali ke Indonesia, mereka harus merelakan dirinya untuk di ‘pesantrenkan’ terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke masyarakat, sembari menjalankan proses hukum yang menjeratnya.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru