32.9 C
Jakarta

Buzzer Khilafah, Kritik Islamisme, dan Kebangkitan Moderasi Islam

Artikel Trending

Milenial IslamBuzzer Khilafah, Kritik Islamisme, dan Kebangkitan Moderasi Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Buzzer tak hanya bergeliat pada persoalan politik. Tatapi ia juga menebalkan nalar Islamisme. Mereka yang selama ini tenang bertamasya di dunia maya untuk mengokohkan nalar Islamisme dan doktrin khilafahisme, sesungguhnya yang juga membahayakan nalar publik. Buzzer itu adalah Buzzer Khilafah: HTI.

Buzzer Khilafah Penentu Arah Teroristik

Pendengung atau cuzzer HTI ini bebas berselancar dengan doktrinnya. Ia mendengungkan segala ajarannya untuk menggerogoti pilar-pilar kebangsaan manusia Indonesia. Sampai kini, mereka begitu digdaya mempromosikan agenda dan program khilafah yang menyesatkan.

Di dunia maya sesak berisi konten para buzzer khilafah. Gempuran konten-konten buzzer khilafah membingkai psikologis, pikiran, tindakan, muslim rentan: awam. Mereka memainkan perang narasi dan tagar sebagai sebuah rekayasa mengubah cintra sistem Indonesia menjadi nilai buruk: Demokrasi Pancasila sistem kafir, Indonesia negara toghut.

Selanjutnya, mereka masuk pada apa yang mereka mau: mewajibkan seorang muslim untuk memerangi hal-hal teranggap produk kafir, syirik, dan toghut. Kemudian, secara percaya diri mereka mengajak muslim untuk meninggalkannya dan mulai dengan segara mungkin untuk melakukan ajaran Islam versi khilafahers.

Buzzer khilafah ini kemudian mengajak perang kepada hal sudah tertanam rapi dan bagus di dalam tubuh budaya-tradisi Indonesia. Mereka mengacak-ngacak kondisi keummatan untuk sesegara mungkin melampiaskan hasratnya: mendirikan khilafah Islam. Maka kemudian, tak heran bila anak-anak muda, secara terang tidak menyadari bahwa mereka berada dalam jurang kesesatan yang membahayakan. Mereka tak sadar bahwa telah menggali dan hidup di lubang krisis peradaban.

Krisis Peradaban Buzzer Khilafah

Krisis peradaban yang menjangkiti umat manusia telah menyebabkan kejumudan. Kondisi krisis yang kian tajam di satu sisi, dan modern di sisi lainnya, menunjukkan keadaan yang kurang. Ini yang kemudian, disalahgunakan oleh buzzer khilafah. Mereka bermain dengan konten, narasi, majalah, akun robot, yang setiap hari sengaja merusak sendi-sendi persaudaraan, kebangsaan, dan keindonesiaan kita.

Maka tak khayal, jika setiap hari banyak anak bangsa yang melawan arus ajaran keummatan. Banyak generasi muda yang melempar tuduhan kafir ke saudaranya sendiri. Dan banyak dari generasi ke genarasi yang gigih melawan pemerintahan yang sah. Bahkan berani melawan ajaran-ajaran Islam moderat macam NU dan Muhammadiyah.

Apa yang terjadi? Bangkitlah sebuah generasi yang tercerabut dari babanya: Indonesia. Mereka tidak kenal Indonesia. Mereka tidak kenal Wali Songo, Tan Malaka, Hatta, Soekarno, Natsir, Pramodya, Agus Saliem, Tirto, Haji Misbach, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, bahkan pada generasi sekarang: Gus Dur, Cak Nur, Jalal, Dawam, Kuntowijoyo, Rendra, Azra, Amin Abdullah, Gus Mus, dan Cak Nun.

Akhirnya, bangkitlah paham dan nalar islamisme. Lahirlah generasi bernalar radikalisme. Bukan nalar moderat, arif, bijak, santun seperti yang telah tercontohkan Rasul. Yang telah tercontohkan orang-orang di atas tersebut. Beragama, yang tinggi ke tingkat tertinggi ke langit, tapi kaki-kakinya membumi:  berwarganegaraan.

Beragama sebagai Asas Berwarganegara

Padahal Islam selaiknya sebagai asas kewarganegaraan. Apa landasannya? Tidak lain adalah Islam memandang semua manusia sama dan hanya yang membedakan di hadapan Tuhan kualitas ketakwaannya.

Islam sebagai laku manusia bukan hanya mengacu pada asas ritualistik, melainkan sebagai sarana perbaikan moral. Oleh sebab itu, berislam harus menebar rahmat, dan bernegara menjaga hak-hak kolektif terhadap tradisi dan keyakinan setiap manusia yang berbeda. Islam sebagai cara pandang bernegara dan berbangsa sebagai laku keislaman.

BACA JUGA  Minoritas, Nataru dan Terorisme di Indonesia

Kini, kita memang sedang mengalami perubahan global, baik budaya, politik, pendidikan, ekonomi, dan hal-hal lainnya, sehingga kadang memunculkan kerumitan dan menembus batas keberagamaan. Dan imbasnya, fenomena paham kekerasan berbasis agama juga sering menyelinap dalam proses perubahan tersebut.

Paham-paham transnasional ini berimplikasi kepada doktrin sosial agama. Secara keyakinan mereka mengklaim harus merasa paling benar dan membenarkan bagi agamanya. Tetapi ini jutstru menyebabkan kerentatan sosial kalau terterapkan dalam wacana kewarganegaraan. Bisa jadi, semua: orang, suku, pulau, ras, bahasa, dan sejenisnya juga mengklaim paling benar. Betapa mengerikan jika hal ini terjadi.

Tetapi harus di akui, bahwa paham kekerasaan juga tidak secara tiba-tiba ada atau cuma sebab satu faktor saja. Ia bisa terlihat dari kontestasi politik yang kian tak adil, barbar, dan hanya memetingkan segilintir orang: oligarki.

Tentu ini menuntut adanya kejelasan sebagai warga negara. Keadilan, kesetaraan, dan sebagainya juga patut terberikan oleh negara. Undang-undang yang kian melucuti normanya saya rasa juga harus menjadikan permenungan untuk mencari kebijakan yang berimbang antara warga sipil dan warga kaya. Sesama bangsa menuntuk keadilan. Sebab, seperti analisa Ahmad Suendy, paham kekerasan berbasis agama pada dasarnya karena atau berakar pada supremasi asas sosial politik.

Pun kita memang harus kecewa dan mengkritik terhadap kehidupan bangsa ini. Peluang demokrasi yang diparktikkan oleh partai politik belum mampu menghadirkan kehidupan yang adil, lebih berdaya, dan sejahtera. Begitu pun ranah pendidikan seperti tersumbat untuk mengatakan sepatah dua kata untuk keadaan ini.

Kehilangan Indonesia

Kita seperti kehilangan Indonesia dan keintelektualannya. Daya hidup dan kadar karakter hilang direnggut oleh ketamakan politik elite. Mereka seperti menari di atas penderitaan mayoritas rakyat. Sangat benar apa yang dikatakan Yudi Latif, bahwa kemiskinan memang bangsa ini tidak memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya.

Baginya, kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemorosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat para abdi negara lebih rela menjadi pelayan modal ketimbang pelayan rakyat.

Maka, mereka terjebak pada perilaku koruptif. Adapun perilaku tersebut merupakan pembusukan nilai-nilai keadilan, kewargenagaraan, dan norma Islam. Dan hal-hal demikian yang membikin bergerilyanya pelaku teroris, sikap radikal, dan nalar Islamisme.

Kita melakukan mendirikan salat supaya bisa mendirikan keberdikarian: adil, baik, jujur, luhur, dan bijak. Jika perilaku koruptif masih berlaku di hadapan bangsa ini, apalah artinya salat kita. Bisakah kita sebut sebagai “senam religiositas”.

Oleh karena itu, penting menjaga komitmen keislaman dan kesadaran kewarganegaraan agar tak terjebak pada perilaku ketidakberadaban. Juga, penting melakukan penggalian norma keislaman dan pengadaaan tranparansi, akuntabilitas, yang dilaksanakan secara sistematis terintergrasi dengan perilaku yang baik dan berudi pekerti.

Jika itu dilakukan secara sungguh-sungguh, maka geliat buzzer khilafah dan nalar Islamisme, mati.  Moderasi Islam akan bangkit.  Dan ini, tak harus mendirikan yayasan moderasi beragama, lo!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru