29.7 C
Jakarta

Bijak Bermedsos di Era COVID-19 dan Virus Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniBijak Bermedsos di Era COVID-19 dan Virus Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kehadiran internet beserta media sosial (medsos) telah menjadi bagian penting dalam membentuk pemikiran, perilaku, perbuatan sekaligus kebutuhan dasar (gaya) hidup manusia kini. Di tengah-tengah upaya memutus mata rantai penyebaran pandemi virus korona di Indonesia dengan jumlah pasien positif terinfeksi COVID-19 menjadi 4.839 kasus pada Selasa (14/04/2020); dirawat 3.954 orang; korban meninggal 459 orang; dan yang sembuh 426 orang.

Satu-satunya yang masih menghibur kita dari hantu kematian global (pandemi virus corona) ini menurut Yasraf Amir Piliang adalah jejaring digital dan media sosial: Internet, Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram. Ketika globalisasi kini mengalami semacam ‘keterputusan’ dan ‘keterisolasian’ total, jejaring digital menyelamatkan instink bersosialisasi, berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi dan berbagi manusia.

Media sosial-digital setidaknya memanjakan manusia global dalam bersosialisasi dalam kesepian, berteman dalam kesendirian, berkomunikasi dalam keterisolasian, berbagi dalam kesunyian, atau berteman dalam kepedihan. Media sosial menjadi media perekat sosial dalam iklim ketakutan, keterisolasian dan keterpisahan global. (Sumbar Satu, Kamis, 19/03/2020 06:45 WIB dan Kompas, 30/03/2020).

Budaya cyberspace merupakan satu bentuk baru fantasi mengenai pengingkaran kematian. Bila dapat diciptakan kesadaran (simulasi kesadaran) pada komputer, maka terbuka peluang untuk memindahkan kesadaran dan pikiran manusia ke dalamnya, sehingga kesadaran itu terhindar dari kematian. Bagi Lanier inilah semacam agama baru terorganisasir yang didasarkan pada fantasi pengingkaran kematian. (Yasraf Amir Piliang, 2011:270)

Saking pentingnya medsos ini kerap dimanfaatkan oleh pribadi, kelompok (golongan) tertentu untuk menebarkan (ujaran) kebencian (hate speech), berita bohong (hoax), merekrut aksi terorisme, radikalisme dan bom bunuh diri.

COVID-19 dan Virus Radikal

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (Purn) Ansyaad Mbai menegaskan virus radikal lebih mengerikan ketimbang COVID-19. Pasalnya, yang jadi korban dari virus radikal itu bangsa Indonesia.

Wakil Rektor Universitas Islam International Indonesia, Jamhari Makruf menambahkan virus radikal lebih berat daripada virus korona. Karena virus korona bisa diteliti oleh para ilmuwan baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan mengambil sampel, ditemukan antivirus dan bisa menyembuhkan korban.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Menurutnya antivirus itu bisa diekspor dan bisa menyembuhkan korban di seluruh dunia. Sementara virus radikalisme, bisa sembuh dengan dilakukan deradikalisasi yang cakupan penyembuhannya hanya di dalam negeri.

Bagi Direktur Lembaga Kajian Dialektika, Muhammad Khutub, wabah virus korona yang saat ini menjangkiti seluruh negara, termasuk Indonesia menjadikan kehidupan keagamaan mengalami tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem.

Kini, dalam kehidupan sosial keagamaan telah bergeser tidak lagi face to face, melainkan secara virtual. Parahnya, media virtual dijadikan alat propaganda oleh kalangan tertentu di tengah ketakutan warga terhadap wabah ini, yang tidak menginginkan cara-cara damai. (Media Indonesia, 07 dan 30/03/2020).

Pengamat budaya dan komunikasi digital Firman Kurniawan mengatakan, keseimbangan informasi di era digital ini justru mudah tergoyangkan. Apalagi kehadiran media sosial sangat mempengaruhi persepsi publik tentang pandemi COVID-19.

Dalam konteks virus corona, magnitude informasi dan pemberitaan melalui media sosial begitu gencar, bahkan dianggap menghebohkan dan mengkhawatirkan publik.

Uniknya, di tengah kekhawatiran itu, justru pemerintah Indonesia melihat COVID-19 sebagai sesuatu yang tak perlu ditakuti. Sampai-sampai publik dibuat kebingungan, cemas, takut dan tak memiliki pegangan informasi yang bisa dijadikan sebagai patokan. Walhasil, segala kecemasan dan kepanikan masyarakat itu dapat dilihat dari banyaknya orang tiba-tiba memborong makanan dan masker. (Kompas, 10/03/2020 | 19:11 WIB).

Salah satu cara agar terhindar dari rasa kekhawatiran yang menakutkan, hingga menjadi hantu kematian itu dengan bijak menggunakan internet. Jadilah pengguna media sosial yang sehat, cerdas, santun yang ditandai dengan tidak membuat, membantu untuk menyebarkan, ikut membagikan pesan (konten) yang provokatif, berbau SARA, berita bohong (hoax) soal apa pun, termasuk COVID-19 dan virus radikal. Semoga.

IBN GHIFARIE, pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie
Ayah dari 2 anak (Fathia dan Faraz) yang tinggal di Cibiru Bandung, dapat disapa lewat twitter @ibn_ghifarie instagram @ibnghifarie

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru