28.2 C
Jakarta

Di Sebuah Perpustakaan Pesantren (Bagian XII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniDi Sebuah Perpustakaan Pesantren (Bagian XII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di perpustakaan, Diva membaca beragam literatur, termasuk kitab-kitab tafsir dari zaman klasik hingga zaman modern-kontemporer. Ada Tafsir al-Manar yang ditulis Muhammad Rasyid Ridha dan Fi Zilal al-Qur’an karangan Sayyid Qutub, bahkan buku tafsir yang ditulis mufasir perempuan Aisyah Bintu Syathi berjudul At-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim. Beberapa tafsir ini merupakan kitab tafsir yang ditulis pada zaman modern-kontemporer.

Membaca beberapa literatur kontemporer mengajak Diva membayangkan Al-Qur’an turun di masa kini. Al-Qur’an yang turun berabad-abad silam seolah-olah berbicara langsung dengan pembaca. Tidak salah bila Al-Qur’an kontekstual kapan pun dan di mana pun. Shalih li kulli zaman wal makan. Kajian Al-Qur’an tidak pernah mengenal batas, namun terus mengalir bagai air yang jernih. Semakin digali, semakin memancarkan sumber pengetahuan. Keistimewaan ini digambarkan dalam QS. al-Kahfi [18]: 109, yang berbunyi: Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). Maha luas pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an.

Diva menuangkan gagasan tersebut dalam bentuk tulisan di sebuah kertas yang dibawanya. Diva menulis, Al-Qur’an adalah teks yang tidak bisa berinteraksi langsung. Al-Qur’an itu adalah sesuatu yang tidak bisa berbicara langsung. Al-Qur’an bahkan disebut sebagai sesuatu yang terus berkembang mulai masa diturunkan, ditulis, dibukukan hingga dibaca sekarang. Hanya pembaca yang dapat menyampaikan secara kontektual dan penafsir yang dapat memahami pesan Tuhan secara arif dan benar.

Diva berhenti sejenak. Bolpoin yang digenggamnya dibiarkan tergeletak di atas lantai. Diva mengambil buku yang ditulis M. Quraish Shihab berjudul Membumikan Al-Qur’an. Dikutiplah pernyataan Quraish Shihab terkait penafsiran Al-Qur’an: “Pemeliharaan terhadap Al-Qur’an dan menjadikannya menyentuh realitas kehidupan adalah sudah menjadi suatu keniscayaan. Salah satu bentuknya adalah dengan selalu berusaha untuk memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer saat ini, yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.”

Terkesan lugas gagasan M. Quraish Shihab memandang Al-Qur’an. Tidak heran jika Abah dan Ummi gemar menyaksikan Talk Show Tafsif al-Misbah di Metro TV yang dinarasumberi langsung oleh M. Quraish Shihab. Baru membaca dan menyitir gagasan Quraish Shihab, Diva mencari buku tesis Islah Gusmian yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Khazanah Tafsir Indonesia. Pada rak buku genre tafsir, buku itu tidak kelihatan. Ia mencoba cari di rak yang lain tetap saja tidak ketemu. Padahal, buku itu biasanya berjajar di rak buku tafsir. Buku itu bagus untuk melihat peta tafsir Nusantara di era kontemporer.

BACA JUGA  Film Horor Berlatar Agama, Seberapa Berbahaya?

“Maaf mbak… Bisa search buku Khazanah Tafsir Indonesia?” Diva meminta pustakawan melihat katalog di kamputer.

“Buku itu baru saja dikembalikan.” Seorang pustakawan mengacak-acak tumpukan buku yang tergeletak di samping meja pustakawan dan ditemukan buku yang dicari dari tadi. Rasanya bahagia banget menerima buku itu dari tangan pustakawan. Sambil menuju ke tempat awalnya membaca, buku itu ia baca sambil berjalan.

Untuk menguatkan argumen bahwa penafsiran Al-Qur’an berkembang dari zaman klasik sampai zaman kontemporer, Diva menyajikan hasil penelitian Islah Gusmian, bahwa buku tafsir yang ditulis di Indonesia tidak lepas dari berbagai kepentingan yang diusung oleh penulisnya. Ada yang mengusung hermeneutik feminis, seperti Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan dan Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar. Ada yang menggerakkan tafsir ke arah kritik sosial terhadap rezim Soeharto, seperti Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah Asa. Ada pula yang mendukung rezim Soeharto seperti terlihat dalam Hidangan Ilahi karya M. Quraish Shihab dan Ensiklopedi al-Qur’an karya M. Dawam Rahardjo.

Benar. Penafsiran tidak dapat dilepas dari konteks di mana tafsir itu ditulis. Karena apabila menutup kandungan Al-Qur’an dari konteksnya, akan terhidang tafsir yang berlawanan. Maka, secara tidak langsung tidak dapat tersampaikan pesan-pesan Al-Qur’an dalam menegakkan keadilan dan menebar kasih sayang di jagat semesta.

Diva menutup tulisannya, bahwa perkembangan Al-Qur’an ada di tangan pembacanya. Bila pembacanya bijak, Al-Qur’an itu akan dihantarkan secara bijaksana pula. Akan tetapi, bila pembacanya berpemikiran tertutup, maka pesan Al-Qur’an cenderung tidak berkembang, sehingga dihidangkan pesan-pesan terdahulu yang tidak kontekstual di masa sekarang.

Setelah menghasilkan sebuah opini tentang penafsiran Al-Qur’an, langkah selanjutnya adalah mengetik ulang oretan itu di komputer dan dikirimkan via email.

Memang cenderung lama proses menghasilkan sebuah tulisan. Mulai dari mengumpulkan referensi, membaca, mengolah, merumuskan, dan menulis. Belum cukup sampai di sana. Penulis hendaknya mengedit hasil tulisan, baru mengirimkannya ke media yang dituju.

Bismillah! Diva yakin berhasil.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru