27.8 C
Jakarta

Dari Ramadhan yang Penuh Hikmah hingga Idul Fitri yang Kaya Berkah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanDari Ramadhan yang Penuh Hikmah hingga Idul Fitri yang Kaya Berkah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Qur’an menyebutkan tujuan berpuasa adalah takwa. Disebutkan dalam Qs. al-Baqarah/2: 183, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Takwa secara literal terambil dari kata waqa yang berarti “menjaga”. Sementara, secara istilah takwa yang dijadikan core of the core puasa dipahami secara beragam oleh pakar tafsir. Al-Mawardi dalam tafsir an-Nukat wa al-Uyun menyebutkan bahwa bertakwa di sana adalah menjaga diri dari segala yang membatalkan puasa semisal makan, minum, dsb. Ibnu al-Jauzi dalam tafsir Zad al-Masir memahami ayat tersebut bahwa puasa dapat menjadi media yang dapat mengantarkan seseorang yang berpuasa (sha’im) meraih ketakwaan dengan cara mencegah nafsu dari segala hal yang dapat membangkitkan nafsu melakukan keburukan.

Pandangan dua mufasir (exegete) tersebut memberikan gambaran bahwa puasa dapat memberikan dampak positif bagi seseorang terhadap dua sisi, yaitu sisi lahir dan sisi batin. Pengaruh secara lahir hanya sebatas mencegah diri dari sesuatu yang membatalkan puasa. Anak kecil pun bisa melakukan tahapan ini. Namun, tahapan kedua yang mana takwa dijadikan tameng untuk mejinakkan nafsu sehingga tidak mendorong melakukan hal-hal yang negatif merupakan tahapan yang tidak semua orang raih, sekalipun mencegah diri dari makan dan minum. Karena, menjinakkan nafsu membutuhkan latihan yang lebih lama dan serius dibandingkan sebatas mencegah makan dan minum. Siapa yang dapat meraih tahapan takwa pada level kedua adalah sosok yang dapat meraih fitrah pada Hari Raya Idul Fitri.

Membahas puasa Ramadhan akan selalu didorong melihat ke depan, menyambut Idul Fitri. Idul fitri secara literal dipahami dengan “kembali suci.” Menurut mahaguru Quraish Shihab, bila fitrah dipahami dengan suci, maka ada tiga makna suci: indah, baik, dan benar. Seseorang yang beridul fitri akan selalu indah, selalu mencari kebenaran, dan selalu menampilkan yang baik. Seorang yang beridul fitri adalah ilmuwan karena ilmuwan mencari yang benar menghasilkan ilmu, adalah seniman karena seniman mengekspresikan keindahan menghasilkan seni, dan adalah budiman karena dengan berbuat baik seseorang menjadi budiman.

Hal yang menarik dari alur (plot) perjalanan puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, lalu pasca Idul Fitri adalah ketika dihubungkan dengan perkembangan manusia, baik dari yang buruk menuju yang baik maupun dari yang baik menuju semakin baik. Alur ini sejatinya adalah alur perjalanan hidup manusia. Ramadhan menjadi bulan training, pelatihan mengolah jiwa kebinatangan menjadi jiwa malaikat, kemudian dilanjutkan dengan perayaan Idul Fitri sebagai simbolisasi dan evaluasi hasil training selama sebulan, apakah ada perkembangan baik yang dicapai, stagnan hidup, atau menjadikan semakin terjerembab dalam kegagalan. Bila keberhasilan mampu digapai, maka kegembiraan patut disandang sembari memekikkan takbir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah yang telah membukakan hatinya meraih kebenaran dan mendidik menjadi pribadi yang mulia. Sebaliknya, sungguh amat sangat menyayangkan bila ada seseorang yang gagal, maka ia merasa bahagia tanpa setitik kesedihan karena ia gagal.

BACA JUGA  Kenapa Kita Harus Pilih Anies Sebagai Presiden di Indonesia?

Dan, yang paling penting dari perjalanan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri adalah pasca Idul Fitri. Tidak ada artinya Ramadhan seseorang bila setelah Idul Fitri ia tidak lagi mencerminkan pribadi yang teladan. Karena, Ramadhan hanya satu bulan, sementara ada sebelas bulan selain Ramadhan yang menemani perjalanan hidup seseorang. Ramadhan yang membekas itu adalah mampu menciptakan pribadi yang makin baik setelah Ramadhan selesai. Sosok manusia semacam ini akan meraih kebahagiaan hidup dan dialah benar-benar manusia. Karena, dia mampu memerangi nafsu kebinatangan yang jauh lebih kejam dari godaan setan di luar dirinya. Karena, nafsu ada di dalam diri manusia sehingga amat sulit terdeteksi seperti musuh dalam selimut. Sungguh amat sangat benar al-Ghazali menyebutkan dalam bukunya Minhaj al-Abidin, bahwa nafsu adalah musuh yang dicinta (aduwwun mahbubun).

Perselisihan yang mengores luka di Indonesia karena pesta politik yang kurang sehat hendaknya tidak lagi terlihat. Kembalilah menjadi sosok politikus dan rakyat yang menanamkan benih-benih takwa, mencegah nafsu yang ambisius meraih kekuasaan. Sehingga, dengannya, tidak lagi terdengar ujaran kebencian yang memecah belah persatuan, aksi ekstrem yang meresahkan psikis masyarakat, dan berita hoax yang mencederai ruh keagamaan. Mari kita rangkul kembali yang telah bercerai, tenun kembali yang telah kusut, dan pertemukan kembali yang telah berselisih. Apa yang dibanggakan dari semua ini? Semuanya hanya sementara, tiada yang abadi. Ingatlah bahwa kita semua manusia yang sama-sama bersaudara. Saudara ibarat bangunan. Bila satu dari sekian bagian bangunan rusak, maka yang lain akan ikut merasakan kerusakan pula. Ingatlah bahwa pesan Ramadhan bukan hanya sebatas dipelajari, melainkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga menjadi sosok yang teladan. Selamat Hari Raya Idul Fitri![] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru