32.7 C
Jakarta

Beragama di Tengah Wabah

Artikel Trending

Milenial IslamBeragama di Tengah Wabah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) masih berada di urutan teratas topik pembicaraan manusia di seluruh dunia. Di Indonesia yang tidak mengambil kebijakan karantina (lockdown), dan lebih memilih tes massal (rapid test), masalahnya justrus semakin alot. Isolasi diri atau physical distancing yang diinstruksikan pemerintah nyatanya tidak banyak diindahkan oleh masyarakat.

Jumlah kasusnya pun semakin meningkat tajam. Salah satu prediksi mengungkapkan, akhir Maret adalah puncak masa wabah ini menggerogoti Indonesia. Meski demikian, masa darurat diperpanjang hingga akhir Mei. Dan tentu tidak ada yang bisa membayangkan, misalnya, tentang bagaimana kemungkinan terburuk akan terjadi, jika terhadap physical distancing, masyarakat masih abai.

Per Kamis (26/3), sebanyak 893 orang dinyatakan positif COVID-19. Bukan mustahil di ahir bulan meningkat menjadi 1.000 orang bahkan lebih. Penularan wabah ini relatif cepat, sementara pencegahan yang dilakukan tidak demikian. Beberapa daerah bahkan ada yang secara otonomi menerapkan kebijakan tersendiri yang, seringkali, tak sama dengan instruksi pemerintah.

Pondok pesantren ada yang menerapkan lockdown, melarang akses keluar masuk tamu-santri. Kegiatan keagamaan di daerah pun, semakin hari, semakin diminimalisir. Sekolah ditutup. Resepsi dan acara keagamaan dilarang. Shalat Jum’at diliburkan sementara. Masyarakat Indonesia yang punya tradisi pergaulan sangat erat, dibanding negara lain, mau tidak mau mengeluarkan sikap.

Pro dan kontra kemudian menjadi dinamika persoalan wabah itu sendiri. Bagi yang bercermin kepada negara-negara lain korban Corona, imbauan #DiRumahAja berlangsung cukup masif. Tetapi bagi beberapa kalangan, terutama mereka yang tidak setuju pemerintah, justru memelintir imbauanpemerintah melalui sentimen keagamaan tertentu.

Ungkapan “Jangan takut Corona, tapi takutlah kepada Allah,” atau “Jangan tinggalkan masjid karena Corona,” atau “Jum’at dan tawaf diliburkan itu tanda kiamat kubra” adalah ungkapan yang lahir sebagai sentimen tersebut. Ia terkesan memamerkan ketakwaan, tetapi faktanya murni adalah kebodohan. Tepatnya, kebodohan yang dibalut agama.

Padahal agama tak seruwet itu. Fikih juga tak seribet itu. Ada rukhshah, keringanan, di sana. Tetapi semua itu ditutupi. Ironi. Wabah Corona pun diradikalisasi.

Radikalisasi Fikih

Dalam Kitabnya, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Abdul Wahhab Khalaf mengatakan, semua hal-ihwal manusia, umat Islam maksudnya, perkataan maupun perbuatannya, baik berkaitan dengan ibadah maupun dengan muamalah, semuanya berada dalam lingkup ‘hukum’. Hukum tersebut ada yang diterangkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis, dan ada juga yang tidak.

Karenanya, Khalaf kemudian mendefinisikan  fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariat amaliah yang digali secara terperinci. Atau, adalah kumpulan hukum-hukum syariat yang diambil berdasarkan penggalian hukum secara terperinci/ijtihad (1956: 11). Kata fikih sendiri diambil dari al-fiqh, artinya pemahaman atau penafsiran. Fikih manafsiri nas Al-Qur’an dan hadis.

Sebagai penafsiran, maka fikih berkaitan erat dengan sosio-religio-kultural kapan dan di mana penafsiran dilakukan, juga siapa yang melakukan penafsiran tersebut. Dari sini kemudian menjadi jelas, kenapa fikih mengalami perbedaan pendapat ulama. Dan silang pendapat fikih adalah perihal ijtihad, tidak ada yang salah. Fikih sifatnya temporal, tidak universal sebagaimana Al-Qur’an.

Sungguhpun demikian, hari ini spirit idealisme fikih sudah degradatif. Ada semacam stagnasi hukum Islam, pergeseran paradigmatif. Dari yang awalnya hukum itu dinamis sesuai konteks waktu dan tempat perumusan (istinbath) hukum, menjadi statis, menjadi produk masa lalu belaka. Lalu muncullah monopoli hukum fikih. Fikih pun terkesan tidak kompromi keadaan.

BACA JUGA  Maraknya Konten Ekstrem-Radikal di Media Digital yang Wajib Dimatikan

Pada saat musim wabah seperti ini, sejujurnya beberapa hukum fikih kembali mendapati penyegaran. Sekalipun wabah bukanlah sesuatu yang baru, dan hukum fikih produksi masa lalu banyak memberikan perhatian tentang kemurahan hukum (rukhshah) terkait, tetap ada aspek lain di hari ini yang tak dijumpai padanannya di masa lalu. Oleh karena itu kontekstualisasi menjadi perlu.

Upaya merigidkan, menstagnasi fikih, tergolong sebagai langkah meradikalisasi hukum. Di tengah merebaknya wabah Corona seperti sekarang, persoalan-persoalan urgen lahir. Misalnya, pakaian tenaga medis yang tak boleh dilepas, menghindari infeksi virus. Bagaimana misalkan mereka ingin salat, sementara wuduk dan syarat salatnya tidak terpenuhi?

Beberapa orang justru berpendapat, mereka akan berdosa. Hukum fikih tak lagi elastis, justru menjadi radikal: melupakan rukhshah.

Wabah Menjadi Sebab Rukhshah

Rukhshah adalah semacam dispensasi yang tawarkan syara’—Allah dan Rasul—kepada umat Islam. Melalui dispensasi hukum tersebut, Allah hendak menghilangkan kesulitan (al-‘usr) dan keraguan (haraj) hamba dalam menghamba kepada-Nya. Ini sebagaimana dilukiskan, misalnya, dalam surah al-Baqarah [2]: 185 dan al-Maidah [5]: 6.

Namun kemudahan (rukhshah) tersebut harus dilatarbelakangi suatu persoalan, keadaan sulit yang tidak mungkin untuk memenuhi syarat penegakan syariat. Dalam diskursus fikih, rukhshah bukan sesuatu yang baru. Allah me-rukhshah salat hamba yang sedang dalam perjalanan, dan sejenisnya. Rukhshah menjadikan potret beragama sebagai penghambaan seutuhnya.

Wabah Corona yang dialami semua umat hari-hari ini termasuk dari alasan rukhshah dapat ditempuh. Membuka pakaian medis hanya akan mengundang mudarat, membahayakan diri. Sementara di antara tujuan pensyariatan (maqashid as-syari‘ah) ialah menjaga jiwa (hifzh an-nafs). Intinya, fikih tak serigid pandangan mereka yang mudah mengkafirkan, memurtadkan, dan sejenisnya.

Beragama di tengah wabah artinya beragama secara mudah, santuy, tidak rigid, tidak kagetan, tidak memperuwet diri, dan tidak sok shalih padahal aslinya tidak paham agama. Di tengah wabah, beragama yang benar bukan dengan cara nekat salat Jum’at, atau kerumunan lainnya. Bukan pula dengan memurtadkan orang-orang yang tidak salat Jum’at, karena dianggap lebih takut pada wabah.

Jika pada persoalan jamak dan qashar salat, bagi siapapun yang musafir, Nabi melarang salat sebagaimana kewajiban asal, dan menghimbau untuk menjamak, mengutamakan rukhshah, maka dalam konteks wabah hari ini juga demikian. Tidak boleh membayakan diri ambil wuduk, karena petugas medis tersebut bisa terinfeksi lalu mati karena wabah. Agama tidak berkenan dengan itu.

Radikalisasi fikih adalah fenomena baru yang harus diwaspadai. Ia menampilkan kesalehan-kesalehan ke ruang publik yang justru merepresentasikan dirinya sebagai kalangan yang tak paham agama. Lebih-lebih jika tujuannya adalah untuk menentang kebijakan pemerintah. Untuk menuduh pemerintah murtad dan menjauhkan umat Islam dari syariat ajaran agamanya sendiri.

Beragama yang baik di tengah wabah tidak sekonyol tuduhan mereka. Agama tidak mengajarkan pemeluknya mati sia-sia.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru