26.2 C
Jakarta

Cinta yang Merekah (Bagian II)

Artikel Trending

KhazanahOpiniCinta yang Merekah (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – Pekan demi pekan serasa setahun, bahkan lebih. Nelangsa nan rasa pilu datang silih berganti. Tiada secercah rasa cinta dan memiliki. Bilik-bilik pesantren menjelma sebuah penjara yang menyedihkan dan menyeramkan. Hati menjerit tiada henti seakan hanya Tuhan yang mendengar.

Diva sering diam. Mengurung diri. Menatap menara masjid yang mencakar langit. Mi… Diva kangen Ummi. Diva mau pulang. Hati Diva merintih.

Tiada tempat curhat selain hatinya sendiri. Kapan Ummi menjemput Diva? Sudah beberapa pekan ummi belum kunjung datang. Ummi bohong, kan? Diva tinggal di sini tidak hanya sepekan?

Diva menjelang remaja. Di pesantren dia melanjutkan studinya di Madrasah Aliyah selevel SMA. Teman-teman, bahkan Abah dan Ummi, mengenal Diva sosok yang penyabar, friendly, cerewet, bahkan mudah akrab dengan siapa pun. Hanya saja orang yang paling akrab adalah Ummi. Ummi selalu menjadi teman curhat Diva. Kadang Diva pernah mengadu tidak dikasih uang saku oleh Abah sebab bolos sekolah.

Ummi tidak pernah marah. Setiap keluhan selalu direspons dengan kata “sabar”. Betapa berartinya bersabar di saat kenyataan tak seindah harapan. Sikap Ummi banyak menginspirasi hidup. Ummi tidak hanya menjadi seorang ibu, namun pula sahabat yang amat dekat.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Suara azan memecahkan diam. Tak terasa menjelang shalat jamaah Zuhur, Diva mencoba beranjak. Berat. Menuju kran wudhu tak jauh dari biliknya. Beberapa santri berderet memanjang dan bergantian. Begitulah kehidupan pesantren. Fasilitas serba terbatas, sementara santrinya banyak. Keterbatasan ini menjadi pelajaran berharga untuk memotivasi para santri agar tetap semangat, bahwa tiada kehidupan yang sempurna, melainkan serba kekurangan. Hanya rasa menerima dan bersyukur yang menjadikan hidup ini begitu sempurna.

* * *

Hidup di pesantren tidak bisa disamakan dengan hidup di rumah sendiri. Ruang gerak serba terbatas. Beraneka ragam aktivitas datang silih berganti.

Annuqayah berdiri dan berkembang di sekitar pegunungan tempo dulu. Tempat di mana penyerangan Belanda mengintai pesantren. Pasukan Belanda bertekuk lutut di kaki Kyai Abdullah Sajjad, putra Kyai Syarqawi. Namun dalam pertempuran itu, akhirnya beliau harus gugur  menjadi syuhada. Darahnya menjadi saksi di hadapan Tuhan. Namanya dikenang hingga akhir hayat, walau raganya telah tiada.

Masih di lingkungan pesantren terbentang luas bukit Lancaran, tempat berlibur para santri putri. Latarnya menyenangkan. Angin bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan biru melambai penuh keindahan. Bahkan, di tempat ini banyak santri melahirkan syair yang maha indah.

Annuqayah memang pesantren. Tapi, tidaklah disamakan dengan pesantren lain. Pesantren biasanya dikenal dengan media belajar ilmu keagamaan dan budaya kitab turatsnya yang amat kuat. Annuqayah sebaliknya. Budaya kitab turats tergantikan dengan budaya menulis karangan, termasuk menulis puisi. Banyak sastrawan dan penulis yang lahir dari pesantren ini. Ada M. Faizi, penyair sekaligus sosok Kyai muda dan inspiratif, keluarga besar pesantren. Jamal D. Rahman, sastrawan dan redaktur majalah Horison. A. Bakir Ihsan, politikus dan penulis di media nasional. Adi Prayitno, pengamat politik dan penulis tetap di koran Tempo. Bahkan, M. Musthafa, penulis di koran nasional dan putra Kyai Annuqayah.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

“Div!” seru Nadia, teman baru Diva di pesantren.

Minggu sore Diva naik bukit Lancara sembari menghirup udara segar. Amat melegakan rasanya. Segala kesedihan sedikit memudar. Segala kerinduan sedikit terobati. Senyum tersungging di bibir manisnya.

“Menyenangkan banget, Kak,” desis Diva seketika memejamkan mata. Nadia dipanggil dengan sebutan “kakak”, karena usia Nadia lebih tua di pesantren. Nadia menjadi sosok sahabat yang perhatiannya mengingatkan Diva pada perhatian Ummi. Tuhan selalu tahu cara menghibur hati hamba-Nya yang terluka.

Nadia bahagia melihat temannya bahagia. Tampak pada rona wajahnya benih-benih cinta. Diva mulai belajar merantau di pesantren. Butuh waktu yang lama memang beradaptasi, sehingga merekah benih-benih cinta dan memiliki.

“Diva lihat para santri?” tanya Nadia sambil menunjuk lingkaran yang berisi enam sampai sepuluh orang. Nadia bercerita, “Mereka lagi belajar menulis, menulis apa pun yang terbersit di pikiran, termasuk rasa sakit.”

“Memang mereka menulis apaan, Kak?” tanya Diva penasaran.

“Apa saja.” Nadia jawab singkat.

“Termasuk puisi, kan?”

“Iya.”

“Tapi, aku tidak suka nulis syair kayak gituan, Kak.”

“Diva sukanya menulis apa?”

“Aku belum pernah belajar menulis, apalagi menulis puisi. Tapi….”

“Tapi apa, Div?” Nadia memotong.

“Abahku mencita-citakan aku menulis buku tafsir seperti Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.”

“Wah, wah, wah… cita-cita yang keren itu, Div.”

“Tapi….”

Nadia berdesis, “Sttttt… sekarang buang kata ‘tapi’, dan gantilah dengan kalimat aku pasti bisa.

Diva mulai semangat menatap masa depan. Bayang-bayang kesuksesan merekah di depan mata. Nadia banyak merubah cara berpikir Diva selama di pesantren. Diva yang kadang suka mengeluh, sekarang menjadi optimis. Bahkan, yang kemarin sering menangis, sekarang menjadi sosok yang penuh senyuman.

Nadia teringat sebuah kalimat bijak yang banyak merubah hidupnya, “Kakak selalu termotivasi dengan kalimat ini. ‘Dream big, work hard, and make it happen’ Bermimpi besarlah, berkerja keraslah, dan buatlah mimpi itu menjadi kenyataan.”

Begitu pentingnya mimpi dalam mengarungi samudra kehidupan. Paulo Coelho, novelis Brazil, berpesan, “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” Bahkan, Andrea Hirata menyebutkan dalam buku Edensor, “Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Motivasi Nadia dan cita-cita Abah makin kuat terngiang dalam pikiran. Terbersit dalam benak untuk mengambil bolpoin dan selembar kertas untuk menulis.

“Ajari Diva menulis, Kak.”

“Insya Allah, Div. Intinya, kalau mau jadi penulis hebat, syaratnya satu.”

“Apa, Kak?” Diva tidak sabar memotong.

“Membaca dan menulis.”

Rasanya perpustakaan adalah tempat yang dirindukan untuk menulis. Tiada penulis yang lahir tanpa membaca karya orang lain. Semua pasti memiliki pengalaman yang serupa: membaca dan menulis. Menulis tanpa membaca hampa. Begitu pula, membaca tanpa menulis sia-sia.

Alam sekitar mulai gelap. Malam makin menyingsing. Suara qira’at qori’ legendaris Muammar menyesaki lingkungan pesantren. Seketika Diva dan Nadia harus balik ke bilik pesantren.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru