32.9 C
Jakarta

Benarkah Salafi Biang Kerok Radikalisme di Indonesia?

Artikel Trending

Milenial IslamBenarkah Salafi Biang Kerok Radikalisme di Indonesia?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pantaskah stigmatisasi radikalisme disematkan kepada kelompok Islam ekstrem? Benarkah eksistensi salafi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan radikalisme di Indonesia? Pertanyaan kualitatif ini atas dasar    paremeter fakta-fakta kaum radikalis-ekstremis yang relatif dominan memakai simbol-simbol agama tertentu (Islam) dalam merebut kekuasaan politik.

Salafi dan kelompok Islam ekstrem memiliki corak yang sama dalam memahami agama. Tak dapat dipungkiri, aspirasi mereka adalah berharap sistem demokrasi–Pancasila diganti sistem khilafah, UUD 1945 ke formalisasi syariat, sedangkan negara bangsa melalui transformasi kepada model negara Islam Indonesia sebagaimana 7 kata dalam naskah Piagam Jakarta.

Inilah pergolakan politik kekuasaan yang ditunggangi isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Tentu, peristiwa tersebut menjadi bias keretakan tersendiri dalam merawat toleransi dan kedamaian di negeri ini. Tampaknya, mereka ingin melihat Indonesia terpecah belah, dan saling mengobarkan api kebencian dan permusuhan sesama umat beragama, dan berislam.

Sering kali, penggunaan teks-teks al-Qur’an dan Hadits telah disalahgunakan, justifikasi dan provokasi tiada hentinya mereka lakukan. Paradoks demikian dapat memicu kesalahpahaman di kalangan umat beragama. Umumnya umat Islam, agenda politisasi jihad dan kalimat takbir seperti menjadi sarapan mereka setiap ingin menggelar aksi besar-besaran.

Pelintir fakta semakin marak, fitnah salah satu kebiasaan buruk mereka dalam berdakwah di masjid-masjid, majelis ta’lim, dan tempat lainnya. Esensinya, mereka adalah kaum salafi/ekstrem yang berasal dari Ormas pengusung ide formalisasi syariat, khilafah, dan negara Islam. Seperti misalnya, FPI, HTI, MMI, MIT, MIB, HAMAS, al-Qaeda, ISIS, JI, dan JAD.

Sekalipun FPI dan HTI tidak melakukan aksi kekerasan ekstrem (terrorism), secara hirarki struktural politik, ide mereka saudara kembar sama-sama hendak menegakkan khilafah. Dan jaringan mereka memiliki kekuatan di tingkat lokal hingga se-Indonesia, sebagaimana pendekatan kultur keagamaan mereka. Kini tidak kalah jauh getolnya dibanding NU, dan Muhammadiyah.

Jadi, selain kelompok salafi/ekstrem mendorong sistem khilafah di berbagai negara Islam/mayoritas. Kemunculannya, ibarat monster agama atau bahasanya buya Syafi’i Maarif, preman berjubah. Islam sebagai ajaran yang menebar lemah lembut, tetapi, pemahaman ini diekstremisasi oleh mereka seolah-olah Islam identik jihad qital, angkat senjata, kekerasan, pengeboman, dll.

Salafi Radikal dan Salafi Modern

Jika memang aspirasi umat Islam terakomodir segalanya. Kenapa para aktivis khilafah tidak pernah puas menebar kebencian dan menyerang pemerintah dengan tuduhan komunis/PKI, dan anti Islam? Bahkan, setiap kebijakan apapun tidak ada benarnya sama sekali di mata kelompok salafi/ekstrem. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang menggunakan dalil-dalil al-Qur’an yang tujuan awal bukan berdakwah. Tetapi, menebar fitnah.

Di sinilah, secara rasional kita mampu menilik lebih jauh bagaimana perkembangan kelompok salafi atau kelompok Islam terbelah menjadi dua poros. Pertama, salafi modern. Ada Khalid Basalamah penceramah Rodjad Tv, dan Firanda Adirja. Mereka cenderung mengulas isu-isu yang bersentuhan dengan ibadah murni agama, khususnya terkait akhir zaman.

Kedua, salafi ekstrem. Yaitu berpikir radikal tentang konsep bagaimana merubah sistem dan tatanan bernegara Islam. Di antaranya,  Habib Riziek Shihab, Abu Bakar al-Bahgdadi, Abu Bakar Ba’asyir, Tengku Zulkarnain, Ismail Yusanto, dan Ja’far Umar Thalib. Mereka-merekalah yang ingin mendirikan model negara Islam, negara khilafah, dan negara syariah.

BACA JUGA  Menyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI

Dalam konteks sosio-politik, kelompok salafi/Islam ekstrem bergeser ke arah dan metode pengembangan dakwah radikalisme kepada tatanan akidah. Peristiwa ini, mereka belajar sejak sebelum-sebelumnya yang gagal melakukan upaya pengerasan ideologi, serta dalam tatanan syariah. Sehingga, biang radikalisme di Indonesia harus diakui ada peran kelompok salafi.

Azyumardi Azra dan Ahmad Syafi’i Maarif dalam buku Khamami Zada (Islam Radika:2002), juga menggunakan istilah Islam radikal menanggapi pernyataan Lee Kuan Yew, yang menghawatirkan kelompok Islam garis keras/militan berkomplot menggulingkan kekuasaan dan mendirikan negara Islam. Walaupun diskursus ini sebatas wacana, tetapi, sangat berbahaya.

Pandangan tersebut manjadi lebih terang bahwa peristiwa politik sumbernya pasca gejolak konflik di Timur Tengah hingga transisi ke Indonesia, ketidakpuasan mereka telah berdampak buruk dan menekan arus gelombang politik yang berbaju agama. Jika persoalan ini semakin merajalela, maka dapat dipastikan benih-benih atau bibit radikalisme akan subur.

Tak dapat dinafikan, selama kelompok salafi radikal masih eksis berjuang di medan politik Indonesia, maka radikalisme tidak akan absen merongrong legitimasi pemerintahan yang sah. Dan ide khilafah menjadi lebih lantang mereka deklarasikan, meski ideologinya telah pemerintah bubarkan.

Wawasan Islam Ramah

Wawasan keislaman kelompok salafi radikal dan modern berbeda dalam gerakan. Namun, cara pandang atau pola pikir mereka dalam memahami agama sama persisnya. Yang membuat mereka menebar Islam dengan penuh amarah disebabkan hanya mencari kebenaran sepihak yang tidak didasarkan kepada dalil-dalil keagamaan yang komprehensif dan kontekstual.

Tugas utama umat Islam kali ini bukan hanya berdakwah bil rahmah saja, melainkan melawan pemikiran-pemikiran transnasional Islam melalui agenda-agenda moderasi Islam sebagai misi untuk mewujudkan negara Pancasila yang berkeadilan, toleran, dan membangun teologi damai.

Untuk membasmi akar radikalisme yang bersumber dari kelompok salafi radikal ataupun yang modern, tidak cukup hanya melibatkan peran aparatur negara. Dalam hal ini, butuh sinergitas kalangan milenial dan tokoh agama seperti, ulama NU-Muhammadiyah yang menggagas Islam moderat.

Oleh karena itu, aktivis khilafah harus menjadi saksi sejarah bahwa ide mereka sudah tidak relevan lagi bukan hanya di Indonesia, tetapi, di negara Turki saja sebagai sejarah perkembangan keemasan Islam periode kerajaan Ustmaniyah. Khilafah bukanlah satu-satunya sistem yang harus dipertahankan dengan cara bertengkar keras karena perbedaan di tengah sistem modern ini.

Islam mengajak para pemeluknya menghindari perbuatan adu domba sesama umat beragama, sumber pertikaian yang masif muncul harus kita redam guna terhindar dari ancaman kekerasan. Dalam literatur Islam (al-Qur’an dan Hadist), bersikap sopan santun sangat dimulyakan daripada kekerasaan. Seperti, Nabi Muhammad Saw adalah utusan yang membawa rahmat.

Nasaruddin Umar berkata dalam buku Haris Amir Falah (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019), kita meyakini bahwa berislam berarti menyebarkan spirit tauhid dalam konteks yang sangat luas. Dalam relasi sosial, seorang yang bertauhid akan menjaga sikap dan perilakunya dari segala bentuk keburukan.

Keburukan sikap yang muncul di kalangan kelompok salafi manapun (radikal-modern) adalah menebar radikalisme, sehingga paham moderasi dan Islam ramah menjadi benteng tersendiri serta kekuatan revolusi spiritual untuk menangkal Islam radikal melalui agenda kontrol sosial.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru