31 C
Jakarta

Deradikalisasi ala Kaum Sarungan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuDeradikalisasi ala Kaum Sarungan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Kritik Ideologi Radikal; Deradikalisasi Doktrin Keagamaan Ekstrem dalam Upaya Meneguhkan Islam Berwawasan Kebangsaan, Penulis: Tim Forum Kajian Ilmiah AFKAR Ma’had Aly Lirboyo, Tahun: 2019, Penerbit: Lirboyo Press, Tebal: XL + 453 halaman.

Komplit. Mungkin kata tersebut belum sepadan, tetapi setidaknya mewakili, untuk menggambarkan buku Kritik Ideologi Radikal, karya Tim Forum Kajian Ilmiah Ma’had Aly Lirboyo. Ditulis oleh delapan wisudawan, buku tersebut menjadi masterpiece pesantren, mengabarkan kepada publik bahwa kaum sarungan tidak hanya mencintai NKRI, melainkan juga punya landasan yang kokoh tentang komitmen mereka perihal deradikalisasi.

Membaca buku setebal hampir lima ratus halaman butuh fokus serius, dan pasti membuat pembaca tercengang: benarkah ini karya santri? Istimewa. Dikatapengantari oleh Kiai Abdulloh Kafabihi Mahrus, Kiai Maimoen Zubair (alm.), dan Profesor Mahfud MD, bertambahlah kompleksitasnya. Buku tersebut tak sekadar bertolak dari diskursus kontemporer tentang patologi agama, melainkan menelisik hingga sangat jauh ke akar historisnya.

Atau dalam kelakar ala kaum sarungan: buku jahitan kang santri tersebut mengulas radikalisme secara radikal, yakni ke akar-akarnya.

Berbicara mengenai radikalisme, sesungguhnya spirit kita adalah dalam rangka melawannya. Membahas paham radikal tidak dimaksudkan sebagai refleksi positif, melainkan sebuah tambal sulam tentang paham keagamaan yang memorak-perandakan Islam itu sendiri. Karenanya, setiap pembicaraan mengenai radikalisme, selalu satu paket, tak terpisahkan, dengan pembicaraan tentang strategi deradikalisasi.

Semakin detail membicarakan radikalisme, semakin mantap landasan deradikalisasi. Artinya, deradikalisasi dapat dikatakan berhasil, jika khalayak disuguhkan data terperinci tentang radikalisme itu sendiri. Demikian karena yang berada di hadapan kita adalah mindset, hasil indoktrinasi. Dedoktrinasi baru bisa sukses bila seseorang berhasil ditarik keluar dari kungkungan mindset kelirunya, menuju pemahaman yang benar.

Buku Kritik Ideologi Radikal mengulas radikalisme keagamaan secara komprehensif. Muaranya jelas: pembaca diajak untuk setia terhadap NKRI. Klasifikasi pun dibuat. Buku ini terbagi menjadi lima bab, mulai dari bagian paling dasar dari radikalisme hingga ideologi politik paham radikal tersebut. Aspek religiusitas tersentuh secara mendalam, dan nasionalisme menjadi akhir yang harus ditempuh. Itulah keistimewaan dari buku ini.

Dalam konteks narasi kebangsaan, jelas sumbangsihnya sangat jelas. Keprihatinan empatik memang penting, melihat bagaimana, di negeri ini, radikalisme dan deradikalisasi saling todong pistol.

Otak Radikalisme

Menarik, buku ini berhasil membuat skema triggering, pemicuan, atau katakanlah rantai ideologis, yang saling kait-mengaitkan antara satu gerakan jihad dengan gerakan jihad lainnya. Geneologi jihadis global pun terpetakan.

Bagaimana Ikhwanul Muslimin merupakan anak kandung ideologi Khawarij dan Wahabi, bagaimana salah satu kadernya, Taqiyyuddin an-Nabhani, memisahkan diri lalu mendirikan Hizbut Tahrir, dan bagaimana guru besar Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb memotori berdirinya Al-Qaeda dan ISIS, semuanya diulas secara berurut. Kesemuanya menemukan satu fakta, yaitu tentang spirit gerakan pembaruan (tajdid), yang dipelopori oleh para cendekia yang berotak radikal.

Otak radikal, setiap kerangkanya dipenuhi doktrin hasil kawin silang antara front kemerdekaan dengan puritanisme. Baik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan ISIS, punya benang merah yang sama, yaitu patologi keberagamaan tadi. Ada delapan doktrin yang menyelimuti otak-otak radikal, yaitu:

Sentralisasi hukum kepada Allah (Al-Hakimiyyah), mengafirkan pemerintah dan aparat negara (takfir al-hukkam wa ajhazat ad-dawlah), menjahiliahkan orang-orang (jahiliyyat al-‘alam), mengasihi dan melepaskan diri (al-wala’ wa al-bara’), teritori perang (dar al-harb wa al-kufr), berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah), amar makruf nahi mungkar (al-amrbi  al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar), dan penegakan khilafah (iqamat al-khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah). [hlm. 18]

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Semua doktrin tersebut tidak hanya memanipulasi makna amar makruf nahi mungkar, melainkan juga menegasikan perbedaan. Tatanan dunia dipandang sebatas sebagai hitam dan putih, dan jihad adalah satu-satunya medan perjuangan. Tidak ada ruang untuk non-Muslim, otak radikal menganggap mereka semua kafir. Islam diproyeksikan harus mendominasi berbagai aspek. Jika tidak, dicap negara kafir yang mesti dimusuhi.

Apa yang ada dalam doktrin, buku ini secara satu per satu mengkonternya. Terkait jihad, umpamanya, pada bab keempat. Ketika ‘Abdussalam Faraj, pendiri gerakan Tandzim al-Jihad, mengorasikan perlawanan terhadap pemerintah dan memurtadkannya, sekalipun salat dan berpuasa, lantaran tidak menerapkan khilafah, buku ini justru menawarkan argumentasi segar, bahwa yang namanya pemerintah, menaatinya adalah keniscayaan.

“Dalam hadis Nabi Saw. banyak dijumpai instruksi menaati pemerintah…” [hlm. 360]

Ikhtiar Deradikalisasi

Jika pemerintah memberantas paham radikal, alias deradikalisasi, melalui kebijakan konkret seperti perombakan kurikulum dan sejenisnya, sejatinya buku Kritik Ideologi Radikal juga punya prospek demikian. Bedanya, apa yang dilakukan pemerintah adalah membungkam radikalisme sebagai produk ideologis, sedangkan buku ini berusaha memberantas sedari awal. Mencoba menjelajah ke hulu, lalu menyumbat alirannya.

Artinya, suguhan buku ini adalah menelanjangi ideologi radikal sebagai bentuk kritik. Kritik dimaksud ialah apa yang kita kenal sebagai pembungkaman. Pembungkaman adalah tujuan utama. Pemerintah lebih mengenalnya sebagai deradikalisasi. Tetapi kata ‘deradikalisasi’ itu sendiri tidak termaktub secara tersurat, melainkan tersirat dari bab per babnya. Tidak salah bila hal itu disebut sebagai ikhtiar deradikalisasi. Secara, memang begitulah muaranya.

Yang perlu dicatat, seberapa pun detailnya buku ini mengulas radikalisme, mencitakan deradikalisasi, radikalisme itu sendiri sendiri bersifat dinamis-subtil. Medianya beragam, aktivisnya tidak sedikit, dan indoktrinasi dilakukan di mana-mana. Beberapa waktu lalu di Yogyakarta digelar pawai khilafah. Peringatan penaklukan Konstantinopel juga pernah digelar serentah di beberapa daerah. Bukankah artinya, militansi mereka masih cukup kuat?

Yang bisa dilakukan buku ini adalah melakukan pemetaan secara komprehensif terkait radikalisme, dan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap bangsa Indonesia. Ideologi radikal sama sekali tidak boleh diberikan ruang nafas, dan delapan doktrin tadi harus diberantas—tidak boleh merasuki mindset masyarakat Indonesia. Tetapi siapa yang akan berperan melakukannya jelas kembali kepada kita sendiri, dan pemerintah tentunya.

Sungguhpun demikian, dalam mengulas dan memberikan argumentasi, buku ini meletakkannya dalam bahasan yang berbeda. Sehingga pembaca diharuskan untuk membaca dalam dua bab secara bersamaan, jika tujuannya adalah menghadap-hadapkan . Perspektif yang dipakai juga adalah perspektif ke-NU-an, misalnya tentang bagaimana NU istiqamah menjaga Indonesia. Mengingatnya lahir dari kaum sarungan, hegemoni tersebut jelas tidak mengherankan.

Jelas bahwa ikhtiar deradikalisasi, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. Santri pun memiliki andil besar. Buku ini adalah buktinya. Pemerintah tidak bisa mengabaikan andil suara pesantren. Tentang deradikalisasi, kaum sarungan memiliki argumentasi sangat komprehensif.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru