26.2 C
Jakarta

Beragama Secara Saintifik, Mungkinkah?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBeragama Secara Saintifik, Mungkinkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul buku: Sains Religus Agama Saintifik; Dua Jalan Mencari Kebenaran. Penulis: Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla; Penerbit: Mizan, Tahun: 2020; Tebal: 172 halaman; Peresensi: Ferdiansyah.  

Pandemi Covid-19 telah meluluh lantahkan berbagai sector kehidupan manusia, tak terkecuali dimensi agama.  Belakangan, media virtual kita banyak dibenturkan dengan berbagai perdebatan wacana antara Sains dan Agama dalam merespon badai Pandemi Covid-19. Banyak diantara para pemikir di Indonesia yang menguliti konsepsi antara Sains dan Agama. Dalam perdebatannya, Agama seringkali dianggap sebagai suatu hal yang kuno dan tidak penting, dan hanya Sains-lah yang bisa menanggulangi bencana pandemi ini. Tetapi, benarkah demikian?

Merespon perdebatan ini, Haidar Bagir (HB) dan Ulil Abshar Abdalla (UAA), kemudian menuliskan hasil refleksinya secara filosofis tentang pertautan Sains dan Agama, sebagaimana tertuang dalam buku mereka yang berjudul, Sains “Religius” Agama “Saintifik” (2020). Buku ini merupakan sebuah angin segar baru dalam khazanah keilmuan sosial-teologis di Indonesia. Secara cerdik dan bernas, HB dan UAA memotret Agama dan Sains dalam suatu pandangan yang sufistik nan filosofis.

Kondisi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 telah terpukul di berbagai sektor kehidupannya. Merespon hal itu, berbagai kebijakan preventif telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi pandemi covid-19, meskipun tidak banyak mampu menekan laju penyebaran Covid-19 di Indonesia. Di lapangan, sebagian masyarakat masih tidak percaya akan Covid-19, padahal virus tersebut telah menyebar ke seantero dunia. Selain itu, kalangan ini justru menerapkan teologi Fatalistik untuk membenarkan persepsinya serta dalam menjalankan ritualitas keagamaannya.

Hal ini pun terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan seperti Pesantren. Terdapat beberapa Pesantren di Indonesia yang tidak percaya terhadap pandemi ini, terutama ketika beberapa waktu lalu terjadi “arus balik santri” ke pesantren. Di pesantren sendiri kemudian terdapat tiga madzhab (aliran) dalam merespon pandemi Covid-19. Pertama, pesantren yang menerima arus balik santri ke pesantren dengan mengikuti protokol kesehatan dengan tanpa mengaktifkan proses pembelajaran di dalam pesantren.

Kedua, pesantren yang mengaktifkan proses pembelajaran dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan penyediaan Hand Sanitizer serta wajib bermasker. Ketiga, adalah pesantren yang mengangggap pandemi Covid-19 hanya konspirasi belaka, serta mereka mempercayakan sepenuhnya takdir kehidupan mereka kepada tuhan-Nya tanpa ada ikhtiar yang bersifat saintifik. Pesantren model ini menjalankan proses pembelajarannya tanpa menerapkan protokol kesehatan Covid-19, sehingga kemudian kalangan pesantren menjadi kluster baru yang terjangkit Covid-19 seperti salah satu pesantren yang ada di Kajen, Pati, Jawa Tengah sebagaimana dilansir dari detik.com (09/08/2020).

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Problem realitas pesantren di atas telah menunjukkan kepada kita akan kepelikan yang mendasar dalam proses keberagamaan kita hari ini. Sebagian masyarakat pesantren banyak yang abai terhadap Sains yang sebenarnya sangat selaras dengan titah agama. Mereka menanggalkan pemahaman dan ekspresi keberagamaan yang saintifik, sehingga mereka kemudian beragama dengan fatalistik dan tidak proporsional.

Di era yang masih belum purna dari pandemi ini, bagaimana idealnya kita menjalankan ekspresi keberagamaaan, baik di ruang privat maupun ruang publik?. Karena saat ini berbagai ritual protokol kesehatan harus terus dijalankan untuk meminimalisir korban positif Covid-19. Hal ini menandakan bahwa beragama, memang idealnya harus selaras dengan Sains, karena sejak dahulu produksi pengetahuan telah banyak lahir dari Sains. Dan Sains sendiri, meminjam bahasa Taufiqurrahman (2020) adalah satu-satunya pengetahuan terbaik tentang dunia yang kita miliki saat ini.

UAA sendiri berusaha mengkritik para pemikir orientalis yang serta merta mengatakan bahwa beragama itu menunjukkan ketidakdewasaan seorang manusia. Hal ini sebagai antitesis terhadap argumentasi Richard Dawkins yang menulis buku tentang Outgrowing God (2019). Bagi Dawkins, beragama itu adalah a failure in growing up, gagal dewasa. Semua pekerjaan para teolog saat ini, masih belum bisa mencapai outgrowing. Untuk itu, salah satu tanda seseorang dewasa adalah mengikuti Sains. Beragama saat ini telah berubah menjadi racun yang mengotori kehidupan publik, karena itulah harus dilawan dengan dakwah tandingan yakni “saintisme” [hlm. 117]. Bagi UAA masyarakat beragama perlu menyeimbangkan antara pemahaman agama dan Sains, karena keduanya merupakan realitas yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam konteks pandemi ini, teologi fatalistik idealnya penting dikesampingkan dulu oleh umat beragama. Karena jika masyarakat beragama masih ngeyel dengan tidak mengindahkan aspirasi Sains, maka sejatinya mereka telah mengkhianati konsep dan nilai keberagamaan itu sendiri. Hal ini sebagaimana menurut HB, bahwa agama sebagaimana aliran-aliran filsafat nondiskursif tertentu, memang sering dianggap tidak bersifat rasional dalam konteks yang sederhana. Karena rasionalisme saintifik ini seringkali menganggap bahasa Agama itu tidak bisa dipertanggung jawabkan, padahal tidak demikian. Agama itu rasional dan saintifik sekaligus [hlm. 37].

Buku ini mampu mendedahkan potret keberagamaan kita dan bagaimana menjalankan agama secara saintifik. Karena antara Sains dan Agama tidak perlu dipertentangkan, kita perlu mengambil benang merah dari keduanya. Karena ibarat dua sisi mata uang, dalam sejarahnya keduanya sejak dulu telah saling melengkapi untuk memajukan perabadan manusia.

Ferdiansyah
Ferdiansyah
Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta, IG: @ferdiansahjy

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru