33.5 C
Jakarta

Buzzer Itu Jelas Menjijikkan, Tetapi Menghina Pemimpin Juga Tidak Terpuji

Artikel Trending

Milenial IslamBuzzer Itu Jelas Menjijikkan, Tetapi Menghina Pemimpin Juga Tidak Terpuji
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Suatu sore, di salah satu kedai kopi borjuis di Bintaro, seorang rekan berseloroh, karena saya sering menulis artikel yang dianggapnya pro-pemerintah. Katanya, saya sedang jadi antek-antek otoritarianisme. Pemerintahan saat ini, yang ia maksud, dianggap otoriter melalui tangan-tangan buzzer. Dan ia menggolongkan saya sebagai salah satu dari mereka. Meski agak kesal, karena ia teman sendiri, saya menahan sikap reaktif. Kami, kebetulan, tengah membahas polemik BEM UI.

Menurutnya, rezim hari ini lebih menakutkan daripada Orde Baru—lebih otoriter. Bedanya, katanya, kalau di zaman Soeharto, para oposisi dibungkam kritiknya dengan cara dihilangkan; dipenjara atau dibunuh misterius. Sementara hari ini, katanya, para oposan dibungkam dengan cara dirangkul. Ia mengatakan lebih parah dari Orde Baru karena, di tengah persoalan kebangsaan, kritik jadi senyap bukan karena tak ada masalah, melainkan semuanya sudah bersekongkol jadi setan.

Saya lumayan terkejut mendengar itu. Saya coba meluruskan padanya begini: tidak semua yang membela pemerintah itu laik tertuduh sebagai buzzer, sebagaimana tidak semua kritik terhadap pemerintah itu datang dari pihak yang pure ingin memberikan solusi. Kita, saya bilang padanya, sama-sama punya oknum yang tidak benar. Ada yang membela pemerintah karena butuh jabatan—ia menyebutnya penjilat. Ada juga yang mengkritik pemerintah karena ingin merusak citranya.

Kemudian, padanya, saya kemukakan sebuah contoh. Apakah kritik elite HTI murni karena membela Islam, bukan karena ingin mengganti sistem pemerintahan? Apakah kritik elite PKS itu sangat politis, tidak kentara alasan ideologis? Dan, dalam konteks orang-orang yang ia anggap buzzer, seperti Ade Armando, apakah ia punya kepentingan memahamkan masyarakat tentang Islam yang benar ketika ia mengonter ekstremisme? Saya bilang padanya, mereka semua itu orang-orang nakal.

Saya berulang kali bilang, pemerintah sebenarnya tidak anti-kritik. Masalahnya, kritiknya seperti apa? Apakah menyerang personal? Apakah dalam rangka menghancurkan integritas pemimpin? Lalu dalam konteks BEM UI, apakah kritik mereka konstruktif atau justru ad hominem yang berpotensi dimanfaatkan para musuh negara? Perlu dikhawatirkan.

BEM UI: Mengkritik atau Menghina?

Tolok ukur apakah sebuah aspirasi bisa disebut kritik atau hinaan ialah pelaku di satu sisi dan materi di sisi lainnya. Jika seorang dengan pendidikan rendah mengumpat pemimpin, boleh jadi orang akan memakluminya: ia tidak berpendidikan. Tetapi jika pelakunya adalah kaum akademis, umpatan akan sangat memalukan karena tidak semestinya. BEM UI mengkritik Jokowi, dalam niat mereka, melalui meme. Kampus sebesar UI tidak mengkritik secara proporsional. Itu kesannya.

Tetapi, penting dicatat, semua itu kembali pada kesadaran personal dan kolektif. Aspirasi tidak bisa dikontrol melalui kacamata kelaikan atau tidak, karena emosionalisme menegasikan akal sehat. Maka tidak heran, bahwa orang dengan pendidikan yang mapan akan suka mengumpat. Rocky Gerung mengumpat Jokowi dengan sebutan ‘dungu’, adalah sama buruknya dengan ketika Ade Armando mengumpat Anies Baswedan sebagai ‘badut’. Akademisi yang kritiknya tidak akademis.

Dalam konteks BEM UI? Semua orang memiliki penilaiannya masing-masing. Ketika penghakiman dilakukan, sebagaimana reaksi para buzzer terhadap BEM UI, di situlah hal buruk terjadi. Alih-alih menguntungkan, pemerintah sebagai ‘materi kritik’ menuai rugi yang sangat besar: akan terlabeli sebagai rezim anti-kritik. Karena itulah kemudian saya bilang, buzzer itu bak belatung yang demi peruntungannya sendiri, ia menggerogoti integritas pemerintah di hati masyarakat.

BACA JUGA  Cara Jitu Menangani HTI dan Gerakan Bawah Tanah Khilafahers

Kendati demikian, ke depan, mungkin BEM UI harus belajar bagaimana mengkritik pemerintah dalam hal kebijakannya. Artinya, tidak dengan secara personal menyerang pribadi Jokowi. Dalam hal kebijakan, Jokowi bukan sesuatu yang personal, melainkan selalu berkelindan dengan ‘sesuatu di luar dirinya’. Maka jika ada ucapan yang berbeda dengan kenyataan, itu bukan karena janji palsu, melainkan politik kebijakan yang dinamis. Dalam konteks itu, solusi BEM UI menemukan momentumnya.

Mereka bisa, misalnya, menawarkan solusi konstruktif yang tidak menurunkan marwah dirinya sebagai kaum akademis di satu sisi, juga tidak mencederai marwah pemimpin dengan menghinanya. Yang demikian jelas lebih adil; tidak ada yang dirugikan dan permasalahan akan menemukan jalan keluarnya, tidak justru jadi polemik seperti saat ini.

Buzzer dan Kritik untuk Pemerintah

Ketika BEM UI, atau yang lainnya juga, sudah menggunakan cara-cara yang bijak, maka buzzer harus diam—tidak perlu memanas-manasi keadaan. Bukankah buzzer diabayar pemerintah? Tidak semua begitu. Ada juga yang jadi buzzer secara cuma-cuma dengan alasan fanatisme. Bagi manusia jenis ini, semua yang mengarah pada pemimpin dianggap ancaman dan, sekalipun tidak ada yang membayar, ia akan membela mati-matian.

Padahal, selama masih bernama kritik konstruktif, pemerintah harus akomodatif. Justru buzzer yang angel tak ketulungan itulah yang harus ditertibkan. Antara buzzer dengan kritik pemerintah mesti ambil jarak, atau jika tidak, masyarakat akan sangat antipati dengan pemerintah dan menganggapnya otoriter, anti-kritik, dan gila hormat. Saya pikir pemerintah tidak ada alasan untuk menindak para kritikus konstruktif, dan buzzer gagal paham ihwal hal tersebut.

Meski begitu, seberapa menjijikkannya seorang buzzer, menghina pemimpin tetaplah sama buruknya. Efek keduanya sama: membuat pemerintah mati pamor di mata masyarakat. Padahal Jokowi tidak bermaksud membawanya ke ranah hukum, tetapi buzzer kukuh menghujat para pengkritik. Yang disalahkan siapa? Pasti pemerintah. Jadi ada masalah serius mengenai buzzer; mereka mencampur-adukkan yang positif dan negatif, menggeneralisasinya sebagai yang ‘harus dilawan total’.

Kritik untuk pemerintah merupakan warisan Reformasi. Buzzer tidak selaiknya mencederai itu. Namun, perlu disadari bersama, menghina jelas berbeda dengan mengkritik. Menghina akan selamanya menjadi hinaan dan harus ditentang. Satu waktu, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah karena ulah buzzer, karena buzzer sendiri sering kali bergerak di luar batas kontrol.

Kuncinya, saya pikir, hanya satu, yaitu menghindari kritik destruktif tak terpuji seperti yang BEM UI lakukan, dan beralih mengkritik pemerintah secara proporsional. Sehingga, buzzer yang menjijikkan itu tidak lagi punya panggung. Karena jangan-jangan, selama ini, kita sendirilah yang memberikan panggung untuk mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru