28.4 C
Jakarta

Deteriorasi dan Misoginis: Opresi Hak Pendidikan Perempuan di Bawah Kendali Post-Taliban 2.0

Artikel Trending

KhazanahPerempuanDeteriorasi dan Misoginis: Opresi Hak Pendidikan Perempuan di Bawah Kendali Post-Taliban 2.0
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kejayaan Taliban menguasai Afghanistan kini terulang dalam Post-Taliban 2.0, di mana tahun 1996-2001 sebelum Amerika melakukan invasi, Taliban berkuasa seluruhnya untuk mengatur seluruh perilaku dan kehidupan masyarakat di Afghanistan. Tidak terkecuali dalam proses “mengatur perempuan” di dalam berkehidupan.

Pada 12 September lalu, Taliban mengatakan akan memberlakukan segregasi pendidikan antara perempuan dan laki-laki, serta akan menerapkan kebijakan “new dresscode” untuk para perempuan seperti halnya penggunaan niqab. Sebagai reaksi atas kebijakan ini, para perempuan Afghanistan turun ke jalanan dan melakukan aksi demo. Taliban kemudian melakukan kekerasan kepada para perempuan ini dengan mencambuk menggunakan sabuk berbahan metal.

Para perempuan ini sebetulnya hanya ingin menyuarakan hak mereka. Hak untuk mendapat Pendidikan yang layak setara dengan laki-laki. Hak menolak menggunakan seragam yang Taliban katakan sebagai  “new dresscode” seperti niqab hitam yang sama sekali tidak merepresentasikan budaya asli Afghanistan.

Dilansir dari bbc.com pada 13 September 2021, banyak para perempuan Afghanistan menyuarakan hak berpakaiannya juga melalui media sosial dengan memposting diri mengenakan pakaian tradisional penuh warna milik Afghanistan dengan membubuhi kampanye di dalamnya #DoNotTouchMyClothes dan #AfghanistanCulture.

Nampaknya upaya perempuan Afghanistan turun ke jalanan dan berkampanye di ruang maya, tidak didengar bahkan tidak memberikan dampak signifikan untuk Taliban memperbaiki sistem pengaturannya terhadap perempuan di Afghanistan.

Justu hal ini menguatkan Taliban dalam bertindak semakin agresif menggunakan kekerasan, opresi, dan intimidasi atas perempuan akan keharusan mengenakan new-dresscode jika ingin mendapatkan hak pendidikannya. Aksi draconian yang dilakukan oleh pemerintahan baru Taliban ini, membuat para perempuan merasa menguatnya karakter misoginis di era Post-Taliban guna menghapus eksistensi perempuan di Afghanistan.

Segregasi gender perempuan dan laki-laki pada sektor Pendidikan juga dilakukan Taliban. Taliban hanya mengizinkan siswa laki-laki yang dapat mengikuti pendidikan pada level 7 hingga 12 dan meminta para perempuan tetap tinggal di rumah. Jelas ini adalah upaya deteriorasi peran perempuan dalam memperjuangkan pendidikannya dan eksistensinya di Afghanistan.

Padahal, tahun 2018 silam, berdasar pada UNESCO Report, female literacy rate di Afghanistan mencapai 30% dan perempuan bisa memilih karirnya sendiri di bidang bisnis, pemerintahan, hukum, hingga bidang kesehatan. Namun cita-cita untuk menaikan angka literasi perempuan di Afghanistan harus menjadi hiatus saat Taliban menghapus semuanya dan memimpin Afghanistan menggunakan interpretasi kebijakan hukum syariah Islam versi mereka dari 15 Agustus 2021.

Sepertinya, utopia akan perjuangan mendapatkan educational freedom perempuan Afghanistan yang pernah dirasakan 20 tahun silam, juga tampaknya akan benar-benar terkubur saat Post-Taliban berkuasa.

Kuatnya misoginitas dalam pemerintahan post-Taliban atas perempuan menjadikan opresi ini dipandang sebagai deteriorasi sistem penerapan Islamic-based education sekitar tahun 1996-2001 yang kental akan inferensi dan intimidasi terhadap perempuan. Sistem mixed-educational tidak menjadi idaman untuk Taliban. Mereka tertarik untuk membatasi gerak perempuan hanya pada sektor kesehatan publik. Nyata jelas bahwa hal ini menjadi deteriorasi untuk karir perempuan Afghanistan.

BACA JUGA  Belajar dari Kesetaraan Gender di Mesir: Perempuan sebagai Penguat Sektor Swasta

Kentalnya konservatisme dalam pemerintahan Post-Taliban, tidak adanya komunikasi Taliban kepada perempuan, justru membuat backlash atau deteriorasi di Afghanistan. Padahal, peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari cukup signifikan. Keadaan ini lambat laun dapat memicu dismotivasi perempuan Afghanistan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan berkarir sesuai dengan minatnya. Tidak heran, jika semua lahan pekerjaan di masa depan termasuk dalam menjalankan pemerintahan, seluruhnya akan diambil alih dominasinya oleh para laki-laki.

Realitas baru akan opresi menggunakan “new dresscode” versi Taliban, juga membuat Parisa yang bekerja sebagai tenaga pengajar di Kabul, mulai menggunakan niqab. Parisa khawatir atas konsekuensi Taliban dapat melakukan entire-shutdown paksa sekolahnya. Ia mengatakan kepada jurnalis nytimes.com pada 20 September 2021 sesaat akan memasuki ruang kelas:

“We will wear it, but we don’t want to stop educating,” ini yang dikatakan dunia sebagai opresi, intimidasi, dan aplikasi marginal system atas perempuan di Afghanistan saat ini.

Pandangan Taliban akan “seluruh masyarakat Afghanistan adalah Muslim, mereka akan menerima sharia-law” adalah optimisme mereka yang di kemudian hari akan menjadikan barrier tersendiri untuk negara-negara berdaulat melakukan hubungan diplomatik harmoni dalam bidang pendidikan dan kesetaraan gender.

Bicara soal hak pendidikan perempuan, jika memang benar Taliban berupaya mengembalikan marwah hak pendidikan untuk perempuan seperti pada saat Rasulullah Saw memimpin, mengapa harus ada opresi, intimidasi, segregasi, dan pembatasan-pembatasan lainnya?

Sedangkan Rasulullah Saw tidak membeda-bedakan gender dalam memberikan Pendidikan, memberi ruang untuk perempuan mengkaji ilmu bersama Rasulullah Saw, dan memberikan wewenang partisipasi aktif perempuan dalam berpendapat dan terjun ke medan pertempuran. Pendidikan dari Rasulullah Saw ini adalah wujud implementasi dari ajaran Islam dan ajaran Islam sendiri sangat mengutamakan ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).” Hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Thabrani melalui Ibnu Mas’ud ini menegaskan, bahwa perempuan memiliki hak serta kewajiban sejajar dengan laki-laki dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Ini berarti, Rasulullah memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dalam empower ilmu pengetahuan mereka tanpa membeda-bedakan gender.

Merujuk dari fenomena yang terjadi saat Post-Taliban ini, pertanyaan selanjutnya adalah:

Apakah era Post-Taliban 2.0 akan menjadi kegagalan kepemimpinan mereka yang berulang?

Ataukah kejayaan Taliban dengan implementasi hukum syariat akan berakhir layaknya ISIS yang menjadi cikal bakal hidupnya new-wave of world terrorist and extremist threats?

Dan mungkin saja, ini hanya akan menjadi hiatus bagi para perempuan Afghanistan di bawah kepemimpinan post-Taliban, melahirkan generasi non-cendekia.

Wallahu a’lam.

Siska A., M.Han
Siska A., M.Han
Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru