28.9 C
Jakarta

Curhatan Fairuz (Bagian XXIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniCurhatan Fairuz (Bagian XXIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa bilik, termasuk Masjid Akbar pesantren, berselimut petang. Hanya lampu halaman bilik dan masjid yang menerangi sekitar, pun juga sinar lampu menara masjid. Santri sedang tidur kecuali beberapa orang saja yang suka begadang, termasuk Fairuz. Biasanya dia bertengger di beranda masjid dekat menara yang menjulang ke langit.

Begadang Fairuz hanya bertahan sampai jam satu pagi. Satu jam tidur, jam dua bangun sebatas shalat Tahajud. Begadang bukan suatu yang melanggar peraturan pesantren. Hanya saat menjelang waktu tidur jam sebelas malam para pengurus keamanan merayap di sekitar lingkungan pesantren sambil membawa senter sentrong untuk menyemprot santri yang riuh, entah karena ngobrol ataupun diskusi.

Fairuz duduk seorang diri ditemani secangkir kopi dan rokok kretek. Beberapa kata mengalir dari pena yang menari-nari di atas selembar kertas. Pikiran bebas berimajinasi dan merambah ke negeri antah berantah. Begitu pikiran mandek, tak ada kata yang mengalir, secangkir kopi diseruput diikuti kepulan asap rokok yang terbang entah ke mana.

Saat berimajinasi di tengah malam pandangan mata tertuju ke puncak menara. Tidak hanya sekali duduk di dekat menara. Tapi, baru kali ini punya kesan berbeda. Seolah menara ini hidup dan mendengar suara hati.

Pena tetap tergenggam di tangan Fairuz. Pandangan tak terasa menatap menara yang mencakar langit. Agak lama menengadah dengan tatapan mata tajam, tiba-tiba imajinasi bertandang. Fairuz menulis kembali dengan imajinasi baru.

Di bawah menara aku menulis tentangmu, Div. Mengagumimu adalah takdir. Kau datang membawa anugerah. Baru tahu, kalo itu cinta.

Aku termasuk orang yang sulit jatuh cinta. Tapi, entah kenapa saat membaca suratmu, aku dibuat bertanya-tanya, siapakah Diva yang sebenarnya.

Berbulan-bulan tidak ada kabar, karena kita tidak ada komunikasi kembali. Hanya sekali lewat surat itu. Pertanyaan itu akhirnya berlalu. Entah ke mana. Aku tidak mengerti.

Aku dibuat kaget saat kamu berdiri di depan mata dengan presentasi yang memukau. Seakan Tuhan datang mendengar doaku yang sudah-sudah.  

Baru aku tahu, kamu itu…. Ah… Kamu perempuan sederhana yang cerdas dan cerewet. Aku termasuk dari sekian orang yang tidak suka orang yang cerewet. Tapi, kecerewetanmu bikin aku menarik komitmenku.

Div, aku akan menjaga cinta ini, entahlah apa yang terjadi nanti. Ingin rasanya aku naik ke atas puncak menara masjid untuk meneriakkan kebahagian ini. Aku bahagia mencintaimu. Bila cinta membahagiakan, apakah itu pertanda jodoh dari Tuhan? Ah… aku makin tidak mengerti.

Di tengah malam biarlah Tuhan mendengar bisikan hatiku sembari disaksikan menara ini. Ingin rasanya menyampaikan rindu ini tanpa batas apa pun, termasuk batas tembok yang mengelilingi lingkungan pesantren.

Aku menyadari kita saling mencintai, tapi kita masih terikat peraturan yang serba ketat. Ingin rasanya menerobos tembok tebal itu, tapi aku sadar, cinta yang baik hendaknya dikemas dengan sikap yang baik pula. Biarkan hati kita rindu. Titipkan kerinduan itu pada menara cinta ini.

Kalimat demi kalimat yang memenuhi kertas putih mengingatkan momen kemarin saat di Jakarta. Ingin rasanya momen itu terulang kembali. Entahlah kapan itu akan terbingkai kembali.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

“Hah,” Fairuz kaget melihat jarum arloji menunjuk jam dua pagi. Belum tidur. Tak dinyana cinta menenggelamkan dalam kebahagian tak bertepi sampai lupa waktu, seakan satu jam itu satu menit. Secarik kertas dilipat dan bergegas ke dalam masjid. Shalat dua rakaat Tahajud. Berdoa penuh kekhusyukan di sela-sela jidat menempel di tempat sujud. Pesan ulama, berdoalah sebanyak mungkin saat sujud, apalagi saat shalat malam, karena doa pada saat itu mudah terkabul.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru