30 C
Jakarta

Bom Makassar, Teologi Teroris, dan Perempuan

Artikel Trending

Milenial IslamBom Makassar, Teologi Teroris, dan Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bom Makassar di depan Gereja Katedral yang terjadi pada Minggu 28 Maret 2021, menampar kenyaman Indonesia. Tidak terpungkiri, setelah bom bunuh diri Surabaya pada 2018 silam, kini kembali terjadi dan berkobar di tiga tempat di Indonesia.

Taktik, sasaran, waktu, dan jenis bomnya juga sama. Mereka memakai taktik dengan pemanfaatan keluarga atau pasangan suami-istri “lugu” akan ajaran Islam dan politik licik para teroris: ISIS. Mereka dimanfaatkan untuk “jihad” demi bau surga yang entah.

Sasarannya sama: yaitu gereja. Waktunya saat-saat mendekati bulan Ramadan atau pas di bulan Ramadan. Begitu juga jenis bomnya, mereka pakai TATP/Tricetobe Triperoxida. Di sini, kita bertanya, mengapa harus gereja dan harus bersama keluarga demi pengeboman? Dan mengapa harus  di negara Indonesia?

Bom Makassar dan Pemanfaatan Perempuan

Bom Makassar kunci melihat bagaimana para teroris bermain. Dia memanfaatkan keluarga “lugu” untuk dijadikan martir. Seperti yang sudah-sudah, keluarga-keluarga ini dijadikan bahan murah untuk meledakkan diri. Perempuan menjadi target selain dijadikan supporting-role, yaitu mata-mata, ia juga, kini menjadi eksekutor utama.

Seperti ISIS, teroris di Indonesia, perempuanlah diproyeksikan untuk terlibat langsung ke medan lapangan. Banyak analisis mengenai mengapa perempuan dimanfaatkan menjadi lahan subur mata rantai terorisme. Pertama, perempuan punya loyalitas yang tinggi. Artinya, jika perempuan sudah masuk dan terlibat terpapar teologi terorisme, maka sungguh sangat sulit untuk tersembuhkan. Untuk bertobat.

Kedua, seperti bom Makassar, perempuan cenderung memakai perasaan untuk melihat realita yang terjadi. Terutama persoalan agama, hidup, dan akhirat. Perempuan-perempuan ini biasanya membantu keuangan dan sebagai pemasok dana bila suaminya sedang “jihad agama” membunuh orang yang berlainan agama, seperti yang tertancap dalam teologi teroris.

Bahkan tak jarang, perempuan merelakan suaminya untuk menikah lagi dalih taat pada suami. Karena taat pada suami untuk poligami, dalam agama, akan masuk surga. Bahkan mereka mau mendaftar untuk bunuh diri bareng suami, karena mereka menganggap akan sama-sama mengarungi kebahagiaan di dalam surga firdausnya Allah.

Di Indonesia, berbagai modus macam di atas sangat basah. Dan operasinya, pengeboman kepada non-Islam atau pada kelompok minoritas begitu menggurita (Burhani, 2020). Semuanya, lahir dan atas alasan dari muara pemahaman agama (Islam). Kendati, hal itu adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa agama dijadikan alasan melakukan kekerasan.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Agama seolah-seolah telah dijadikan “surat ijin untuk membunuh” orang yang berbeda keyakinan. Contohnya, bom bunuh diri di gereja Makassar.

Pada tahap ini, aksi-aksi kekerasan agama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ideologi teroris yang keras, berbasis pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang parsial. Ketika tafsir terhadap Islam bersifat literal-radikal, maka sejauh itu pula dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sosial politik para penganjurnya.

Padahal, Islam adalah agama yang manganjurkan nan mengajarkan praktik moderat (Quraish Shihab, 2020).  Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmatan lil alamin (QS. al-Anbiya [21]:107), yaitu agama yang memberi kedamaian dan menebar rahmat bagi seluruh umat. Al-Qur’an juga menggariskan jaminan kebebasan beragama kepada semua orang: “Tidaklah ada paksaan dalam beragama…” (QS. al-Baqarah [2]:256).

Teologi Teroris dan Teologi Moderat

Sebab itu, untuk remoderasi Islam yaitu untuk membendung ideologi radikalisme agama, diperlukan setidaknya ada dua jalan. Pertama, kontra narasi. Kedua, pembacaan yang kritis (qira’ah al-naqd), holistik dan komprehensif dalam memahami Al-Qur’an.

Memahami Al-Qur’an perlu mempertimbangkan konteks, baik internal teks maupun eksternalnya. Juga harus berpijak pada ragam pendekatan dan analisis semantis, semiotik, hermeneutik, maqashid dalam proses penafsiran. Agar, tidak melahirkan produk tafsir radikal atau teologi teroris yang juga melahirkan praktik kekerasan.

Dalam ruang keimanan yang lebih luas (publik), maka kita harus menghidupkan keragaman yang idealis-realistis. Agama dan keimanan sebagai pijakan komunitas publik harus menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas yang akomodatif.

Oleh karena itu, kita dilarang untuk saling bermusuhan, bebrbuat jahat, teror dan konflik (Ismail Lutfi Fathani, 2006), apalagi berperang dan saling membunuh (al-An’am: 15) atas nama agama. Jika ada yang membunuh atas nama agama, agama teroris yang mungkin ia pakai?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru