32.9 C
Jakarta

Deformasi Radikalisme: Dinamika Perebutan Makna

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDeformasi Radikalisme: Dinamika Perebutan Makna
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Terminologi radikal tak melulu bernilai negatif, justru dalam tradisi filsafat berpikir secara (radix) secara mendalam sangatlah diperlukan. Bermula dari berpikir radikal, Islam di era Abbasiyah mengalami titik klimaks keemasan peradaban (golden age) hingga mencetuskan ilmuwan muslim sekaliber Al Kindi (Filsuf Pertama), Al Farabi (Guru Kedua Setelah Aristoteles), Al Khawarizmi (Penemu Angka Nol), dan sebagainya. Dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia, contoh berpikir radikal yang melahirkan nilai positif adalah konsep tauhid radikal (radical monotheism) yang dicetuskan Nurcholish Madjid. Namun lambat laun, radikalisme sedang mengalami “deformasi” luar biasa sehingga dituding punya relasi adekuat dengan actust terorisme.

Radikal Dalam Filsafat

Radikalisme berasal dari kata radical, berarti “sama sekali” atau sampai ke akar-akarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial dan politik dengan cara anarkis dan ekstrim sebagai batu lompatan untuk mengabsahkan ideologi-teologi mereka yang diklaim benar. Dalam kacamata filsafat, istilah radikal berasal dari kata radic, artinya akar. Pendek kata, orang dapat dikatakan radikal apabila ia mampu berpikir secara mendalam dan mendasar hingga ke akar-akarnya. Akar tentu saja bercabang ke setiap penjuru di dalam tanah dengan tujuan menopang berdirinya batang agar kokoh dan akar—akar bisa menyerap saripati tanah untuk didistribusikan ke seluruh cabang sehingga menghasilkan buah-buahan yang lezat dan menyegarkan. Tanpa radikal, filosof-filosof agung seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Al Kindi, Al Razi, Al Farabi, Ibn Rusyd, Ibn Sina, tak akan lahir. Justru radikal itu diperlukan dalam memahami suatu permasalahan atau mengurai “kebuntuan” berpikir.

Radikal Dalam Agama

Malang benar term “radikal”, ia diseret sana sini demi mengukuhkan keabsahan ideologi oknum tertentu. Syahwat politik kekuasaan hingga menjadikan agama sebagai komoditi empuk melatari gerakan mereka. Tak pelak, beragam elit kelompok bahkan pejabat pemerintahan dari hulu hingga kelas teri/ hilir gegap gempita meyumbangkan definisi yang “pas” untuk istilah radikal. Kata radikal sebenarnya telah jamak dalam khazanah klasik Islam. Semula term “radikal” mengadopsi cara berpikir filsafat yangg mendalam hingga menyentuh akar (radix). Namun, pad konteks beragama, radikalisme menempati sikap ekstrem dalam beragama. Rasanya tidak fair menyematkan “radikal” dalam konotasi negatif. Lambat laun sikap esktrem ini pengejawantahan dari cara berpikir ekslusif yang mengorbitkan truth claim sebagai justifikasi keabsahan ideologi mereka. Implikasinya, lahir sikap intoleran, anarkis, dan hampir dipastikan di semua agama ada kelompok “faksi” bernama radikal.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Deformasi Besar-besaran: Shifting Paradigm

Radikalisme mulai berorkestrasi menjadi fundamentalisme, di mana seseorang rela mengorbankan nyawa demi memperjuangkan ideologinya. Doktrin mati syahid, kenikmatan bidadari surgawi turut melatari aksi mereka. Anehnya kalangan milenial “menyambut” suka cita yang seharusnya dapat menjadi counter discourse gerakan radikalisme. Di ranah internasional, kata “radikal” mengalamatkan pada kalangan tertentu, seperti Al-Qaeda, Osama bin Laden. Di Indonesia, kata stigma “radikal” akan menyeret pada organisasi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang terbentuk sejak tahun 1983.

Sikap radikalisme dalam agama dapat berwujud merasa benar, pendapatnya paling “unggul”, merasa agama dan keyakinannya paling “menyelamatkan”. Sedang yang lain sesat dan merugi. Sikap esktrem dalam beragama tersebut ada di setiap agama, maka tidak fair tatkala disematkan pada satu agama tertentu termasuk agama Islam. Logika radikalisme agama tersebut menjadi rigid dan kering serta “berpenyakit” tatkala merambah ke ruang publik (public sphere) yang heterogen dengan beraneka ragam keyakinan, agama, ras, suku dan sosial-budaya.

Istilah “radikal” tidak semerta-merta berkonotasi negatif, melainkan radikalisme yang berujung pada sikap ekstrem – radikal dalam keyakinan; beda sedikit kafir, radikal dalam tindakan; jihad membunuh orang lain/ bom bunuh diri, radikal dalam politik-ideologi/ mengganti ideologi pancasila menegakkan negara Islam/ khilafah – yang meluluhlantakkan keutuhan bangsa.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru