26.1 C
Jakarta

Benarkah Menyebut Indonesia sebagai Bumi Pertiwi itu Syirik?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahBenarkah Menyebut Indonesia sebagai Bumi Pertiwi itu Syirik?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lagi-lagi perkara sensitif dalam Islam kembali mencuat. Perkara seperti ini tidak layak diucapkan, kecuali dalam situasi dan kondisi yang tepat. Sebut saja perkara Syirik. Perkara tersebut menjadi perbincangan banyak kalangan, ketika salah seorang muballigh Syafiq Bassalamah menyinggung pembahasan tentang penyebutan bumi pertiwi.

Dalam kajiannya, Syafiq Bassalamah mengatakan, “Kalau kita ngomong bumi pertiwi berarti kita meyakini ada Tuhan selain Allah”. Secara tidak langsung, Syafiq memusyrikkan orang-orang yang mengatakan dewi/bumi pertiwi. Karena menurutnya, pertiwi itu bermakna dewi penguasa bumi. Jadi, jika ada yang mengatakan bumi pertiwi, berarti orang tersebut telah meyakini adanya penguasa bumi selain Allah ‘azza wa jalla.

Lantas, apakah menyebut Indonesia sebagai bumi pertiwi itu benar-benar Syirik?. Tunggu dulu. Agar tidak galfoks (gagal fokus), mari kita simak pengertian dan korelasinya antara pertiwi dan Syirik. Dalam bahasa Sanskerta, pertiwi (pṛthvī, atau pṛthivī) adalah Dewi dalam agama Hindu dan “Ibu Bumi” (dalam bahasa Indonesia “Ibu Pertiwi”). Sedangkan, Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia, atau dianggap sebuah perwujudan tanah air Indonesia. (id.wikipedia.org).

Maka tidak aneh, jika Presiden Jokowi dalam pidatonya pernah mengatakan “Ibu Pertiwi kita sudah berprestasi”. Artinya, Indonesia kita sudah berprestasi, bukan makna yang lainnya. Karena, Ibu Pertiwi dianggap sebagai personifikasi atau pelambangan nasional negara Indonesia.

Definisi Syirik Dalam Literatur Klasik

Kemudian menyinggung makna syirik, Imam al-Sam’aniy (w 489 H), salah seorang ulama besar bermazhab Syafi’I mendefinisikan syirik di dalam kitabnya Tafsir al-Syam’aniy:

الْإِشْرَاك: هُوَ الْجمع بَين الشَّيْئَيْنِ فِي مَعْنًى؛ فَالإشْرَاكُ بِاللَّهِ: هُوَ أَن يُجْمَعَ مَعَ اللهِ غَيْرُ اللهِ فِيمَا لَا يجوز إِلَّا لِلَّهِ

“Kesyirikan adalah menggabungkan antara dua hal dalam satu makna. Maka yang dimaksud dengan syirik pada Allah adalah menggabungkan antara Allah dan selain-Nya, dalam perkara yang tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya bagi Allah saja.”

Lebih jelasnya, mari kita ambil contoh sederhana; ibadah. Kita sepakat, bahwa ibadah hanya boleh diperuntukkan bagi Allah semata. Nah, ketika ibadah tersebut diselewengkan kepada selain Allah (walaupun di saat yang sama pelakunya masih beribadah kepada Allah), maka saat itu sang pelaku dikatakan telah berbuat syirik pada Allah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, sang pelaku telah “menduakan” Allah dalam ibadahnya. Inilah hakikat syirik menurut Imam al-Sam’aniy.

Sedangkan menurut Ibnu Katsir, kesyirikan adalah menyekutukan Allah dalam Rububiyyah dan ‘Uluhiyyah-Nya. Dan kebanyakan jenis syirik adalah syirik dalam hal Uluhiyyah, yaitu beribadah kepada Allah dan juga kepada selain-Nya, atau memalingkan sesuatu yang menjadi hak Allah berupa peribadatan kepada selain-Nya, seperti menyembelih kurban sebagai bentuk pengabdian kepada selain Allah (baca: sesajen).

Dengan melihat penjelasan para ulama tersebut, masihkah orang yang menyebut Indonesia sebagai ibu pertiwi atau bumi pertiwi dihukumi syirik?. Jika iya, betapa banyak penduduk Indonesia yang jatuh terhadap kesyirikin. Padahal penyebutan bumi/ibu pertiwi tersebut dimaksudkan kepada “negara Indonesia”, bukan makna yang lainnya. Tentunya, penyebutan bumi/ibu pertiwi tersebut tanpa didasari dengan unsur ibadah terhadapnya, melainkan sebagai lambang untuk negara Indonesia.

Jadi sekali lagi, sangat tidak tepat jika ada muballigh yang memusyrikkan orang ketika menyebut Indonesia sebagai bumi/ibu pertiwi. Karena, korelasi antara bumi/ibu pertiwi dengan menyekutukan Allah itu tidak ada. Alias tidak nyambung.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru