28.9 C
Jakarta

Dakwah Deradikalisasi: Kontra-Narasi untuk Para Pembangkang Negeri

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuDakwah Deradikalisasi: Kontra-Narasi untuk Para Pembangkang Negeri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Dakwah Deradikalisasi: Kumpulan Narasi Taktis Bekal Bagi Juru Dakwah, Penulis: Ayik Heriansyah, Penerbit: Pustaka Harakatuna dengan Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Tahun Terbit: Cetakan I 2021, Tebal: xxii+266 hlm 14×21 cm, ISBN: 978-623-93356-6-3.

Radikal lagi, teroris lagi. Mungkin bagi Anda yang suka apatis dengan persoalan keagaman-kenegaraan, deradikalisasi tampak sebagai proyek pemerintah belaka. Padahal, negeri ini memang berada dalam pantauan para pembangkang negeri, yang sesaat saja kita lemah, maka persatuan dan kesatuan menjadi taruhannya. Mereka masuk melalui pelbagai cara, propaganda dan indoktrinasi, bahkan panggung-panggung dakwah. Untuk yang terakhir ini, dakwah deradikalisasi kemudian menjadi niscaya.

Ada buku bagus yang bisa jadikan referensi dalam rangka mendakwahkan deradikalisasi, yaitu Dakwah Deradikalisasi: Kumpulan Narasi Taktis Bekal Bagi Juru Dakwah karya Ayik Heriansyah, eks-Ketua HTI Bangka Belitung yang kini menempuh Magister Kajian Terorisme di SKSG UI. Dakwah deradikalisasi berbeda dengan deradikalisasi dakwah. Jika deradikalisasi dakwah merupakan upaya sterilisasi dakwah, melalui program sertifikasi dai misalnya, dakwah deradikalisasi justru bekal bagi dai itu sendiri.

Buku tanpa subbab—karena sesuai judul, diproyeksikan menjadi narasi taktis—tersebut berisi esai-esai aktual seputar Wahhabi, Ikhwanul Muslimin, HTI dan FPI. Terdapat lima puluh satu judul yang kesemuanya mengarah pada kontra-propaganda, kontra-narasi, rehabilitasi dan reedukasi. Ayik menggabungnya untuk memberantas radikalisme dalam beragama yang, menurutnya, lahir karena faktor internal; eksklusivitas lalu konvergensi, juga faktor eksternal; indoktrinasi, ideologisasi dan politisasi [hlm. xv].

Koalisi Wahhabi-takfiri juga terbahas dalam buku yang dikatapengantari Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid ini. ISIS misalnya, pada judul ke-21 dan ke-22. Atau massa politik FPI seperti pada judul ke-25, ke-26 dan ke-27, di samping juga menelanjangi sepak terjang FPI dan Habib Rizieq secara umum. Menariknya, Ayik tidak hanya melakukan kontra-narasi, melainkan juga optimisme kepada sesuatu yang ia sendiri kritik. Satu sisi ia menyelisik kesalahan, pada sisi lainnya ia menunjukkan harapan kebenaran.

Misalnya pada judul “Mengadili Habib Rizieq, Adilkah?” dikatakan, bahwa selaiknya Habib Rizieq tidak menelan ludahnya sendiri: menuntut keadilan tetapi ia tidak berkenan diadili. Pada judul “Masih Adakah Habib Rizieq yang Dulu?” kembali Ayik tegaskan bahwa semestinya Habib Rizieq belajar dengan keberaniannya yang dulu dalam menghadapi polisi dan proses hukum untuknya. Lalu, harapan dan optimisme untuk Habib Rizieq tertuang dalam judul “Rizieq Shihab Mati Langkah” [hlm. 3].

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Kita flashback saat FPI masih jaya-jayanya menarasikan populisme Islam. Polarisasi kaum radikal itu jelas, nyata dan berbahaya. Para perongrong negeri yang memantau persoalan kebangsaan, sekalipun mereka beda secara akidah dan mazhab fikih, akhirnya bersatu. FPI dan HTI, kata Ayik, mengalami relasi pasang surut. Akidah FPI ikut aliran Asy’ariyah yang notabene HTI kafirkan. FPI bermazhab fikih Syafi’iyah, sedangkan HTI Nabhaniyah tulen. Perbedaanya kontras. “Sangat fundamental,” [hlm. 96]

Polarisasi antarkaum radikal semakin nyata ketika kita lihat HTI memiliki siasat searus ISIS, yang notabene Wahhabi-takfiri. Siasat tersebut Ayik bahas dalam judul “Teror Mati Jahiliyah ala HTI dan ISIS”. Keduanya sama-sama memanfaatkan keawaman umat untuk melegitimasi agendanya: mendirikan khilafah, dengan cara menjahiliahkan penentangnya. Hujah yang mereka pakai adalah hadis Nabi. Dedegkot HTI, kata Ayik, men-syarah hadis secara gegabah dan tak lebih dari ungkapan nafsu [hlm. 99].

Ayik, di samping itu semua, juga menyorot PKS, sebagai aliansi Ikhwanul Muslimin, dan kemudian hubungannya dengan Partai Gelora. Ia menyebut partai yang Anis Matta, Fahri Hamzah, dkk bangun itu merupakan generasi Ikhwanul Muslimin Post-Islamisme. Sekalipun PKS merupakan partai yang menentang hegemoni politik dan budaya Barat, sejumlah pembaharuan kultur dan struktur terniscayakan. PKS mendegradasi figuritas menjadi partai modern, profesional dan egaliter.

“Dua puluh tahun berada di mihwar siyasi (percaturan politik, red.), jemaah mengalami turbulensi.  Mihwar ini yang penuh gejolak, konflik dan kontradiksi. Eksperimen doktrin jama’ah hiya hizb terbukti gagal. Perbedaan pendapat di kalangan elite jemaah berlanjut. Ditambah kekalahan partai di pentas Pemilu dan Pilkada menyisakan perselisihan, pembelahan dan perpecahan. Kisruh internal disikapi dengan operasi intelijen. Amputasi kader bermasalah jadi solusi,” [hlm. 66].

Kita juga, melalui buku Ayik ini, bisa mengetahui persoalan krusial lainnya ihwal kebangsaan dan keislaman. Sebagaimana kita ketahui, Ayik memiliki perspektif yang kompleks: insider sekaligus outsider, yang memungkinkannya mengonter narasi dan propaganda secara holistik. Jelas itu menarik. Bagi juru dakwah, penulis atau siapa pun yang concern di bidang kontra-narasi radikalisme, buku Dakwah Radikalisasi wajib menjadi koleksi. Harus. Karena selain kompleks, ia juga otoritatif.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru