34 C
Jakarta

Deradikalisasi Paham Radikalisme di Kalangan Guru Agama Islam

Artikel Trending

Milenial IslamDeradikalisasi Paham Radikalisme di Kalangan Guru Agama Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ibnu ‘Abdil Barr (2019), mengatakan pada hari kiamat, tinta orang-orang yng berilmu ditimbang dengan darah para syuhada, sementara dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, golongan yang bakal diberikan syafaat, di samping para nabi dan para syuhada, adalah orang-orang berilmu (nu.or.id). Tentunya, secara spesifik mereka adalah seorang ulama atau pun guru yang tidak terpapar radikalisme.

Semua guru adalah kehidupan, sedangkan kehidupan timbal baliknya adalah kebenaran. Kebenaran itu tersurat dalam tinta sejarah nasional pada hari Senin, 05 Oktober 2020, yaitu Hari Guru Internasional. Dalam momentum ini, semua warga perlu menyebutkan sebagai pesta intelektual, karena guru telah berjuang demi mencerdaskan generasi Indonesia.

Namun kecerdasan generasi Indonesia masih riskan akibat keganjilan yang ditemukan dalam laporan investigasi tentang intoleransi dan radikalisme guru. Tampaknya, data soal guru yang cenderung berprilaku intoleran dan radikal bukan hal yang lumrah terjadi di lingkaran guru hingga di sekolah. Fakta tersebut sangat mungkin berpotensi semakin subur.

Berdasarkan hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM UIN Jakarta) pada tahun 2018, persentase radikalisme guru di Indonesia terdapat 40.14% radikal, sedangkan yang sangat radikal berkisar 5.95%. Di sisi lain, 29% guru sepakat di Filipina Selatan, Suriah dan Irak. Sedangkan 33% guru sepakat menganjurkan orang lain untuk ikut berperang mewujudkan negara Islam, dan 13,30% guru hendak menyerang polisi.

Penelitian ini menunjukkan indikator radikalisme masif di sekolah lewat para gurunya, sebagaimana Azyumardi Azra juga berkata demikian. Dan ia menegaskan, tentang eksistensi sekolah yang terpapar radikalisme. Bahwa hal itu saya alami sendiri, putri saya di sekolah yang bagus, elite, cukup mahal di Jakarta Selatan. Ada satu atau dua gurunya paham-paham yang kelihatan pro-radikalisme untuk mengubah keadaan (bbc.com, 25/05/2020).

Menurut Bambang Pranowo, pada Oktober 2010 sampai dengan Januari 2011, memaparkan hampir 50% pelajar sepakat tindakan radikal. Selain itu, 76,2% guru sepakat menerapkan syariat Islam di Indonesia. Pun Peneliti Maarif Institute, Abdullah Darras, ia mengatakan melemahnya nilai Pancasila dan kebangsaan di sekolah berbanding lurus dengan maraknya radikalisme (bbc.com, 25/05/2020).

Radikalisme dan Guru (Krisis) Wawasan Kebangsaan

Afadlal, dkk dalam buku (Islam dan Radikalisme di Indonesia: 2005), radikalisme sendiri merupakan masalah sejauh ia hanya bersarang dalam pikiran (ideology), ketika radikalisme pikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan radikal, maka ia mulai menimbulkan masalah, terutama ketika harapan mereka untuk merealisir fundamentalisme dihalangi oleh kekuatan politik lain karena dalam situasi itu radikalisme diiringi oleh kekerasan.

Secara mendasar, paham radikalisme yang bersemai di pikiran segelintir guru menjadi jawaban yang terkonotasi negatif, apalagi sampai menebar radikalisme yang mengambil langkah legitimasi kekerasan sebagai justifikator agama. Keyakinan guru inilah yang justru menghadirkan malapetaka dalam keberagaman bangsa dan negara Indonesia.

Barometer radikalisme guru sangat rentan diikuti para pelajar di sekolah-sekolah, sehingga sekolah sebagai tempat belajar ilmu kebenaran tentang ajaran-ajaran yang bersentuhan dengan agama, sosial, hukum dan lain sebagainya. Di satu sisi, guru menjadi panutan baik dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam cara pandang memahami literatur keagamaan.

BACA JUGA  Ustaz Felix: Simbol Murtad Massal Aktivis Khilafah Menjelang Pemilu 2024

Oleh sebab itu, sekolah yang terpapar radikalisme karena faktor pikiran guru yang tekstualis dan terbatas dalam mamahami esensi agama itu sendiri. Akar pertumbuhan bibit radikalisme di sekolah semakin meningkat tajam akibat guru kerap kali menebar propaganda, kebencian dan hasutan. Hal ini merupakan bukti awal indikasi intoleransi dan radikalisme itu nyata.

Selain itu, para guru yang krisis wawasan kebangsaan, juga terkadang sekolah-sekolahnya tak menerapkan kurikulum standar negara. Misalnya, penguatan ideologi Pancasila di sekolah melalui literasi kebangsaan, dan pendidikan deradikalisasi, serta moderasi beragama. Kenapa konsep ini tak kunjung mampu meminimalisir intoleransi dan radikalisme?

Pertanyaan demikian, adalah sebuah catatan konstruktif kepada negara, dalam hal ini Kemenag, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Menkopolhukam, Kemendikbud, Kementeristekdikti, MPR-RI dan BPIP. Peran sinergis semua lembaga ini penting bekerjasama dengan asosiasi guru se Indonesia untuk kembali mendorong deradikalisasi radikalisme guru.

Menurut hemat saya, model penerapan kurikulum pendidikan Pancasila, dan deradikalisasi serta moderasi menjadi senjata efektif dan paling ampuh menangkal radikalisme guru yang kain tumbuh di sekolah-sekolah.

Strategi Efektif

Pada hakikatnya, intoleransi dan radikalisme agama yang sering dikobarkan oleh ISIS, al-Qaeda, JI, JAD, JAT, HTI dan FPI tak dapat dipungkiri. Radikalisme yang tumbuh dari gerakan mereka bisa saja tanpa diduga berujung kepada aksi terorisme, maka siapa pun yang sadar atas tujuan-tujuan agama sebenarnya tak akan menghendaki aksi radikal dan teror terjadi.

Pada hemat saya, ada beberapa strategi untuk menangkal radikalisme guru dan radikalisme di sekolah: Pertama, semua guru di sekolah baik milik swasta maupun negara harus ikut uji kompetensi dasar tentang loyalitas mereka dalam memajukan negara sesuai cita-cita luhur UUD 1945. Kedua, pentingnya guru yang bersertifikasi maupun non-sertifikasi untuk ikut pelatihan tentang penguatan nilai-nilai wawasan kebangsaan.

Ketiga, lembaga kementerian terkait dan DPR sangat penting untuk mengawasi dengan ketat setiap sekolah, khususnya para guru perlu diperketat pengawasannya. Fungsi ini sebagai kontrol pemerintah guna memutus benih-benih radikalisme yang kian berkembang. Keempat, pemerintah melalui institusinya perlu membuat regulasi baru terkait larangan kepada semua guru menebar ucapan baik dalam bentuk propaganda, dll.

Di luar ketentuan ini, pemerintah sangat perlu memberikan literatur-literatur keagamaan yang cukup di setiap perpustakaan di sekolah. Paling tidak, selain memperbanyak koleksi buku-buku soal wawasan kebangsaan, juga menggunakan pendekatan lingkungan ini semaksimal mungkin sebagai praktik guru dalam menjalankan pendidikan profesinya dengan baik.

Meminjam catatan Najwa Shihab, ia mengatakan tugas guru bukan menjejalkan pelajaran, guru harus menghidupkan pengetahuan. Nah soal pengatahuan ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah, yang benar adalah ketika guru mengajak untuk berbuat kepada kedamaian, sedangkan yang salah ketika guru hanya menebar pengetahuan yang sifatnya propaganda dan menuai permusuhan.

والله أعلمُ بالـصـواب

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru