33 C
Jakarta

Catatan Akhir Tahun 2019: Terorisme Musuh Semua Negara dan Agama

Artikel Trending

EditorialCatatan Akhir Tahun 2019: Terorisme Musuh Semua Negara dan Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Merespon terorisme mati satu tumbuh seribu bukan hal yang lumrah bagi kelompok teroris, sebab mereka memandang mati di medan pertempuran dengan jihad atas nama agama merupakan kebanggaan besar. Meskipun tindakan kekerasan (teroris) tersebut sebenarnya sangat meresahkan keamanan masyarakat global.

Krisis keamanan ini tentu menjadi peluang besar potensi aksi terorisme akan lebih masif di pelbagai penjuru negeri, terutama di negara-negara yang mayoritas Islam hendaknya selalu mereka anggap sebagai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan jihad atas nama agama dalam mendirikan negara Islam (Islamic state).

Dunia internasional memang mengutuk keras dan mengecam aksi kejahatan luar biasa (terorisme) yang meluluhlantakkan manusia. Walaupun pelbagai negara banyak yang bersimpati dan mendukung langkah pemberantasan terorisme masih banyak kelompok teroris yang tersebar di mana-mana dan melakukan aksi penyerangan.

Aksi terorisme yang berjubah agama ini diklaim sebagai kelompok ekstrimis fundamentalis yang kerapkali menghalalkan teror dan pembunuhan manusia secara massal serta menghallakan kekerasan. Ironisnya, terorisme saat ini telah menjelma menjadi hantu yang menakutkan, karena terorisme bergentayangan dimana-mana.

Kejahatan terorisme di Indonesia tergolong organized crime atau kejahatan yang terorganisir, dilakukan oleh sekelompok orang dengan maksud dan tujuan tertentu. Bentuk kejahatan terorisme merupakan kejatahan lintas batas negara yang tidak kunjung selesai kekerasannya terjadi tanpa diduga dan banyak menimbulkan korban.

Di sisi lain, dampak meningkatnya terorisme karena pasca meninggalnya pimpinan kelompok radikalisme yang melahirkan aksi terorisme. Di antaranya, Osamah Bin Laden, Abu Bakar al-Baghdadi, keduanya ini memang teroris fenomenal yang memimpin kelompok jihadis dengan mengatasnamakan agama Islam sebagai titik nadir perjuangan.

Selain itu, lahirnya terorisme keagamaan modus operandinya adalah karena semakin banyak kelompok radikalisme agama yang tidak lain tujuannya adalah mendirikan negara yang semua sistemnya didasarkan kepada label Islam. Baik itu, ISIS, Jama’ah al-Qaeda, Taliba, dan kelompok-kelompok teroris lainnya yang bertebaran di timur tengah.

Parameter Aksi Terorisme

Beberapa aksi terorisme yang terjadi di pelbagai penjuru negeri, khususnya di Indonesia tergolong kekerasan karena faktor ketidakadilan dari sisi ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Salah satunya faktor kebijakan ekonomi negara yang tidak mencerminkan keadilan sangat mempengaruhi suburnya aksi terorisme.

BACA JUGA  Mawas Diri dari Propaganda Khilafah di Bulan Ramadan

Maka dari itu, angka aksi terorisme perlu kita cermati parameternya dengan kita mencermati sejauh mana kekerasan itu masif atau tidak? Menurut Indeks Terorisme Global 2019 yang dirilis oleh Institute for Economics dan Peace (IEP), menunjukkan bahwa faktor angka kematian yang disebabkan oleh serangan teroris telah menurun secara global. Namun, jumlah negara yang masih mengalami teror pun dominan meningkat.

Sedangkan dilansir dari Media Indonesia (03/05/19), Indeks Terorisme Global pada tahun 2018, Mesuring the Impact of Terrorism, dalam rentang waktu 2013–2017, terjadi 127 serangan oleh individu/kelompok yang berideologi supremasi kulit putih/ultrakanan yang memakan korban 66 jiwa. Dari data itu, terindikasi bahwa teror ultrakanan menunjukkan tren meningkat, baik dalam jumlah serangan maupun korban.

Meskipun ada penurunan angka kematian akibat serangan teroris, tentu hal ini tidaklah membuat semua peran negara berhenti memberantas paham radikalisme yang kerap melahirkan aksi terorisme. Sebab itu, sangat membahayakan kedaulatan negara dan mengancam keutuhan masyarakat yang ada di bangsa ini.

Soliditas Peran

Karena kejahatan terorisme bukan istilah barang baru yang terjadi dan sekali beraksi mampu membunuh ratusan orang. Kekerasan ini sangat perlu kita waspadai, terutama oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, serta tokoh lintas agama untuk mencari celah potensi aksi kekerasan yang muncul dari kelompok radikalisme.

Peran preventifnya, Badan Intelejen Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kedaulatan negara dari serangan terorisme agar tidak mudah memicu kehancuran dan kerusakan pada sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena terorisme adalah musuh kita bersama yang harus dilawan dan diperangi dengan kesadaran kita semua.

Di samping itu, peran edukatif adalah dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang memiliki program deradikalisasi untuk terus aktif membinan mantan napi teroris agar mampu menjadi pintu hidayah bagi orang-orang sebelum masuk dalam kelompok teroris. Dan diperkuat dengan wawasan kebangsaan dan keagamaan sebagai solusi untuk menutup ruang potensi terjadinya kekerasan.

Aksi terorisme yang motifnya doktrin agama dan kebijakan ekonomi negara haruslah dijadikan pelajaran penting oleh negara. Dalam hal ini, pemerintah agar melakukan kajian ulang dan menata lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan terorisme, serta membenahi strategi kedepannya agar bisa berjalan lebih efektif.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru