32.7 C
Jakarta

Covid-19: Apa Maunya ISIS?

Artikel Trending

KhazanahResonansiCovid-19: Apa Maunya ISIS?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menyusul penyebaran pandemi Covid-19 ke hampir seluruh penjuru dunia muncul berbagai narasi pemberitaan terhadap kelompok teroris yang menjadi perhatian nomor wahid dunia, Islamic State. Narasi-narasi awal yang diberitakan oleh media arus utama nasional dan bahkan internasional cukup mengejutkan. Pada mulanya media memberitakan bahwa Islamic State menyerukan pada jaringannya di seluruh dunia untuk menghentikan pergerakannya menyusul ketakutan penyebaran virus Covid-19. Pemberitaan ini merupakan nukilan yang misleading dan serampangan pada sebuah artikel majalah Islamic State al-Naba pada awal Maret 2020 yang mengeluarkan himbauan rajin mencuci tangan, menjauhi wilayah penyebaran wabah, dan anjuran normatif lain menyusul pandemi Covid-19.

Faktanya kelompok Islamic State dan jaringannya di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia sama sekali tidak mengurangi aksinya di dunia nyata maupun dunia maya. Pemberitaan dan anggapan bahwa Islamic State akan menahan diri pada masa pandemi ini jelas keliru dan berpotensi membahayakan dengan mengonstruksi status quo absennya ancaman terorisme yang semu. Keadaan lengah, tersedianya kesempatan, adanya kerentanan sosial, dan niat ideologis untuk setiap saat setiap waktu berusaha menghancurkan tatanan dunia adalah komposisi paling baik dalam melancarkan tujuan-tujuan kelompok teror. Adapun tentu tujuan kelompok ini tidak semata-mata aksi kekerasan, melainkan juga perjalanan hulu ke hilir mulai dari propaganda, perekrutan, penguatan radikalisasi, pencarian pendanaan, pelatihan dan persiapan (i’dad), hingga penyebaran disinformasi atau hoaks.

Islamic State masih melalui kanal majalah yang sama juga sebenarnya menyerukan seruan untuk menjalankan aksi teror pada masa pandemi. IS secara gamblang menyebutkan kerentanan pada masa pandemi seperti perhatian maksimal pada aspek kesehatan dan kesulitan ekonomi hingga potensi krisis mesti dimanfaatkan untuk menjalankan aksi serangan tanpa mengurangi fatalitas serangan dan membebaskan tawanan-tawanan jaringan teror di berbagai penjara dan kamp tahanan. Narasi membebaskan tahanan oleh banyak lembaga riset diklaim merujuk pada pembebasan kamp-kamp Uyghur di Tiongkok, namun dalam analisis penulis narasi pembebasan ini justru ditujukan khususnya pada kelompok di kawasan Suriah dan Irak. Secara historis jurnalis Benjamin Hall mencatat perjalanan IS pada awal kebangkitannya tahun 2012 ketika al-Baghdadi menyerukan kampanye pembebasan tahanan dalam penjara-penjara di Suriah dan Irak. Langkah ini merupakan sebuah strategi sentral dalam membangkitkan kekuatan IS pada masanya.

Dari kedua narasi tersebut tersirat paling tidak semangat untuk membangkitkan kembali kekuatan Islamic State di kawasan sembari menimbulkan kekacauan di berbagai penjuru dunia. Dua narasi utama inilah yang dikirimkan oleh IS melalui majalahnya yang kemudian diterjemahkan dari bahasa Arab dan disebarkan dalam bentuk narasi-narasi turunannya termasuk di Indonesia. Lantas mulai dari narasi menghindari Covid-19, seruan serangan, dan pembebasan para tahanan sebenarnya apa mau ISIS? Analisisnya dapat kita mulai dari reaksi jaringan afiliasinya di Indonesia.

Indikasi Reaksi Jaringan Indonesia

Sejak awal Maret hingga April 2020 tampak terjadi eskalasi aktivitas jaringan teror dengan afiliasi ideologis ISIS di berbagai wilayah Indonesia. Misalnya tidak kurang dari tujuh penangkapan terduga teroris afiliasi IS Jama’ah Ansarut Daulah di berbagai kota seperti Kendari, Pandeglang, Surabaya, Batang, dan Sidoarjo. Demikian pula dengan kemunculan beberapa serangan teror yang ditujukan pada aparat keamanan maupun warga sipil di kawasan Poso. Seakan-akan fenomena peningkatan penangkapan terduga teroris dan serangan teroris di kawasan Poso menjadi indikasi reaksi jaringan afiliasi IS di Indonesia terhadap seruan aksi pada masa pandemi yang disebarkan oleh IS melalui majalahnya dan kemudian dilanjutkan melalui kanal-kanal media sosial.

Tidak hanya di dunia nyata, afiliasi ISIS di Indonesia juga bereaksi pada seruan ISIS dengan berbagai seruan dan konstruksi narasi di dunia maya. Dalam beberapa kanal jaringan ISIS di Telegram dengan jelas terbaca dua arah narasi kampanye, yang pertama ialah narasi untuk melakukan serangan dan narasi penyebaran kebencian serta permusuhan. Narasi kebencian dan delegitimasi yang dibangun misalnya ialah disinformasi bahwa pemerintah terbukti menutup tempat ibadah, isu konser pemerintah di tengah pandemi dengan foto palsu presiden menghadiri konser berdesakan, sampai dengan narasi tenaga kerja asing asal Tiongkok beredar di kanal-kanal Telegram simpatisan ISIS. Yang membahayakan dari narasi tersebut ialah pengemasannya menggunakan lagu/nasyid, foto, dan info grafis menarik dan tidak mencurigakan sehingga dapat diterima oleh kalangan yang lebih luas.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Mengulik Tujuan Narasi ISIS

Menengok kembali fakta dan indikasi peningkatan aksi teror di dalam dan luar negeri, maka bagaimana merasionalisasikan apa tujuan ISIS di balik pesan-pesannya? Yang utama sebelum sampai pada jawaban pertanyaan tersebut penting untuk mengingat bahwa ISIS mendisrupsi tatanan internasional hingga mendapat predikat new emerging state actor yang disematkan oleh Timothy Clancy (2018), sekalipun kini diklaim hancur namun jelas tidak kehilangan bentuk, ideologinya tetap hidup dan menjadi ancaman yang nyata, jaringannya tetap ada dan justru tersebar kembali ke negeri asal masing-masing sebagai medan pertempuran baru. Oleh sebab itu memahami maksud dan tujuan narasinya adalah memahami adanya aspek semangat dan preseden membangun sebuah konsep negara di kepala manusia yang berbai’at pada ISIS. Sebuah ideologi dan narasi itu tidak serta merta musnah menyusul kehancuran fisik ataupun tercapainya tujuan kelompok teror sekalipun.

Paling tidak terdapat empat sasaran narasi ISIS di dunia maya yang saling bertautan. Pertama ialah narasi dengan sasaran jaringan afiliasinya dalam bentuk seruan aksi teror dan eksploitasi kesempatan di tengah pandemi. Kedua ialah narasi yang ditujukan pada media internasional yang kemudian menyebar dengan sendirinya untuk mengelabuhi konstruksi informasi ketiadaan ancaman dengan seruan awal untuk menghindari Covid-19 sebagai pengecoh. Ketiga ialah kepada para simpatisan di luar jaringannya sebagai penguat radikalisasi dan membuka kanal rekrutmen baru demi regenerasi jaringan dalam bentuk propaganda kebencian. Keempat ialah kepada pemerintah dan masyarakat luas dalam bentuk mendelegitimasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 dan memancing konflik horizontal di tengah masyarakat. Keempat narasi tersebut jelas memanfaatkan kerentanan masyarakat kita di tengah pandemi.

Memahami empat narasi di atas mestilah berangkat dari perspektif rasional. Sebagaimana disampaikan oleh Crenshaw (2000) bahwa kelompok teror beraksi berdasar hitungan untung rugi yang rasional berdasarkan tujuan kelompoknya. Tujuan kelompok teror menurut Baudillard (2002) dalam Spirit of Terrorism ialah sepenuhnya menghancurkan tatanan dunia, senafas dengan tujuan ISIS untuk mendirikan kekhalifahan sedunia. Memaksimalkan eksploitasi situasi untuk mencapai tujuan ialah jawaban kunci. Namun selain itu untuk mendorong keaktifan jaringannya di wilayah jauh dari episentrum ISIS untuk mengalihkan perhatian internasional juga merupakan langkah yang rasional. Strategi ini akan berdampak pada tersedianya waktu untuk konsolidasi jaringan di episentrum ISIS di kawasan Timur Tengah yang memainkan peran ideologis penting sebagai pusat kekuasaan yang diklaim sebagai Daulah Islamiyah di Irak dan Suriah. Bagi ISIS di episentrum awal narasi disebarkan segala bentuk pengalihan perhatian adalah keuntungan strategis. Klaim sebagai kelompok satu-satunya yang berhasil mendirikan Daulah Islamiyah merupakan dagangan utama IS dan yang menjadi pembeda dengan kelompok lainnya.

Lantas langkah apa yang mesti menjadi pelajaran bagi kita setelah mendalami maksud dan tujuan ISIS di balik narasi-narasinya? Tentu segera bereaksi adalah jawaban yang paling tepat baik bagi negara maupun komponen masyarakat. Persoalan narasi dapat dilawan dengan kemampuan berpikir kritis yang bertumpu pada pemerataan akses serta kualitas pendidikan dan literasi sebagai tanggungan negara , serta kemampuan natural komponen masyarakat untuk menolak segala sesuatu narasi yang mengandung unsur perpecahan termasuk juga media massa. Yang jelas dan pasti ialah bahwa baik negara maupun komponen masyarakat yang waras tidak akan membiarkan empat intensi ISIS dan jaringannya tercapai.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Sarjana Hubungan Internasional dan Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru