29.5 C
Jakarta

Bijak Menolak Khilafah dan Komunis

Artikel Trending

Milenial IslamBijak Menolak Khilafah dan Komunis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Spesial untuk kali ini, tulisan saya bijak menolak “Khilafah dan Komunis” sebagai isu sentral di kalangan umat Islam? Kenapa harus tematik, dan aktual? Tentunya, dalam rangka menyajikan analisis tajam yang segar pada pembaca budiman. Ideologi tersebut rasa-rasanya tak kunjung ada habisnya menjadi polemik nasional hingga muncul–lah api kebencian.

Faktanya, kajian daring livestreaming di kanal faceebook dan youtube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) (18/07/2020). Yang judulnya “Khilafahisme Vs Komunisme, Ada Apa”. Kenapa Pancasila absen? Apakah mereka anggap final? Sehingga pertanyaan ini mengkonfirmasi potensi perang ideologi global yaitu Pancasila versus khilafah dan komunis.

Adapun narasumbernya, Suteki (Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila), Muhammad Azwar Kamaruddin (Pakar Fikih), Habib Zainal Abidin Bil Faqih (Forum Peduli Bangsa), Ainul Yaqin (MUI Jawa Timur), Masri Sitanggang (MUI Medan), Aam Wahib Wahab Hasbullah (Khittah 1926), Thoha Yusuf Zakaria (Ponpes al-Islah Bondowoso), M. Yunus Rizaldi (GUIB Jawa Timur), dan Ismail Yusanto (Pembina Media Umat).

Para narasumber membanding-bandingkan khilafah, komunis, dan Pancasila sah-sah saja dalam negara demokrasi. Namun, tafsiran Suteki, Muhammad Azwar Kamaruddin, dan Muhammad Ismail Yusanto bersifat restriktif-limitatif. Menurut mereka, Pancasila sebagai ideologi terbuka bagi umat Islam, khususnya terhadap sistem khilafah. Tetapi, tidak bagi komunis.

Ismail Yusanto, secara lantang mengatakan bahwa pendapat yang dikutip mayoritas umat Islam (mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah. Artinya, fardu ain sampai fardunya terlaksana. Jadi, bagaimana bisa sesuatu yang fardu kemudian sekarang dikatakan sebagai sesuatu kejahatan yang harus dikutuk, disingkirkan, seperti barang najis yang harus dibersihkan.

Pun, Suteki terkesan mendorong ide khilafah untuk dipertimbangkan sebagaimana dalam statementnya. Dari sisi kajian akademik, ini perlu diangkat oleh Forum Rektor Indonesia mengkaji khusus tentang khilafah. Yang dihadirkan jangan orang-orang yang menolak khilafah.

Ucapan yang pro-khilafah cukup menampar golongan Islam yang semangat mempertahankan Pancasila, dan harus dinilai sebagai persepsi. Tetapi, bukan argumentasi dan interpretasi seperti ijtihad para the founding father dan ulama.

Menolak Khilafah dan Komunis

Kritik terhadap pendapat Suteki yang hanya menggambarkan tinjauan hukum pembubaran ideologi komunisme/PKI, marxisme, dan leninisme melalui TAP/MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Kenapa ia tidak bahas pula PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang pembubaran khilafahisme/HTI? Kalau pun ingin lebih jauh untuk membandingkannya, setidaknya tidak hanya menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis. Melainkan agar balance harus didasarkan pada historis-yuridis supaya ideal.

Fokus tafsir Muhammad Azwar Kamaruddin, Muhammad Ismail Yusanto, dan Suteki harus diakui dari sisi keilmuan. Akan tetapi, tampaknya mereka kurang paham bagaimana pola interpretasi yang sesuai konteks keindonesiaan. Sehingga, sama dengan menafsirkan al-Qur’an bukan mengikuti kehendak mufassirnya. Melainkan sesuai teks dan konteksnya.

Dalam konteks ini, adalah khilafah Islam yang mereka gagas tidak lagi relevan di negara yang mayoritas muslim. Diakui atau tidak, demokrasi–Pancasila memang menghasilkan sistem negara kebangsaan yang diperani pendiri bangsa dan ulama. Berbeda dengan pahlawan kesiangan (khilafah) bisanya memelintir fakta sejarah, dan tidak ada kontribusi kongkret di negeri ini.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Di pamfletnya, Muhammad Azwar Kamaruddin disebut sebagai pakar fikih. Pada kesempatanya, ia pun berani mengatakan khilafah adalah bagian dari syariat Islam dan wajib ditegakkan. Sebuah argumen radikal menggambarkan ilmuan yang krisis literasi kebangsaan, dan kurang paham rekam jejak sejarah (track record) hubungan Pancasila dengan Islam di Indonesia.

Pendapat tersebut dangkal pasca muunculnya buku A. Fatih Syuhud, (Islam dan Politik; Sistem Khilafah dan Realitas Dunia Islam:2019), Habib Umar bin Hafidz memberi tausiah panjang terkait Khilafah. Salah satu poin menarik adalah ia menegaskan sistem Khilafah itu sudah tidak ada lagi. Ia hanya ada selama 30 puluh tahun pertama setelah wafatnya Nabi.

Oleh karena itu, baik “isme-isme” khilafah maupun komunis harus segera dibubarkan lagi. Benih-benih militan mereka masih eksis di kehidupan nyata dan dunia maya, begitu senangnya mengadu domba sesama umat Islam. Pantas persaudaraan (ukhwah) kita terpecah belah karena memang ulah mereka sebagai penebar pemahaman yang tampak ekslusif, dan intoleran.

Muslim Setia

Klaim kebenaran tunggal, khilafah sebagai sejarah politik Islam telah dimanfaatkan kelompok Islam radikal untuk menginspirasi negara Islam/negara khilafah sehingga umat muslim terpesona. Motif mereka sangat sadis, dan Ismail Yusanto beranggapan pembubarannya adalah kejahatan.

Tafsir-tafsir kriminal alias berburuk sangka harus dihindari oleh umat muslim, meskipun menurut kelompok jihadis Pancasila adalah thaghut/kafir. Sistem ketatanegaraan kita harus dihargai karena jasa para pahlawan yang terdiri dari kalangan deklarator dan golongan Islam (ulama).

Rasulullah Saw saja tidak pernah mendirikan negara Islam selama hidup di Mekkah hingga hijrah ke Madinah, sikapnya yang agung dan bijaksana telah menjadikannya sebagai muslim yang taat terhadap agama. Di sisi lain, ia adalah kepala pemerintahan yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sehingga kesetiannya terhadap negara tak dapat diragukan.

Artinya, khilafah bukan suatu kewajiban yang harus kita tegakkan sebagai muslim Indonesia yang sangat menjunjung tinggi keberagaman, kebhinekaan, dan Pancasila. Oleh sebab itu, Pancasila merupakan ideologi terbaik di belahan dunia mana pun yang mampu mempersatukan semua jenis golongan.

Menerima Pancasila, lalu menolak khilafah dan komunis adalah sikap yang bijaksana karena menghindari permusuhan. Hal ini termaktub dalam buku Azhar Muhammad Akbar (Taat Pada Agama Setia Pada Negara: 2018), dalam bernegara, kita bisa menghidupkan nilai-nilai Islam yang memegang tegus asas perdamaian, tanpa harus menciptakan apa yang disebut “Negara Islam”.

Polemik perang ideologi antara Pancasila versus khilafah dan komunis harus segera disudahi, dan tidak perlu dibesar-besarkan lagi di mana pun, dan kapan saja. Hanya satu pilihan, yaitu Pancasila telah final yang harus menciptakan kesadaran dan komitmen umat muslim untuk menolak khilafahisme atau komunisme. Petunjuk inilah yang harus dibaca supaya bersikap toleran.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru