32.1 C
Jakarta

Cara Moderat Menyelesaikan Kegaduhan Soal Nasab Habaib

Artikel Trending

Milenial IslamCara Moderat Menyelesaikan Kegaduhan Soal Nasab Habaib
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Tidak”. Demikian jawaban yang pas untuk pertanyaan saya pada tulisan sebelumnya, Imaduddin, Fuad Plered, Bahar Smith, dan Sifat Kekanak-kanakannya, tentang apakah kegaduhan tersebut sengaja didesain oleh ‘the invisible hand’. Kita tak perlu menuduh siapa di balik polemik nasab. Sebaliknya, kita harus berkaca pada diri sendiri, apa yang seharusnya dilakukan? Apakah kegaduhan akan dibiarkan jadi bola liar dan menyebabkan konflik sipil? Tak adakah cara-cara moderat untuk menyelesaikannya?

Pertanyaan yang terakhir tadi penting karena dua alasan. Pertama, kegaduhan soal nasab habaib sudah melangkah sangat jauh—terlampau jauh dari masalah awal. Kedua, ada sinyal yang mengarah pada permusuhan horizontal, tak hanya antara kiai dan habaib, tetapi antarmasyarakat pendukung masing-masing. Tim hore Imaduddin cekcok dengan tim hore Bahar Smith, juga gaduh dengan tim hore Fuad Plered. Dan di medsos, kegaduhan mereka benar-benar menjijikkan.

Berbicara kegaduhan soal nasab, ada beberapa prinsip yang harus kita pegang. Satu, ia tidak lahir di ruang hampa. Tak ada asap tanpa ada api. Dua, kita tidak bisa mengontrol opini siapa pun. Keraguan soal nasab adalah satu opini, dan respons terhadapnya adalah opini lainnya. Selama berjalan di rel wajar, itu tak masalah. Sejauh ini, tanggapan paling ilmiah datang dari Rumail Abbas, intelektual muda NU, yang membantah tesis-tesis Imaduddin secara secara bijak.

Karena tulisan ini hendak menawarkan cara-cara moderat untuk menyelesaikan kegaduhan tersebut, posisi awalnya harus adil. Jadi, kegaduhan harus dipahami duduk perkaranya, yaitu adanya oknum habib yang arogan: Bahar Smith. Dia takabur dan merasa lebih mulia daripada kalangan non-sayid sekalipun alim. Tentu saja itu menyinggung. Bagaimana pun, nasab itu tidak ada gunanya jika hanya melahirkan arogansi. Bahar dan mulut sampahnya jelas keterlaluan.

Andai Imaduddin, yang akademisi itu, berargumen dengan kepala dingin dan tesisnya tentang terputusnya nasab habaib ke Rasulullah disampaikan secara bijaksana, semua akan baik-baik saja. Namun lihat yang terjadi, Fuad Plered malah memanas-manasi keadaan dengan narasi provokatif. Ia bahkan membuat konten di YouTube dengan Faqih Wira Hadiningrat yang menganggap eksistensi nasab Ba’alawy di Yaman itu bohong—palsu.

Apa yang terjadi? Jadilah masalah ini semakin runyam. Tak hanya Bahar yang disemprot, semua habaib kena getahnya—bahkan semua keturunan Ba’alawy dianggap pendusta, imigram, pengungsi Yaman yang mencari penghidupan di Indonesia. Dan kalau dibiarkan, narasinya akan semakin parah. Kegaduhan soal nasab habaib jelas dan pasti akan jadi gorengan utama, terlebih menuju Pemilu 2024. Namun, apakah respons Imaduddin dan Fuad Plered itu sepenuhnya salah?

Gara-gara Habib yang Takabur

Jawabannya: tidak. Imaduddin harus diapresiasi karena berani mengangkat tema kontroversial yang mendestruksi formula ketokohan di Indonesia. Dalam iklim akademik, ia disebut sebagai akademisi yang meruntuhkan status quo, dan itu sangat bagus. Namun, tesis Imaduddin itu tidak final. Dia harus sadar tentang itu. Maka, ketika ada anti-tesis seperti yang disuguhkan Rumail Abbas, Imaduddin tidak boleh menutup telinga, apalagi dengan merasa lebih otoritatif.

Faktanya, Imaduddin enggan meladeni debat dengan Rumail karena alasan “tak selevel”—sikap yang sangat disayangkan untuk seorang akademisi. Pada saat yang sama, cara Imaduddin di mimbar sama sekali kontras dengan nuansa ilmiah yang ia tulis dalam bukunya. Jadi, sekalipun sudah bersumbangsih terhadap anti-status quo, Imaduddin harus juga dikritik karena menganggap penelitiannya telah final dan menegasikan kajian-kajian akademik yang anti-tesis.

Sementara itu, Fuad Plered, rasanya tidak perlu berbicara tentangnya. Ia tidak lebih dari provokator, yang tampil bak membela pribumi padahal ia hanya mengerahkan seluruh kebenciannya pada Ba’alawy. Kita tidak perlu mendengar rumor yang beredar bahwa dia punya dendam dengan habaib, namun seluruh kontennya di YouTube tidak menunjukkan iktikad yang baik sama sekali. Rasanya berat untuk mengapresiasi Fuad karena selain non-akademisi, dia juga tidak otoritatif.

BACA JUGA  Wahabi: Manhaj Munafik yang Mencederai Kebhinekaan NKRI

Kendati demikian, ada pihak lain yang lebih harus bertanggung jawab atas kegaduhan ini, yaitu segelintir habib yang takabur. Seperti kata Quraish Shihab, mereka yang punya gelar sayid dan dipanggil habib “harus tahu diri”. Tahu bahwa mereka di Indonesia adalah tamu, maka harus menghormati tuan rumah. Harus juga cinta tanah air, cinta uli al-amr, dan harus mengasihi umat tanpa merasa mulia karena gelar kesayidannya. Bukan malah sebaliknya, seperti Bahar yang kerjanya menghujat.

Selain itu, seiring dengan banyaknya habaib di Indonesia, ada di antara mereka yang menjadikan gelarnya sebagai akomodasi. Lahirlah habib-habib muda yang ilmunya seupil, tapi sombongnya selangit. Mereka tidak sekolah, dan mengandalkan ketaatan masyarakat untuk penghidupan belaka. Habib pun terdistorsi karena segelintir mereka takabur; merasa lebih unggul dari ras lokal, berbangga-bangga dengan nasab, dan modalnya hanya imamah dan sorban belaka.

Lebih umum dari itu, di negara ini, memang ada kecenderungan ras Arab merasa superior. Tidak mau menikah kecuali sesama Arab dan kerap kali bertingkah meresahkan. Semua ketakaburan tersebut menjadi penyebab utama sentimen anti-Arab, dan puncaknya adalah kegaduhan soal nasab habaib. Karenanya, untuk menyelesaikan ini, penduduk ras Arab harus menyingkirkan ego kesukuannya. Indonesia adalah negara majemuk, maka mereka haru tahu diri—tidak boleh takabur.

Sikap Orang Indonesia

Bersamaan dengan itu, orang Indonesia harus mengambil sikap non-reaktif. Sebab, reaksi sentimental juga tidak akan menyelesaikan msalah. Prinsipnya adalah tasamuh. Arogansi dibalas arogansi, hasilnya adalah konflik berkepanjangan. Apakah artinya orang Indonesia harus merendah diri di hadapan ras Arab atau secara khusus para habaib? Jelas tidak. Masalahnya adalah oknum. Penyalahgunaan itu terjadi di mana-mana, tidak hanya dalam hal nasab habaib.

Dari ribuan habib yang saleh, pasti ada satu-dua habib yang nakal. Bahar Smith merepresentasikan sosok habib tengil dan tidak tahu diri. Itu biasa. Yang harus dikoreksi adalah oknum itu sendiri, bukan dengan cara membuat gaduh seperti yang terjadi hari ini. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus bertindak sebagaimana karakter Nusantara. Hasutan, kebencian, dan perpeahan sama sekali tidak mencerminkan itu. Maka sikap destruktif sebaiknya tidak kita ambil.

Mari kembalikan kegaduhan ini sebagai perdebatan yang sehat dan ilmiah. Tanpa ada kebencian antargolongan. Pihak Imaduddin dan Fuad Plered mesti menyetop ujaran-ujarannya yang provokatif. Begitu juga Bahar Smith juga harus berhenti dari kecongkakan dan ketakaburannya. Seluruh pernyataannya yang menyinggung umat Islam Indonesia, ia harus minta maaf. Habib itu orang yang mengasihi, yang berakhlak. Tanpa akhlak, Bahar tidak lebih mulia dari preman pasar.

Cara-cara moderat boleh jadi melibatkan diskusi publik, klarifikasi, riset, dan permintaan maaf antarpihak. Di Indonesia, tidak ada satu ras yang lebih mulia dari yang lain. Orang Arab di negara ini tidak boleh takabur, dan orang Indonesia sendiri harus bersikap ramah. Soal hasil akhir dari riset ilmiah nasab habaib, kebenarannya selalu tentatif. Tidak ada kebenaran final dalam dunia akademik. Setiap tesis akan melahirkan anti-tesis. Masyarakat Indonesia harus berpegang pada prinsip itu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru