27.3 C
Jakarta

Bersatu di Tengah Perbedaan

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah kemarin kita bertemu pada kajian keislaman tentang Islam dan Radikalisme, kini kita akan berdiskusi tentang Bersatu di Tengah Perbedaan. Tema kali ini secara mendasar akan dimulai dengan sebuah pertanyaan: Kenapa kita berbeda?

Saya melihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang terbentang luas di tengah penjuru dunia, bahwa banyak sesuatu yang diciptakan oleh Allah dengan aneka perbedaan. Sebut saja, perbedaan langit dan bumi, perbedaan bahasa, perbedaan malam dan siang, perbedaan sex (jenis kelamin), dan seterusnya.

Sekian bentuk perbedaan tersebut terekam dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Tentang perbedaan langit dan bumi, perbedaan bahasa, beserta perbedaan warna kulit disebutkan: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. ar-Rum [30]: 22).

Malam dan siang juga diciptakan oleh Allah sebagai bentuk perbedaan. Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. al-Baqarah [2]: 164)

Sedang, perbedaan sex (jenis kelamin), laki-laki dan perempuan, merupakan karunia Allah pula. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat [49]: 13).

Saya pikir, diciptakannya aneka perbedaan tersebut merupakan sebuah karunia Allah yang sangat berharga bagi manusia. Bayangkan, seandainya tiada perbedaan, niscaya manusia akan mengalami perasaan bosan, sehingga hidup tidak bervariasi. Dengan adanya malam manusia dapat beristirahat setelah sekian lama di siang hari sibuk bekerja. Dengan adanya laki-laki dapat menjadi mitra yang sejajar dengan perempuan. Bahkan, dengan lahirnya perbedaan bahasa, manusia tahu bahwa itulah tanda-tanda kekuasaan Allah, sehingga manusia tertarik untuk mempelajarinya.

Perbedaan dikaitkan dengan bentuk kebaikan dalam Al-Qur’an dapat dipilah menjadi dua: Pertama, perbedaan yang bersifat universal. Perbedaan universal ini berkaitan dengan kebaikan universal. Kebaikan semacam ini dalam Al-Qur’an disebut dengan khair, seperti kebaikan berbakti kepada orangtua, menghindari perbuatan zina, tidak mencuri, dan seterusnya. Perbedaan pada tingkatan ini jelas tidak diperbolehkan. Karena, objek kebaikan universal ini sudah disepakati oleh seluruh elemen, baik antar agama, negara, maupun seluruh manusia.

Kedua, perbedaan partikular. Perbedaan partikular erat kaitannya dengan kebaikan yang bersifat lokal, jika meminjam istilah dalam Al-Qur’an, “ma’ruf”. Ma’ruf dipahami dengan kebaikan yang dikenal atau disepakati oleh masyarakat tertentu. Boleh jadi masyarakat ini menganggap A itu ma’ruf, boleh jadi masyarakat lain melihat A itu tidak ma’ruf alias munkar, buruk. Sebut saja, di pesantren perempuan tidak memakai jilbab akan dianggap munkar, tercela, karena melanggar peraturan yang berlaku. Berbeda, di masyarakat perkotaan, perempuan tidak pakai jilbab masih dianggap ma’ruf, baik.

Dua bentuk perbedaan kaitannya dengan dua bentuk kebaikan dapat dilihat dalam bunyi ayat Al-Qur’an: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]: 104). Kebaikan yang pertama atau dikenal dengan istilah khair adalah kebaikan universal. Sedang, kebaikan kedua atau akrab disebut dengan ma’ruf adalah kebaikan partikular. Paling tidak, dengan mengetahui bentuk kebaikan ini, manusia dapat membedakan mana perbedaan yang diperbolehkan dan mana perbedaan yang dilarang.

BACA JUGA  Memaknai Mudik pada Tahun Ini

Perbedaan yang semestinya diperbolehkan, sekarang (bahkan juga dahulu) sering dianggap sesuatu yang tercela. Sehingga, banyak kelompok yang bermunculan menyesatkan, mengkafirkan, dan menghalalkan darah orang yang berbeda. Kelompok yang saya maksud, antara lain, Islamic State of Irak and Syam (ISIS), Hizbut Tahrir (HT), Wahabisme, bahkan terorisme. Sekian wajah ini hanya beberapa yang saya ingat. Sesungguhnya masih banyak kelompok yang serupa dengan kelompok tersebut. Kelompok ini sebenarnya gagal dalam memahami perbedaan yang diperbolehkan. Sehingga, dengan egonya mereka melihat perbedaan bukan sebagai rahmat, tetapi sebagai petaka.

Saya menyarankan—mengutip dari seorang pakar—dalam menyikapi perbedaan, sehingga perbedaan tidak melulu diklaim sesat, bahkan dikafirkan: Pertama, tidak menganggap fasiq, mubtadi’ (pembid’ah), dan kafir pihak yang berselisih paham. Kedua, melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi. Ketiga, tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain. Keempat, tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

Kemudian, apa kaitannya perbedaan dengan persatuan? Kalau saya boleh menambah pertanyaan satu lagi: Apakah perbedaan dapat menjadi benalu dari persatuan? Secara sederhana, berdasarkan pada aneka perbedaan yang dikemukakan dalam Al-Qur’an perbedaan merupakan sesuatu yang positif, baik, dan mulia. Sehingga, dengannya perbedaan dapat mendukung terhadap tegaknya persatuan. Soal persatuan, disebutkan dalam Al-Qur’an: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]: 103)

Surah Ali Imran ayat 103 yang secara tegas memerintahkan manusia untuk menjaga tegaknya persatuan memiliki kaitan yang erat dengan ayat berikutnya tepatnya ayat 104 yang secara tidak langsung menguraikan tentang perbedaan kebaikan, baik universal maupun partikular, yang menjadi standar dalam menyikap perbedaan. Kaitan ini sesungguhnya menitipkan pesan, bahwa di tengah perbedaan hendaknya tetap diperhatikan tegaknya persatuan. Sebab, perbedaan itu bukan sebagai benalu persatuan, tetapi sebagai warna sehingga persatuan itu semakin kuat.

Pentingnya menjaga persatuan beririsan dengan pentingnya menerima perbedaan. Sesuatu hal yang penting diingat, bahwa perbedaan itu berbeda dengan perselisihan. Perselisihan itu jelas tidak diperbolehkan. Dalam surah an-Nisa’ ayat 59 Allah memberikan solusi di saat seseorang berselisih agar tetap menjaga persatuan, yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan hadis. Kembali kepada dua sumber utama ini bukan berarti menutup diri dari argumen ulama. Allah memberikan saran dengan dua sumber ini, karena keduanya merupakan sumber yang utama yang tidak mungkin terjadi kekeliruan. Pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan hadis dipertegas dalam hadis Nabi Muhammad Saw.: Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat setelah (kalian bepergian teguh pada) keduanya, Kitabullah dan Sunnahku. (HR. ath-Thabrani).

Sebagai penutup, perbedaan merupakan sesuatu yang dapat memberikan warna terhadap tegaknya persatuan. Perbedaan bukan sesuatu yang tercela, melainkan sesuatu yang positif. Sebuah pesan bijaksana yang disampaikan Imam Syafi’i terkait dengan perbedaan ini: Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan, pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru