26.6 C
Jakarta

Bolehkah Kita Menjadi Muqollid?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamBolehkah Kita Menjadi Muqollid?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan (lawazimil hayah). Islam awal di masa Nabi tentu memiliki konteks yang berbeda dengan konteks kehidupan sosial kita hari-hari ini. Kini kita hidup di zaman yang disebut globalisasi. Yakni zaman yang lebih kompleks dan memiliki tantangan-tantangan baru dalam segala lini kehidupan. Tak terkecuali persoalan keagamaan.

Di masa Islam awal, Nabi adalah sumber hukum paling otoritatif bagi ummat Islam. Nabi adalah figur paling penting dalam penyelesaian pelbagai masalah hukum yang dihadapi ummat saat itu. Semua permasalahan  akan selesai dan tuntas di hadapan Nabi. Dengan demikian, komunitas Islam awal memiliki figur rujukan yang jelas dalam memecahkan soal-soal hukum yang muncul dalam kehidupan mereka.

Namun apa hendak dikata, Nabi punya sisi basyariyah, yakni sebagai manusia biasa yang tunduk pada hukum alam. Beliau wafat, meninggalkan ummat Islam pada tahun……. Pada usia 63 tahun. Kepergian Rasulullah tentu menyebabkan ummat Islam tak hanya kehilangan sosok teladan, melainkan juga kehilangan figur “mubayyin” terhadap persoalan-persolan hukum. Pasca peristiwa wafatnya Rasul, ummat Islam mau tidak mau harus mencari penjelasan—terutama generasi yang datang setelah Nabi wafat— kepada para sahabat. Yakni orang-orang yang pernah hidup dan berinteraksi secara intens denga nabis semasa hayat.

Perbedaan hukum kemudian tak bisa dihindari karena sahabat memberikan penjelasan yang berbeda-beda berdasarkan kesimpulan dan ukuran akal mereka. Misalnya bagaimana perbedaan sayidina Abu Bakar dan sayidina Umar perihal hukum memushafkan Al-Qur’an. Mereka berbeda dalam hal ini. Sayidina Abu Bakar tidak berani melakukannya karena tidak pernah dilakukan Nabi. Sedang Sayidina Umar menyebut usaha memushafkan Al-Qur’an adalah hal baik yang dicintai Alloh SWT.

Demikian alur singkat proses terjadinya perbedaan-perbedaan hukum di dalam Islam awal-awal. Disebabkan karena perbedaan referensi di masa para sahabat. Dalam sisi yang lain, kita menemukan praktik taklid yang dilakukan oleh generasi Islam awal. Mereka mencari tahu hukum fikih kepada yang menurut mereka memiliki otoritas. Mereka dengan sangat sadar melakukannya karena keterbatasan pengetahuannya dan secara rendah hati berguru kepada siapapun.

Makna & Hukum Menjadi Muqollid

Muqollid bermakna seseorang yang melakukan sesuatu tanpa tahu alasannya. Misalnya hukum narkoba, seorang muqollid hanya tahu hukumnya saja tanpa tahu kenapa ia diharamkan. Istilah muqollid kemudian banyak ditemukan di kitab-kitab usul fikih. Ini disebabkan karena dalam terma kajian usul fikih membahas apa yang di belakang hukum-hukum fikih. Dalam konteks ini, usul fikih membahas seseorang yang pantas melakukan ijtihad;  memberikan fatwa atau memberikan hukum kepada pekerjaan manusia.

BACA JUGA  Ini Amalan Baik pada Hari Idul Fitri Sesuai Sunnah Nabi

Muqollid sendiri hukumnya mubah menurut ulama’. Dasarnya adalah surat an-Nahl ayat 43.

تَعْلَمُوْنَۙ لَا كُنْتُمْ اِنْ الذِّكْرِ اَهْلَ فَاسْـَٔلُوْٓا

Ayat ini menurut ulama’ adalah dalil akan kebolehan seseorang melakukan taqlid dalam fikih. berkaitan dengan hal ini, hukum menjadi seorang mujtahid adalah fardu kifayah. Oleh karena itu, kita semua tidak dibebani oleh Alloh SWT untuk menggali hukum-hukum fikih sendiri. Kita diperbolehkan mengikuti ulama’ yang diakui keilmuannya atau memiliki otoritas dalam melakukan ijtihad semisal Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali.

Istilah ulama’ sendiri sebenarnya tidak hanya berlaku pada ulama’ dalam konteks agama, tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan manusia yang lainnya. Misalnya dalam konteks pandemi covid-19, kita harus mendengar kata dokter, dalam konteks pendidikan, kita harus mendengar kata ahli pendidikan dan lain seterusnya. Sehingga sebenarnya taklid kepada para ahli atau dalam istilah Al-Qur’an, ahlizzikri itu diperbolehkan dan merupakan keharusan bagi setiap kita. Terlebih di era spesialisasi pengetahuan ummat manusia.

Selain itu, revolusi pengetahuan yang terjadi beberapa abad lalu mengharuskan manusia untuk berbagi keahlian dalam menopang peradabannya. Kini tidak ada manusia yang benar-benar menguasai banyak hal. Era globalisasi menuntut kita semua untuk berkolaborasi dalam banyak perkara termasuk dalam memberikan fatwa terhadap masalah-masalah kontemporer. Kini kita harus mendengarkan kata ahli ilmu-ilmu yang lain terlebih dahulu untuk memberikan kesimpulan yang lebih baik. Sehingga taklid di era kekinian menjadi sebuah keniscayaan.

Sebagi penutup, perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat singkat telah menciptakan perkara-perkara baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Hal inilah yang menuntut setiap kita untuk mampu beradaptasi dengan segala perubahan itu. Terlebih bagi mereka yang konsen dalam hukum-hukum agama maupun bagi siapa saja yang bersentuhan langsung dengan urusan keumatan. Sudah seharusnya mereka mampu menjelaskan kedinamisan Islam dalam liku zaman. Tidak dinamis hanya akan membuat Islam ditinggalkan.

Zulkarnaen

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru