26.1 C
Jakarta

Corona dan Tantangan bagi Fundamentalisme

Artikel Trending

KhazanahCorona dan Tantangan bagi Fundamentalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Fundamentalisme dan virus corona tak hanya menjadi ancaman bagi kesehatan publik, tetapi juga telah menggertak berbagai sektor lainnya seperti ekonomi, sosial, politik, dan agama. Berbagai kemewahan yang kita miliki sebelum ekspansi corona secara tiba-tiba dan mendadak dilenyapkan begitu saja. Sebagian yang aktif di Pilkada, kini tak lagi dapat melakukan pertemuan politik menyusun kekuatan untuk pertarungan di Pilkada. Mahasiswa yang biasanya berhadapan langsung dengan dosen ruangan kuliah kini harus menyiapkan kuota.

Warga negara yang biasanya mencari penghidupan di jalanan kini harus bersabar sementara, begitu pula dengan jamaah pengajian yang tak lagi di temukan di masjid-masjid, dan sebagainya. Corona memaksa perubahan. Ia kecil namun memberi dampak yang besar, tidak hanya bagi satu negara melainkan bagi umat manusia.

Begitu cepat dengan skala besar-besaran, corona berubah menjadi musuh utama umat manusia. Perhatian umat manusia pada akhirnya terpaksa mengarah pada apa yang sudah terkenal ini: covid-19. Berbagai repon lahir untuk menanggapi virus corona. Di sinilah titik awal bagaimana corona mempreteli paradigma umat Islam mengenai ajaran agamanya.

Islam dalam Menghadapi Corona

Umat Islam, pada umumnya mengakui bahwa ajaran Islam mencakup segala hal. Akan tetapi, yang membedakan mereka adalah takaran penggunaan istilah akan dan Syariah dalam kehidupan kemasyarakatan hingga kenegaraan. Dalam perkembangan di era modern dan kontemporer, lahir tiga paradigma besar yakni sekular, moderat/reformis, dan tradisional/fundamentalis. Ciri khas pembeda antara ketiganya ditandai dengan porsi akal.

Paradigma yang disebutkan: Pertama, menempatkan akal pada posisi yang utama. Di sini, pengagungan terhadap akal menandakan bahwa akal mendominasi paradigma pemikiran mereka. Konsekwensinya, dalam merespon berbagai permasalahan, mereka cenderung akan lari pada akal sebagai jawaban atas permasalahan. Maka, paradigma ini akan berpikir rasional dalam menghadapi berbagai persoalan.

Kedua, menempatkan secara seimbang antara tradisi berpikir dan kewahyuan, di mana tidak ada yang menggungguli satu sama lain. Anggapan ini didasarkan pada wahyu sebagai tuntunan yang diberikan Allah memerlukan perlengkapan lainnya berupa akal untuk memikirkan dan mencocokkan realitas masalah yang dihadapi. Dalam menghadapi berbagai persoalan, paradigma ini akan mencari inspirasi solutif dalam ajaran agama dan dilengkapi dengan rasionalitas dalam menjawab permasalah.

Ketiga meyakini kehidupan umat manusia telah mantap dengan menyandarkan setiap masalah pada tradisi kewahyuan. Kelompok ini menganggap bahwa Syariah telah merinci segala hal terkait dengan kehidupan manusia, sehingga akal harus tunduk pada Syariat Islam. Kelompok ini beranggapan bahwa segala persoalan pasti akan muncul, dan suatu negara akan mendapat guncangan tak berujung akibat tidak memberlakukan Syariat Islam. (Ba’asyir, 2003)

Singkatnya, dalam merespon persoalan, kelompok ini dengan tegas akan menyalahkan suatu negara karena tidak kaffah menjalankan Syariat Islam. Berbagai perangkat negara modern seperti demokrasi pun akan diangkat menjadi penyebab mengapa ada permasalahan muncul. Tentu saja, bagi kelompok ini negara modern sudah pasti tidak sanggup menyelesaikan persoalan, karena jawaban dari setiap masalah ada pada Syariat Islam.

Sekilas, hal demikian sudah menjadi pemahaman dan dibenarkan secara umum oleh umat Islam. Sebab, legitimasi umat Islam terhadap Syariat Islam mencakup segala hal baik terkait kehidupan duniawi dan ukhrawi. Namun, di sisi lain, bagaimana mereka menempatkan akal pada pembacaan terhadap teks menjadi pembeda yang signifikan, termasuk bagaimana mereka akan memberikan responnya.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Tuntutan Akal

Tulisan ini, pertama, akan menunjukkan bagaimana pengandaian yang semata-mata pada Syariat Islam sebagaimana paradigma pemikiran ketiga ternyata tak cukup untuk memahami realitas masalah yang dihadapi oleh umat manusia ketika berhadapan dengan virus corona. Kedua, akan dilihat bahwa instrumen demokrasi justru membantu peranan pemerintah untuk menyelamatkan warga negara.

Pertama, tak ada umat Islam yang tak percaya bahwa segala yang ada dalam kehidupan manusia datangnya dari Sang Pencipta, maka diharapkan akan kembali kepada-Nya. Namun, sebagai tameng untuk melindungi umat manusia dari ekspansi virus corona, do’a ternyata tidak cukup mempan untuk melawan corona. Begitu pula dengan mekanisme perlindungan diri yang diajarkan oleh Nabi saw dengan cara lockdown wilayah agar menutup akses perpindahan virus tersebut dari satu tubuh ke tubuh lainnya masih akan menyisahkan persoalan.

Hal demikian menandakan bahwa dalam Islam, memang terdapat tuntunan ketika masyarakat menghadapi wabah penyakit. Namun, pertanyaannya ialah, bagaimana dengan nasib orang-orang yang telah terinfeksi virus corona? Bagaimana cara untuk menyembuhkannya bila lockdown dilakukan di wilayah yang memiliki kasus terjangkit?

Hal demikianlah yang mengharuskan perintah penggunaan akal (ilmu pengetahuan) dalam al-Qur’an tak bisa diabaikan begitu saja. Untuk mengobati virus corona, manusia membutuhkan sains, manusia perlu menemukan obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari infeksi virus tersebut. Artinya, kerja-kerja kemanusiaan juga membutuhkan pengandaian akan hadirnya akal manusia dalam menghadapi berbagai persoalan duniawi. Di sinilah tradisi berpikir dituntut secara tidak langsung lewat hadirnya corona untuk menyelamatkan apa yang menjadi tujuan Syariat berupa hifdz nafs.

Kedua, persoalan corona tidak hanya menjadi persoala kesehatan, tapi juga menyangkut persoalan lainnya sebagaimana dituliskan di awal. Untuk menunjukkan bahwa demokrasi ternyata berguna dalam menghadapi dampak corona, akan digunakan contoh berupa ekonomi.

Hikmah Corona

Pada dasarnya, corona telah mengakibatkan pekerja lepas, khususnya kelompok ekonomi kelas bawah terancam dari sisi pendapatan. Artinya, ancaman bagi kelompok kelas yang merupakan mayoritas di Indonesia ini perlu di sampaikan informasinya hingga ke istana negara agar mereka mendapatkan perlindungan dari sisi ekonomi yang terancam runtuh. Sisi lain, corona telah membuat kita sadar dalam beragama agar kita berdoa dan berpikir demi menjaga kesehatan.

Realitas yang dihadapi oleh masyarakat, ternyata tersampaikan lewat kebijakan pemerintah yang menggratiskan biaya listrik, hadirnya bantuan sosial, dan sebagainya. Alat yang digunakan baik oleh pakar, tokoh, aktivis, maupun warga negara dalam menyampaikan realitas permasalah yang kompleks (salah satunya ekonomi) tiada lain adalah instrument demokrasi itu sendiri. Lalu, apa jadinya bila negara ini menutup akses demokrasi? Bagaimana realitas masalah yang kompleks dapat dikemukakan? Hal demikian menandakan bahwa demokrasi telah bekerja pada tataran hifdz mal.

Demikianlah ketika corona mempreteli paradigma pemikiran yang menindas tradisi berpikir dan hanya memperjuangkan pemberlakuan simbolis terhadap keyakinan agama dan secara bersamaan mengabaikan realitas permasalahan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru