31 C
Jakarta

Dakwah Wasathiyah dan Edukasi Paradigma Kebangsaan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDakwah Wasathiyah dan Edukasi Paradigma Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di tengah menguatnya isu-isu identitas, di tengah keberagaman masyarakat Indonesia, peran tokoh-tokoh agama dengan identitas baju keagamaan memegang peran penting untuk menjaga kondusivitas dan kohesivitas kebangsaan, NKRI. Ini karena merekalah yang menjadi rujukan-rujukan umat dalam mengarungi bahtera kehidupan tidak hanya dalam hal keberagamaan, tetapi juga kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Hanya saja, seringkali pendakwah atau da’i yang viral di media sosial, tempat dimana mayoritas masyarakat mencari rujukan paham keagamaan, justru tidak memberikan paham keagamaan yang sejuk dan menengangkan.

Sehingga, seringkali menempatkan masyarakat pada jurang perpecahan karena ceramah yang anti-kebhinnekaan. Dalam konteks tersebut, da’i-da’i yang dapat berdakwah serta membantu memecahkan masalah umat dengan teduh dan tanpa gaduh sungguh sangat dibutuhkan. Untuk itu, penting bagi da’i agar penting memerhatikan arahan QS an-Nahl (16) ayat 125 bahwa dakwah hendaknya dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik (mau‘izhah hasanah), dan bantahan atau respons (mujâdalah) dengan cara yang terbaik.

Hal tersebut tentu saja mesti diimbangi konten-konten dakwah yang mengedepankan prinsip-prinsip Islam wasathiyah agar kita juga terlepas daripelik sengkarut identitas. Wasathiyah Islam wasathiyah merupakan prinsip keberagamaan umat manusia yang telah diteladankan Nabi Muhammad Saw. Wasathiyah bermakna tawasuth. Bermakna jalan tengah yang lurus. Tidak ekstrem kanan dan kiri. Wasathiyah juga berarti i’tidal, berlaku proporsional, adil, dan tanggung jawab.

Wasathiyah juga mengandung makna tasamuh, toleran, mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Ia juga berarti syura, bersandar pada prinsip musyawarah dalam menyelesaikan masalah untuk mencapai konsensus. Wasathiyah juga membawa arti islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Berikutnya, wasathiyah juga bermakna qudwah, melahirkan inisiatif yang mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia.

Terakhir, wasathiyah juga berarti muwathonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan. Prof. Quraish Shihab menyebut, penerapan konsep Islam wasathiyah berkaitan eratdengan pemahaman keagamaan. Artinya, semakin seseorang memiliki kedalaman ilmu agama, sungguh ia mencerminkan akhlak-akhlak mulia yang meresonansikan Islam wasathiyah. Sebaliknya, seseorang yang dengan mudah menyakiti hati sesama dengan melabeli bid’ah, syirik atau kafir, maka sungguh mereka masih memiliki pemahaman keagamaan yang dangkal. Mereka masih perlu banyak belajar pemahaman keagamaan menyeluruh sebelum mendakwahkan Islam secara benar.

BACA JUGA  Perempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif

Restorasi Paradigma Kebangsaan

Dalam membumikan dakwah kepada umat-umat beragama, baik metode penyampaian maupun konten-konten yang disampaikan harus mencerminkan falsafah kebangsaan yang dianut oleh negaranya. Apabila Pancasila telah ditetapkan sebagai falsafah kebangsaan, maka dakwah yang dilakukan harus mengedukasi masyarakat agar menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena masyarakat Indonesia telah terikat janji dengan Pancasiladan konsep Bhinneka Tunggal Ika sejak semenjak berstatus kewarganegaraan Indonesia.

Dan, Rasulullah SAW bersabda: “Al-muslimuna ‘inda syuruthihim“, Umat Islam terikat dengan janjinya. Oleh karena itu, panggung dakwah jangan dimanfaatkan untuk menebarkan paham-paham keagamaan yang menolak wasathiyah atau toleransi umat beragama. Panggung dakwah juga tidak boleh dimanfaatkan untuk melakukan propaganda khilafah, karena sistem tersebut tidak selaras dengan paradigma kebangsaan yang sungguh binneka dan mengedepankan persatuan. Memaksakan sistem khilafah diIndonesia sebagai ganti Pancasila merupakan bentuk kesesatan secara agama dan pembangkangan secara politik.

Secara agama, jika sistem khilafah yang ijtihadi itu menjadi keharusan dalam bernegara sehingga harus mengganti siatem negara Pancasila yang telah disepakati berarti mereka telah mewajibkan yang mubah dan mengharamkan yang halal dan ini kesesatan beragama (Cholil Nafis, 2017). Sebab itu, dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan ulama bukan hanyamembangun paradigma keagamaan masyarakat, tapi juga mengedukasi mereka agar memiliki nasionalisme dan komitmen kebangsaan yang teguh. Hal ini hanya akan terjadi apabila da’i memahami Islam secara kaffah dan memiliki pemahaman kebangsaan yang paripurna.

Hanya dengan begitulah, identitas dan baju-baju keagamaan dapat ditanggalkan. Semua bersama-sama menerapkan komitmen keagamaan dan kebangsaan yang universal. Agama benar-benar menjelma menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tanpa sekat-sekat perbedaan suku bangsa, agama, bahasa, dan budaya. Mereka bisa membumikan bersama-sama nilai-nilai kegamaan dan Pancasila dalam konteks utuh sebagai umat beragama yang juga cinta kepada negaranya. Wallahu A’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru