31.7 C
Jakarta

Deautentikasi Peter Carey dan Kristalisasi Khilafah Nusantara

Artikel Trending

Milenial IslamDeautentikasi Peter Carey dan Kristalisasi Khilafah Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada tulisan yang lalu, saya telah mengulas Penipuan-penipuan HTI dalam Film Jejak Khilafah, merespons talkshow lauching film tersebut di awal Agustus yang, kontroversial, lantaran mencatut nama sejarawan Peter Carey. Pada Kamis (20/8) kemarin, film dokumenter palsu tentang jejak khilafah Nusantara itu sudah tayang. Di kanal asli, Khilafah Channel, filmnya diblokir sebab ditengarai berbahaya terhadap NKRI. Tetapi, aktivis HTI lainnya sudah punya salinan film, dan mengunggahnya di kanal YouTube mereka masing-masing dengan narasi: “Tonton Sebelum Dihapus!

Riwan Al-Makassary, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia, dalam artikelnya mengatakan, film Jejak Khilafah di Nusantara buatan aktivis HTI murni merupakan romantisisme sejarah kejayaan Islam, framing ideologi khilafah, dan glorifikasi pemerintahan Umayyah hingga Utsmaniyah sebagai khilafah islamiyah. Padahal, faktanya, sistem pemerintahan Nabi dan khulafaurrasyidin berbeda dengan sistem pemerintahan Umayyah-Utsmani. Kepalsuan ini lantas menjadi premis awal propaganda khilafah.

Bukan HTI namanya kalau tidak licik. Bukan Felix Siauw, bukan Rokhmat S Labib, bukan Ismail Yusanto, dan bukan aktivis HTI namanya, kalau tidak suka mamanipulasi kebenaran. Yang paling patut untuk dijengkelkan, ialah ketika mereka mencatut nama sejarawan Peter Carey. Melalui asisten risetnya, Prof Carey kemudian menyangkal keterlibatannya dalam film tersebut. Bahkan, pada Selasa (18/8) kemarin, ia kembali membuat siaran pers tentang tidak adanya hubungan antara Utsmaniyah dan Jawa.

Di sini kita mesti memahami duduk persoalan. Satu sisi, aktivis khilafah, melalui film tersebut, berusaha mengkristalisasi khilafah Nusantara, dengan membuat dokumenter palsu tentang raja-raja Islam Jawa. Pada saat yang sama, karena sejarawan Peter Carey sudah menginterupsi produk manipulasi mereka, mereka buru-buru berlindung diri dengan menjelekkan integritas Prof Carey itu sendiri. Para iblis HTI kemudian membenturkan Prof Carey dengan Sultan Yogyakarta dan dosen UIN Sunan Kalijaga, Kasori Mujahid.

Jurusnya ditambah, mereka mencatut nama sejarawan Barat lainnya: Tome Pires, Mendez Pinto, dan H. J. De Graaf, demi mendukung indoktrinasi khilafah Nusantara kepada umat. Artinya, mereka tidak lagi butuh Peter Carey, meski awalnya mereka juga mencatut namanya. Demikianlah, penipuan mereka tidak terhitung, bahkan sudah menipu dari premis paling awal tadi: makna khilafah. Deautentikasi Prof Peter Carey, tujuannya, tidak lain, ialah kristalisasi khilafah Nusantara.

Peter Carey: Dicatut Lalu Dibuang

Mengglorifikasi khilafah Nusantara, titik tolaknya ialah memaksa-kaitkan raja Jawa dengan sultan Turki Utsmani. Sementara Peter Carey membuat siaran pers bahwa, “tidak ada bukti pada dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa negara Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475-1558), utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta: 1475-1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani,” dan kesultanan Jawa bukanlah naungan (vassal) Turki Utsmani.

Prof Carey juga mengatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Turki Utsmani memiliki hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, apalagi menjadi wakil sultan-sultan Utsmani di Jawa. Korespondensi dengan Dr. Ismail Hakki Kadi, peneliti senior dokumen-dokumen Turki Utsmani di Arsip Utsmani di Istanbul bahkan menyimpulkan, kalaupun data-data palsu di film Jejak Khilafah itu ada, misal bahwa panji Tunggul Wulung merupakan bukti bahwa Yogyakarta adalah wakil Utsmani di Jawa, ia pasti sudah memasukkannya ke dalam penelitian terbarunya yang disunting bersama Prof A. C. S. Peacock dari Skotlandia berjudul Ottoman-Southeast Asian Relations (Leiden: Brill, 2019).

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Terakhir Prof Carey menegaskan, upaya memaksa-kaitkan raja Jawa dengan Turki Utsmani merupakan bentuk ketidakpercayadirian (Minderwardigheid) sementara kalangan, yaitu aktivis HTI, bahwa Indonesia tidak bisa merdeka tanpa bantuan asing. Padahal, Indonesia merdeka karena perjuangan rakyat itu sendiri. Tetapi bagaimana aktivis khilafah Nusantara merespons? Mereka justru menyangsikan kredibilitas Prof Carey, dan membandingkannya dengan Sultan Yogyakarta.

Artikel “Doktor UIN Ungkap Bukti Hubungan Ottoman dengan Kesultanan Jawa” dan “Peter Carey vs Sultan Jogja, Soal Khilafah Mana Lebih Kredibel?” merupakan bukti, bahwa setelah dicatut, Prof Carey berusaha dibuang integritasnya oleh para aktivis khilafah. Mencatut lalu membuang ini merupakan bukti konkret kebrutalan mereka. Segala yang mengahalangi penipuan mereka akan dibunuh karakternya. Seharusnya, bagi yang waras, yang bisa bernalar, kekurangajaran para aktivis HTI itu menjadi alasan kuat untuk tidak lagi diikuti. Tetapi kenapa masih banyak yang mau ditipu, utamanya tentang khilafah Nusantara?

Framing Khilafah Nusantara

Semangat khilafahisasi Nusantara, atau Nusantaraisasi khilafah, merupakan fenomena baru, dan mengalami eskalasi yang signifikan selama tiga tahun terakhir. Dakwah-dakwah khilafah di panggung public semakin berani. Term ‘Indonesia’ tidak lebih disukai aktivis khilafah daripada term ‘Nusantara’. Itu karena mereka meyakini, Nusantara adalah momentum di mana pemerintahan Islam Berjaya. Kendati demikian, ini bukanlah kontekstualisasi khifah, melainkan manipulasi-manipulasinya.

Kontekstualisasi khilafah meniscayakan penerimaan atas demokrasi. Sebab, khilafah sendiri berasal dari bahasa Arab ‘Al-khilafah’ yang artinya ‘pemerintahan’. Khilafah secara hakikatnya bukan sistem tertentu, kecuali setelah dimanipulasi sedemikian rupa. Akhirnya, raja-raja Islam di Jawa, yang juga memakai nomenklatur ‘kesultanan’, diangap anak takhta Turki Utsmani. Framing khilafah Nusantara yang ternyata palsu tersebut menjadi personifikasi pembuat filmnya, juga agenda di balik pembuatannya.

Betapa banyak yang sudah jadi korban indoktrinasi mereka, terutama kalangan muda yang baru mengenal Islam. Kerinduan umat akan kejayaan, dimanfaatkan untuk merebut politik kekuasaan. Padahal, selain premis awal khilafah ala HTI itu sudah salah fatal, meyakini kejayaan didapat dengan menjadi penguasa merupakan utopia yang menjijikkan. Lambat tapi pasti, umat dibawa ke ruang romantisme sejarah, dan ramai-ramai dibuat buta akan sejarah itu sendiri.

Kalau bukan untuk mengusik Indonesia, apa tujuan pembuatan film Jejak Khilafah? Nafsu mendirikan khilafah ala HTI, yang dinarasikan Felix Siauw dkk, yang diatasnamakan Islam, yang dianggap syariat Allah dan Rasul, merupakan kebodohan paling terstruktur. Demokrasi sama sekali tidak diberi jalan untuk bersuara, dianggap thaghut, tetapi pada saat yang sama, mereka memanfaatkan kebebasan yang diatur demokrasi untuk mencederai demokrasi itu sendiri dan, yang paling parah, untuk memanipulasi sejarah.

Peter Carey dianggap tidak kredibel. Bukankah merupakan tindakan yang sangat kurang ajar dan tidak tahu malu menjelekkan integritas seseorang yang sebelumnya telah dicatut hanya karena tidak mau berkompromi menipu umat?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru