26.1 C
Jakarta

Benarkah Perempuan Rentan Terpapar Radikalisme dan Terorisme?

Artikel Trending

KhazanahOpiniBenarkah Perempuan Rentan Terpapar Radikalisme dan Terorisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Banyak yang beranggapan bahwa gender tidak menjamin menyebarnya radikalisme dan terorisme. Aksi-aksi teror atas nama agama memiliki spektrum yang sangat luas dan biasanya bersifat lintas gender. Bahwa siapa saja bisa terpapar radikalisme tanpa melihat jenis kelaminnya, bahkan anak-anak pun juga ada yang terpapar radikalisme lantaran orang tua mereka terpapar duluan oleh ideologi palsu yang mengatasnamakan agama.

Namun ada yang beranggapan bahwa perempuan lebih militan dibandingkan laki-laki. Hal ini dilandasi alasan jika perempuan lebih banyak memakai perasaannya sehingga setengah pikirannya tidak kritis. Bahkan secara psikologi, perempuan lebih setia dan taat kepada suaminya yang terlibat dalam terorisme. Jadi kalau diajak untuk terjun ke dunia radikal dan terorisme mereka cenderung tidak kuasa untuk menolaknya. Pernyataan itu diungkapkan langsung oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo.

Apakah anggapan tentang perempuan rentan terpapar radikalisme dan terorisme ini benar? Mari kita lihat berbagai data beberapa tahun terakhir terkait dengan terorisme.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir perempuan juga terlibat dalam aksi terorisme. Seperti yang terjadi di Surabaya dan juga peristiwa Sibolga Sumatera Utara yang dilakukan oleh Solimah (30 tahun). Tidak hanya dua perempuan itu, sebelumnya juga sudah ada bomber perempuan bernama Dian Yulia Novi yang berencana menjadi pengantin bom bunuh diri tetapi tidak berhasil karena sudah digagalkan oleh Paspampress pada Minggu 11 Desember 2016.

Dalam aksi terorisme, peran perempuan biasanya hanya sebagai pelaku penyerangan benda tajam, seperti pada kasus Siska dan Dita yang siap menyerang Mako Brimob pada 2018. Dan, kasus penyerangan terhadap mantan Menkopolhukam, Wiranto, juga melibatkan perempuan, yaitu Fitri Andriana. Tidak hanya berperan sebagai penyerang, perempuan juga berperan di dalam pencarian dana seperti kasus yang terjadi pada Umi Delima (Istri Santoso), Umi Fadil, dan Nurmi Osman yang terlibat dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Artinya, perempuan juga menjadi bagian dari pendukung atau motivator terorisme.

Apakah hal ini cukup untuk membuktikan bahwa perempuan rentan terhadap terorisme? Mari kita lihat data lapangan selama beberapa tahun terakhir.

Dimulai pada tahun 2000, yakni pemboman malam Natal di Bali, agaknya menjadi pengacu munculnya terorisme berbalut agama. Sebelumnya, tahun 1981-2000 terorisme tidak berafiliasi pada agama tertentu. Puncaknya tahun 2000, bom meledak di berbagai Gereja di Indonesia bersamaan dengan Misa Natal tanggal 24 Desember 2000. Ledakan terjadi di Medan, Pemantang Siantar, Batam, Pekanbaru, Bandung, Mojokerto, dan Mataram. Pelaku bom tersebut Umar Patek, Dulmatin, Imam Samudra, Mukhlas, Edi Sutiono (sebagai supir). Kita lihat, dalam hal ini laki-laki menjadi dalang utama terorisme.

Selanjutnya, tahun 2002 terjadi pengeboman di beberapa tempat, Palu (Sulawesi Tengah), Bali, Manado, kantor Filipina, dan McDonal’s Makasar. Bom ini dilakukan oleh Wirahadi, Agung Hamid, Hizbullah Rasyid, Mirjal, Dahlan, dan masih banyak laki-laki lainnya. Merambah ke tahun 2004. Terjadi bom di Palopo , Bom Kedubes Australia, dan ledakan bom di Gereja Immanuel (Palu, Makasar). Pengeboman ini dilakukan oleh Heri Kurniawan atau Heri Gulon, Rois alias Iwan Darmawan, Heri Sigu Samboja alias Neri Ansori, Ahmad Hasan, Apui, dan beberapa orang lainnya yang juga laki-laki. Selanjutnya, di tahun 2005, dua bom meledak di Ambon, lalu bom tentena, Bom Pamulang, bom Bali II dan bom Pasar Palu. Bom ini dilakukan oleh Salik Firdaus, Misno, Aip Hidayatullah, dan lain sebagainya.

Di tahun 2009 bom yang cukup besar terjadi. Di tahun ini hanya terjadi satu kali pengeboman yakni bom Jakarta, yakni Ritz Carlton dan JW Marriot, pelakunya kemudian diketui bernama Noordin M. Top. Selanjutnya, pada tahun yang sama pula beberapa pentolan teroris seperti Dulmatin, Abu Tholut, Umar Patek muncul pasca pemenjaraan dan berada di kem pelatihan teror di Mindana, Filifina Selatan.

BACA JUGA  UU Pesantren, Strategi Menyetop Radikalisasi Pendidikan

Tahun 2011 setidaknya ada tiga bom yang melayang yakni bom Cirebon, Bom Gading Serpong, Bom Solo. Sepanjang 2012 hanya terjadi satu kali pengeboman, Bom Solo. 2013-pun sama. Hanya terjadi satu kali pengeboman tepatnya di Polres Poso. 2016 ada 3 bom meledak di sekitar Plaza Sarinah, bom bunuh diri di Resor kota Surakarta, bom bunuh diri di Gereja Katholik Stasi Santo Yosep, dan bom Molotov di Gereja Oikume Kota Samarinda, dan terakhir di Vihara Budi Dharma di Singkawang, Kalimantan Barat. Selanjutnya, 2017 bom panic meledak di kampung Melayu dan bom panic meledak di Taman Pandawa Cicendo, Bandung. Terakhir 2018, setidaknya tiga bom meledak di Mako Brimob Depok, Bom Surabaya, dan di Mapolda Riau.

Dari beberapa data pengeboman yang terjadi dari tahun ke tahun, sudah dapat dipastikan mayoritas pelaku tindak pidana terorisme bukanlah perempuan melainkan laki-laki. Hanya beberapa kali saja perempuan dilibatkan di dalam kegiatan aksi langsung terorisme. Ini merupakan fenomena yang cukup unik. Karenanya, terlalu buru-buru untuk menyatakan kalau perempuan rentan terpapar paham radikal. Apalagi sampai berkata jika porsi laki-laki dan perempuan sama dalam menerima paham-paham radikal.

Saya ingin melihat fenomena radikalisme dan terorisme dari sudut pandang yang berbeda. Agaknya sudah banyak yang melihat fenomena ini dari sudut pandang agama. Perspektif Neurosains bak angin segar untuk menilik fenomena ini. Neurosains bisa dikatakan sebagai perspektif naluriah dan fitrah kehidupan manusia.

Guru Besar Saraf dari Universitas California di Irvine berhasil melakukan penelitiannya bahwa kebanyakan kriminalitas adalah kaum laki-laki. Hal ini bukan tidak berdasar. Ia dengan alat bantu PET (Positron Emission Tomography) bahwa limbic temporal sebagai pengatur emosi yang berhubungan dengan aksi motorik laki-laki memiliki aktivitas kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki, apabila ia marah, ia akan lebih banyak mengekspresikannya dengan tindakan kekerasan, seperti memukul, menendang, dan tindakan kekerasan lainnya. Berbeda dengan perempuan, ketika ia sedang emosi, ia bisa lebih mengontrolnya. (diambil dari wordpress)

Jika kita kaitkan dengan radikalisme dan terorisme yang merupakan tindak kekerasan, secara naluriah sangat mungkin dilakukan oleh laki-laki. Apalagi, kalau tindak kekerasan itu tidak hanya dianggap sebagai wujud kesalahpahamannya dalam memahami ajaran agama. Kekerasan atas nama agama itu sebenarnya juga sebagai wujud emosi sang pelaku terhadap kondisi realita kehidupan, terlebih lagi kehidupan beragama.

Meskipun secara fakta, kekerasan atas nama agama yang berdampak pada radikalisme dan terorisme ini banyak menjamuri kaum laki laki, tapi terlalu cepat apabila kita berkata jika tindakan ini pun sebagai bentuk naluriah mereka dalam mengekspresikan emosi mereka atas nama agama. Karena tidak dapat dipungkiri jika masih jauh lebih banyak laki-laki yang meskipun secara naluriah ia diciptakkan dengan struktur otak yang berbeda dengan perempuan, tapi ia tidak dengan mudahnya melakukan terorisme dan radikalisme.

Ini menjadi bukti bahwa perempuan sebenarnya tidak terlalu rentan terpapar terorisme. Peran mereka dalam aksi terorisme, bila pun ada, biasanya lebih banyak dikendalikan oleh laki-laki. Baik dalam konteks istri-istri teroris, anak-anak teroris, maupun perempuan yang dijebak dalam suatu organisasi teroris di mana mereka sendiri merupakan korban dari ideologi palsu yang mengatasnamakan agama.

Rosi Islamiyati
Rosi Islamiyati
Alumni Pascasarjana Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru